Widgets

Posted by : Unknown Minggu, 19 November 2017

September 2015, saya menulis perjalanan backpacker saya sendirian ke Baduy Dalam, desa Cibeo. Saat itu Agustus 2015. Saya hanya mengantungi nama, Sapri Armani dari Mbak Mira. Teman sesama traveler, sekaligus sahabat baik saya yang kerap berkunjung ke Cibeo.


Ilustrasi lumbung padi orang-orang suku Baduy


Sapri Armani adalah lelaki Baduy Dalam. Ia suka menampung pengunjung ke rumah orang tuanya, bapak Adi. Tentu waktu itu saya tidak akan bisa menghubungi Sapri Armani seperti halnya menghubungi manusia modern yang sudah mengenal ponsel.

Tentu saja, saya harus bertemu muka dengan pemuda ini. Dan sepanjang perjalanan Jakarta-Rangkas Bitung, saya mengulang-ulang menyebut namanya agar tertanam di benak saya.

Saya tiba di pemberhentian terakhir, Ciboleger, menjelang senja. Saya sendirian, hanya ada beberapa turis (domestik) yang ditemani guide bersiap untuk pulang setelah kunungan sepintas melihat Baduy Luar. Salah seorang guide lokal yang menemani rombongan turis itu mencoba bertanya pada saya, "Mau ke mana?"

Saya bagai orang yang biasa pergi ke Baduy Dalam saja, enteng saya menjawab, "Mau ke dalam, ketemu Sapri Armani," kata saya tak lupa memberi senyum.

Saya kemudian mampir ke warung, membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang sepertinya lupa saya lengkapi. Kalau tidak salah ingat waktu itu saya membeli beras, telur yang saya masukkan dalam beras, mie instant, dan minyak goreng.

Saya berangkat memanggul Deuter 20 liter saya yang kecil dan ringan. Saya tidak tahu pasti berapa jam harus saya habiskan untuk menuju Cibeo dan bertemu Sapri Armani yang misterius. 2015, saya masih cukup sehat dan cukup sering berkeliaran mendaki gunung. Saya masih cukup percaya diri dengan kemampuan saya waktu itu. Berbeda jauh dengan kenyataan yang saya hadapi hari ini (2017).

Kontur jalur dari satu desa Baduy Luar ke  Baduy Luar yang lain berbukit-bukit. Tiap orang Baduy yang saya temui di jalan, saya tanyai. "Ke Cibeo kang?"

Mereka menjawab "iya terus,"

Mayoritas mereka tidak lancar berebahasa Indonesia. Mereka semua bicara bahasa sunda. Itu membuat mereka aneh, ada turis macam saya pergi sendirian di sore yang mendung menuju Cibeo.

Anak-anak Baduy Luar yang kebanyakan sudah pakai kaos modern, sama seperti anak-anak desa lain di pelosok negeri, memandangi saya seperti melihat alien. Ada rasa penasaran sekaligus khawatir nampaknya dari raut wajah mereka. Namun saya balas dengan senyuman. Nampaknya mereka melengos. Waktu itu saya pikir, mungkinkah mereka bukan penduduk yang ramah? Biasanya tiap kali saya tersenyum ke arah anak-anak kecil di pedesaan manapun, mereka akan tersipu malu-malu. Tapi di sini mereka bersikap lebih dingin.

Sampai akhirnya hujan menghentikan langkahku. Aku harus berteduh di sebuah lumbung padi. Sementara puluhan desa dan ladang sudah aku lewati, namun Cibeo belum juga terasa dekat. Peluh sudah bercucuran di sekujur tubuh. Hujan memberikan kesejukan. Aku lihat anak-anak laki-laki dan ayahnya-ayahnya mandi di pancuran. Telanjang bulat tanpa sepotong kain pun melekat.

Saya tersenyum, dan saat itulah ide untuk mandi pun terbersit. Tidak saya sangka, bersosialiasisi dengan cara seperti ini efektif juga. Kami mandi menjadi manusia seutuhnya, tapi saya masih agak malu-malu memperlihatkan kepolosan. Kemudian berinisiatif dengan hanya menggunakan celana dalam saja.

Sang ayah tidak bisa berbahasa Indonesia. Hanya sepatah dua patah kata saja yang bisa ia kuasai. Tapi ia orang yang baik. Kendati wajah dan suaranya tegas. Hujan makin deras, tidak mungkin saya kembali berjalan. Saya pun bermalam di Baduy Luar. Beruntung saya menemukan teman baru. Meski komunikasi kami terbatas.

Ia menawari saya menginap di rumahnya. Dalam bahasa sunda yang tidak saya mengerti, namun gerak tubuhnya menunjukkan penawaran tersebut. Baiklah.

Saya pun bermalam di rumahnya. Benar saja, malam segera menyergap pedukuhan di tengah belantara ini. sekitar pukul setengah tujuh, gulita sudah pekat di sini.

Sesungguhnya, si Ayah mencoba hangat kepada saya. Sementara istrinya menyalakan penerangan dari lampu minyak. Di desa ini tidak ada listrik. Nasi bercampur singkong disuguhkan sebagai sajian makan malam. Lauknya mie rebus dan ikan asin, itu saja. Sementara ibu dan anak laki-lakinya makan hanya mie instan saja.

Saya tidak tahu, apakah ini adalah sajian sehari-hari, atau karena ada orang asing yang menginap, mereka menyuguhkan makanan terbaik yang mereka punya?

Saya mencari isi ransel. Sebagian sembako yang niatnya untuk Sapri Armani saya berikan ke sang ibu. Mereka menerimanya tanpa ragu. Sementara di pojok ruangan beralas dipan kayu, saya melihat anak kecil. Kurus kering, kekurangan gizi, dan hanya bisa tergolek lemah. Menagis pun tidak. Saya hampir berteriak, karena tidak menyadari keberadaannya.

Saya tanyakan itu siapa? Sang Ayah bilang, "Oh, anak." katanya. Kemudian melanjutkan keterangannya dalam bahasa sunda. Saya mencerna keterangannya setengah mati.

Malam itu, saya tidur dijejali banyak pikiran. Hati saya sembilu rasanya menyaksikan ketidak berdayaan orang tua itu menghadapi cobaan, anaknya sakit keras. Sementara saya, manusia yang menggap diri modern ini, tidak melakukan apa-apa demi menyelamatkan sang anak. Semua pun perlahan menjadi gelap.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

berlangganan

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ESCAPE - Metrominimalist - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -