Widgets

Posted by : Unknown Selasa, 27 Agustus 2013

“Kita sudah bekerja jadi Porter hampir 6 tahun. 

Sebelumnya bekerja di Kebun Strowberi. Tapi di PHK”


Keranjang-keranjang porter pagi itu telah dipenuhi oleh logistik, tenda, dan perlengkapan yang telah panitia sediakan. Mungkin bagi teman-teman rombongan yang telah mengikuti pendakian bersama Escape, Aseventure, dan wisatagunung.com di gunung-gunung Jawa sebelumnya. Baru kali inilah mereka merasakan service pendakian dengan menggunakan porter, yang menanggung total 70kg keperluan tim. Sehingga tidak heran, beban punggung para peserta kali ini jauh lebih ringan. Daripada episode pendakian sebelum-sebelumnya.

Porter-porter asal Sembalun tersebut berjalan mendahului kami di jalur bawak Enao. Walau kami lebih dahulu berjalan meninggalkan porter kami sejam yang lalu. Dengan memikul beban dipundak seberat rata-rata 25-35kg per orang. Namun ketangkasan, kekuatan fisik, dan pemahaman tentang jalur Rinjani mereka, melebihi kemampuan kami yang rata-rata telah melahap gunung-gunung pulau Jawa. Tidak heran, jika langkah mereka begitu ringan melintasi perbukitan savanna yang berkelok-kelok di jalur Sembalun yang terik.
Merekalah manusia-manusia gunung yang mencari rezeki dari wisata trekking. Bermodalkan kaos oblong, celana pendek, sandal jepit, dan selembar jaket. Dedikasi mereka tercurahkan untuk melayani pendaki-pendaki yang menyewa jasa tenaga “kuli” angkutnya yang luar biasa itu.

“Kalau segini sih masih ringan bang” kata mereka, yang mengaku telah menginjakkan kaki di tanah dewi Anjani di usia belia.

“Saya dulu mancing di Segara Anakan itu, sejak umur 12 tahun.” Kata pak Pii yang berkulit paling hitam.

“Apa menjadi Porter Rinjani itu, sebagai kerjaan sampingan saja, atau sebagai pekerjaan utama bapak?” tanyaku penasaran.

“Kita sudah bekerja jadi Porter hampir 6 tahun. Sebelumnya bekerja di Kebun Strowberi. Tapi di PHK” sahut pak Pii yang memiliki sifat malu-malu terhadap para tamu.

“Berapa kali bapak naik ke Rinjani dalam sebulan?”

“Kalau lagi ramai, bisa 3-4 kali. Kalau Sepi sebulan Cuma dapat tamu sekali”

“Kalau nggak naik. Nganggur dong pak?”

“Yah masih ada bawang bang.” Katanya kepadaku di bawah pohon pinus kala itu. Sambil memasak makan malam dengan menu sayur sop, mie kuah, tempe goreng, dan telur dadar.

“Berat nggak pak. Mikul beban segitu?”

“Pertamanya berat bang, tapi karena sudah terbiasa jadi biasa saja. Beban maksimal kami 25kg. Tapi kenyataannya di lapangan bisa jauh lebih berat. Bisa sampai 50kg”

“Bawa apa aja itu pak sampai 50kg?”

“Biasanya itu Tourist yang paling berat. Karena mereka di gunung maunya di service senyaman mungkin. Makanannya juga mewah-mewah dan banyak variasi menu”

Mendengar kalimat tersebut, saya pun teringat di pos 2 Sembalun (tengengean). Tempat paforit pendaki untuk beristirahat makan siang. Di pos yang memiliki jembatan kecil di atas kali mati tersebut. Memang pemandangannya bukan lagi seperti pemandangan pendakian gunung yang ribet, masak sendiri, atau berbagi tugas dengan kelompok pendaki. Setibanya kami di sana, Bule-bule dari berbagai Negara sudah tinggal duduk di kursi lipat yang telah disediakan oleh porter di sepanjang jembatan. sambil berteduh di bawah naungan pohon rindang. Mereka asyik mengobrol santai bak di pantai, sambil ongkang-ongkang kaki menunggu para porter membawakan makan siang mereka.

Spageti Bolognesse, Nasi campur Indonesia, Sampai menu sehat ala vegetarian pun dihidangkan di atas piring cantik. Suasana makan siang kala itupun bagai di restoran-restoran. Minuman bersoda, beer, dan air mineral pun telah disiapkan pihak operator pendakian untuk memenuhi kualitas layanan prima mereka di mata pelanggan. Semua hidangan disajikan oleh para porter yang juga memainkan peran sebagai juru masak dadakan tersebut.

“Iya pak saya lihat di pos dua kemarin. Menu makanan buat tamu asing itu western semua. Memang pernah kursus masak di mana?”

“Nggak pakai kursus bang. Orang semua itu instan, dan memang kita wajib bisa masak.”

“Banyak cerita dong pak. Saat melayani tamu asing.”

“Harus sempurna, dan sesuai perjanjian yang sudah mereka buat dengan operator. Kalau ada yang kurang sedikit saja. Mereka bisa complain.”

“Kalau ada yang sakit, cedera, atau jatuh bagaimana pak?”

“Kita tandu bang sampai basecamp. Bahkan kadang mereka minta helicopter.”

“Helikopter?” kataku terperanjat.

“Iya bang. Kenapa?”

“Memang bisa disediakan?”

“Pernah bang suatu kali. Helikopternya beneran datang.” Kata para porter sambil mengingat tugasnya beberapa waktu yang lalu pada salah satu operator pendakian rinjani yang telah punya nama di dunia internasional.

“Bayar Helikopternya, siapa yang tanggung pak?”

“Itu saya kurang tahu, tapi dengar-dengar. Memang sudah kesepakatan di awal dengan pihak  operator dengan kliennya. Kalau sampai ada hal yang tidak bisa ditangani. Operator tersebut sanggup menyediakan Helikopter. Bayarannya saya kurang paham bang.” Cerita mereka dengan serunya.

Malam semakin larut. Bulan semakin bulat dan terang. Perbincangan di antara kami semakin akrab. Beliau-beliau banyak member i tips, trick, dan strategi pelayanan pendakian kepada saya, apabila suatu saat nanti sudah mulai berani menerima tamu bule. Dari hal detail seperti jerigen air yang harus bersih dan secara berkala diganti. Sampai pada mekanisme rescue tamu yang baik, yang selama ini sering menjadi momok di pendakian Rinjani.

Memang kendala utama yang membuat sebuah operator pendakian Rinjani menjadi besar adalah tentang service yang memuaskan, dan tindakan penyelamatan terhadap korban yang sigap dan tepat.
Banyak operator trekking Rinjani yang dicap buruk oleh pelanggan, karena tidak mampu mengatasi masalah yang terjadi saat pendakian. Banyak pula yang terkenal hingga ke luar negeri, karena mereka sampai mampu menerbangkan Helikopter demi para tamu-tamunya yang menemui masalah di saat pendakian.
Jalur Trekking Rinjani yang panjang dan berat memang momok bagi pendaki. Tidak heran jika pendaki dari Jawa menyebut-nyebut kesukarannya setara dengan seratus kali tanjakan cinta di Semeru. Itu bukan bualan. Teman-teman serombongan kami membuktikannya sendiri.

Tertatih melewati 7 bukit penyesalan, meringis di jalur pasir saat menuju puncak Anjani yang dingin dan berangin kencang. Sampai merangkak-rangkak berpegangan batu dan palang besi melintasi jarak Sembalun-Senaru yang ekstrim. Adalah cerita pendakian yang tentu sulit dilupakan.

Tidak heran jika sering terjadi masalah di pendakian berat menuju Puncak Anjani tersebut. Namun jangan khawatir, bagi para pendaki. Ada banyak operator pendakian Rinjani atau yang biasa disbut Tracking Operator di daerah Lombok yang sudah memiliki pengalaman membawa tamu puluhan tahun lamanya. TO tersebut berserakan di Senaru dan Senggigi. Atau jika dianggap terlalu mahal, anda bisa menyewa jasa porter dengan harga Rp.150.000 perharinya. Memanfaatkan dan bersimbiosis mutualisme dengan mereka bisa meringankan beban dan proses pendakian anda. Untung di Rinjani ada Porter.

Comments
10 Comments

{ 10 komentar ... read them below or Comment }

  1. Balasan
    1. ha ha ha terima kasih bro. . . masih belajar nulis. pengennya sih jadi travel writer tapi belom kesampaian he he he. . .

      Hapus
    2. thank you suko this share yah he he he. . .

      Hapus
    3. ini khan uda jadi travel writer bang, hehe
      lanjutkan, bagus tulisannya
      :)

      Hapus
    4. ahahaha, , , alhamdulilah kalau yang begini udah masuk kriteria travel writer. . . trima kasih bang semangatnya. . . he he he

      Hapus
  2. Mampir juga ke sini akhirnya. Hahahahaa. Templatenya samaan kita! *toss*

    BalasHapus
    Balasan
    1. toss juga brooohh ha ha ha. . . sering mendai juga yah? a ha ha ha

      Hapus
  3. Kalo porter rinjani itu nganterin kita sampe puncak engga ? Atau hanya sampe post terakhir aja ?

    BalasHapus
  4. Kalo porter rinjani itu nganterin kita sampe puncak engga ? Atau hanya sampe post terakhir aja ?

    BalasHapus

berlangganan

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ESCAPE - Metrominimalist - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -