Widgets

Posted by : Unknown Senin, 26 Agustus 2013

Banyak hal yang menginspirasi manusia untuk melakukan perjalanan. Kadang sebuah kata remeh seperti “Bahagia”, bisa menjadi inspirasi seseorang untuk kabur ke jalanan, demi mencari sebuah jawaban dari pertanyaan. Apakah sebenarnya kebahagiaan itu?


Mungkin itu pula yang dicari oleh Christoper Jhonson Mccandless, ketika menemukan sebuah bus ajaib di tengah ganasnya alam pegunungan Alaska yang dingin pada tahun 1992. Mccandless sang pria jenius bertubuh kecil yang baru saja lulus dari sekolahnya pada tahun 1990 itu. Adalah gambaran pemuda idealis yang anti kemapanan. Ia ingin melakukan perjalanan terbesar dalam hidupnya. Tujuannya adalah Alaska. Namun gilanya, seluruh uang tabungan yang direncanakan untuk melanjutkan studinya, ia sumbangkan. Jumlahnya hampir mencapai 25.000 USD. Bahkan sisa uang terakhir di dompetnyapun ia bakar.

Tindakan gilanya tak sampai disitu saja. Seluruh tanda pengenal dan kartu kreditnya ia hancurkan. Ia merasa, dengan melakukan segala hal itu, ia telah menjawab pertanyaan sederhana manusia yang selama ini sulit dicari jawabannya. Tentang hakikat kebahagiaan. Sedangkan kehidupan normalnya dengan kedua orang tua beserta seorang adik perempuan, selalu menggambarkan kebahagiaan sebagai esensi dangkal tentang materi belaka. Tentang mobil mewah, pendidikan yang baik, status sosial, dan sebagainya. Kebahagiaan hakiki itulah yang coba ia cari di jalan panjang menuju Alaska ini.

Perjalanan yang semula menggunakan mobil datsun kuno milik Mccandless dengan cepat berubah menjadi perjalanan nomaden ala backpacker. Ia terus menuju ke utara dengan bermodalkan tumpangan. Jika tidak mendapatkan tumpangan, maka sebagian besar perjalanan panjangnya tersebut dilakukan dengan berjalan kaki.

Ia melepaskan tanggung jawabnya terhadap kehidupan normal secara total. Dengan cara tidak bekerja, tidak membangun rumah tangga. Bahkan kehidupannya di jalanan, digambarkan lebih menyenangkan, daripada kehidupan membosankan seperti itu.

Di dalam pengembaraan mengarungi hutan, ia bermain seperti anak kecil yang baru pertama kali keluar dari rumah. Berjingkrakan di dahan pohon pinus yang tumbang di dalam hutan. Menikmati suara gemericik air sungai yang jernih, sampai menikmati bbuah apel segar yang mungkin baru saja dipetik dari pohonnya.

Selama perjalanannya tersebut, Mccandless yang merubah namanya sendiri menjadi Alexander Supertramp, tak pernah sekalipun menghubungi kerabatnya. Ia benar-benar bebas berkeliaran di dataran luas negeri Amerika semaunya.

 “I’m happy when I’m penniless” tulisnya suatu saat di dalam buku catatannya. Sambil memandang langit jingga kala matahari tebenam.

Namun perjalanannya tak selamanya sepi dan sendiri. Perjalanan bertahun-tahun menjadi seorang Nomad, mempertemukannya dengan berbagai macam orang di jalanan. Pertemuan-pertemuan inilah yang mewarnai hidup sepi sang Alexander Supertramp (Alexander Sang Penjelajah Super).

Teman-temannya di jalanan inilah yang kemudian lebih memahami dirinya. Menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Memberinya pekerjaan, bekal, tempat bernaung sementara, dan cinta. Mccandless sebenarnya sungguh senang berada di dekat semua hal itu. Namun mimpinya menuju Alaska tak terbendung lagi. Ia terus berjalan kembali memanggul ranselnya. Sambil terus bertemu dengan orang-orang baru dan kawan lama.

Tak ada yang bisa menahannya menelusuri jalan menuju ke utara. Bahkan oleh seorang kakek yang telah menganggapnya seperti cucunya sendiri. Hingga akhirnya ia benar-benar menginjakkan kaki di tanah bersalju di puncak musim dingin.

Di tengah hutan liar. Di sanalah ia menemukan bus ajaib, yang entah sejak kapan dan dari mana asalnya. Bisa berada dalam keterasingan seperti itu.

Di dalam naungan bus itulah. Ia menikmati hari-harinya yang sepi di Alaska. Bercengkrama dengan alam liar dan dirinya sendiri membentuk karakternya menjadi seorang manusia baru. Ia bertahan hidup dengan cara berburu hewan, dan menghemat logistik. Namun hidup sebatangkara, jauh dari keluarga, bahkan manusia sedikit membuatnya depresi dalam keterasingan.

Setelah perenungan yang panjang. Hakikat kebahagiaan yang hakiki ia temukan dalam keterasingan dan kesendiriannya itu. Sayang, ketika ia mencoba kembali ke peradaban. Alam sepertinya sedang tak bersahabat. Hamparan dataran beku yang dahulu ia pakai sebagai jalur kedatangan. Telah berubah menjadi sungai deras yang tak mungkin untuk dilewati.

Ia kembali ke Bus Ajaibnya untuk menunggu cuaca yang lebih bak untuk kembali. Namun akibat lapar dan kekuurangan bahan makanan. Ia keliru mengidentifikasi tumbuhan yang bisa dimakan. Ia mengkonsumsi tumbuhan beracun yang mematikan.

Saat itulah ia berada dalam kondisi di ujung tanduk, dan sekarat, yang berujung pada akhir cerita di dalam naungan Bus ajaibnya. Di sana ia menanti ajal. Tersenyum pada matahari musim semi yang hangat. Sampai mati dalam kebahagiaan.

“Happiness only real when shared”
”Rather than love, than money, than faith, than fame, than fairness... give me truth.”
(Christoper Jhonson Mccandlles 1968-1992)

Kisah nyata yang dibukukan dan difilmkan dengan judul Into The Wild ini ditulis oleh

Author: Jon Krakauer
Director: Sean Penn
Staring with: Emile Hirsch, Kristen Stewart, Jena Malone, Marcia Gay, William Hurt, Brian H. Dierker, Catherine Keener, etc.

Original Sound Track by : Eddie Vedder

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

berlangganan

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ESCAPE - Metrominimalist - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -