Widgets

Posted by : Unknown Selasa, 10 September 2013

Tak ada yang bisa didapatkan di Afghanistan. Sebuah negeri diambang kehancuran akibat berkecamuknya perang selama puluhan tahun. Hanya ada khaak -tanah debu yang berarti juga kampung halaman bagi bangsa Afghan- yang bisa ditemukan di sana. Namun tanah berdebu di hamparan pegunungan gersang itulah. Tujuan Agustinus Wibowo. Sang pengelana kelahiran Lumajang, Jawa Timur, yang sekaligus penulis buku ini. Ia melintas batas, masuk ke dalam Afghanistan melalui Pakistan. Lewat celah Khyber (Khyber Pass), ia menerobos birokrasi runyam menuju negeri impiannya yang berselimutkan debu itu.

Apa sebenarnya yang ingin ia cari? Yang ada di negeri itu hanyalah kehancuran, nestapa, bom bunuh diri, sarang teroris, orang-orang naïf, penipu, bajingan, dan spesies-spesies Homo sekaligus pedofilia. Negeri itu bobrok dan berada di ujung tanduk kehancuran. Menyisakan puing, debu, dan tanah kerontang. Tak ada harapan, apalagi mimpi di sana. Ataukah mungkin Agustinus melihat sebaliknya? Apakah ia melihat harapan, dan mimpi-mimpi di tanah Afghanistan? Inilah mungkin salah satu Obsesi Agustinus. Keinginan untuk menelanjangi Afghanistan yang selalu memanggilnya. Mengoperasi tubuh boroknya, dan menemukan hati masyarakat Afghanistan yang tesisa. Untuk itu ia harus meresapi perjalanannya. Seolah ia sendiri adalah orang Afghan itu sendiri.

Bisa diasumsikan, bahwa Agustinus Wibowo telah jatuh cinta. Entah kepada negara Afghanistan atau petualangannya sendiri. Petualangan yang tidak bisa dikatakan mudah, bahkan membawa derita. Bentuk fisiknya yang mirip dengan suku Hazra yang bertipe mongoloid di negeri Afghanistan pun, semakin menyulitkan perjalanannya itu. Milisi Taliban yang terkenal keji dan telah mencekram Afghanistan di bawah kuku-kukunya yang tajam. Memperlakukan dengan angat buruk orang-orang asing dan kaum minoritas seperti suku Hazra yang beraliran Syiah di Afghanistan. Sehingga perjalanan ini bagi Agustinus, seperti halnya mengantar nyawa secara cuma-cuma kepada maut yang siap menyambut.

Ancaman kematian selalu memburu di setiap waktu. Bisa saja ia bertemu ajal di ladang ranjau, terjatuh dari tebing saat berkendara, diculik lalu dibunuh milisi Taliban. Atau nasib terburuk, menjadi korban bom bunuh diri di pusat kota Kabul (ibu kota Afghanistan) dan Kandahar. Namun kecintaan Agustinus terhadap negeri berselimut debu ini, atau mungkin kecintaanya akan hakikat pertualangannya sendiri telah mempertemukannya kepada rasa kemanusiaan yang tersisa di tanah Afghan. Kenyataan-kenyataan di lapangan yang tak terungkap olehnya mampu menghenyakkan batin pembaca. Ada sisi-sisi lain yang tersembunyi. Berupa Keindahan bentangan alam, dan kejayaan masa lalu tanah Afghanistan yang tenggelam oleh derita peperangan.

Dari kaca mata Agustinus pulalah, pembaca menjadi tahu bagian-bagian terpenting dari pengalaman pribadi penulis. Semuanya tidak melulu tentang destinasi, namun lebih kepada penyingkapan tabir akan misteri negeri Afghan yang kolot, penghargaan mereka terhadap kaum wanita yang berlebihan, implikasi-implikasi yang terjadi akibat kepercayaan yang membabi buta, dan masih banyak lagi esensi yang bisa pembaca tafsirkan dari tulisan Agustinus Wibowo yang ringan ini.

Tulisan-tulisan tersebut tidak akan terlahir dari seseorang yang hanya bermental pelancong. Jelas sekali pembaca bisa rasakan. Pria yang menulis buku ini sangat mencintai negeri yang disinggahinya itu, atau setidaknya mencinta derita yang didapatkannya dalam pengembaraanya tersebut.

Entah Agustinus Wibowo mencintai salah satunya, atau mungkin keduanya. Namun catatan perjalanannya ke negeri Afghanistan ini adalah sebuah terobosan bagi dunia penjelajahan Indonesia. Tidak banyak buku-buku semacam ini sempat ditulis oleh orang Indonesia. Menjamurnya tulisan travel writing akhir-akhir ini melahirkan sebuah tema dan gaya tulisan yang mononton. Namun Selimut Debu mendobrak segalanya. Sehingga seringkali di toko-toko buku. Monumen Cinta Agustinus Wibowo terhadap negeri Afghanistan ini. Tidak akan anda dapatkan di rak bagian traveling book. Anda akan mendapatkannya bertengger di bagian Novel.


Walau saya pribadi menjadi sedikit muak menyaksikan penderitaan-penderitaan yang diceritakan di dalam buku ini. Tulisan bergenre feature (Jurnalistik Sastrawi) ini mampu ia sajikan begitu mengalir. Sehingga walau halamannya cukup tebal. Buku non fiksi ini akan menghipnotis pembacanya untuk terus mengungkap cerita negeri Selimut Debu halaman demi halaman hingga bab terakhir. Agustinuspun sebenarnya sama muaknya menceritakan pahit dan kelamnya kehidupan di negeri Afghanistan. Sampai ia sempat keluar sejenak melihat negeri tetangga di kawasan Asia Tengah seperti Iran dan Tajikistan. Tapi akhirnya negeri yang ia cintai itu memanggilnya kembali. Khaak berselimutkan debu yang selalu dinaungi kegetiran itu sungguh-sungguh telah menawan hatinya.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

berlangganan

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ESCAPE - Metrominimalist - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -