- Back to Home »
- adventure »
- 3 Hari Untuk 2 Puncak (Part 1 Puncak Ogal-Agil)
Posted by :
Unknown
Rabu, 17 April 2013
Mendengar nama gunung
Arjuno disebutkan. Setiap pendaki, khususnya yang berdomisili di pulau jawa
pasti punya mimpi untuk menggapainya. Gunung yang terkenal karena keangkeran,
keganasan, serta kesulitan medannya ini, selalu menggelitik sanubari para
petualang untuk berkunjung ke pelatarannya yang terkenal dengan nama puncak
ogal-agil. Saya dan 2 orang rekan pada tanggal 3-5 April 2013 berkesempatan
untuk berdiri di puncak ogal-agil yang terkenal dengan badainya yang mematikan.
Kedigdayaan sang angin di puncak ogal-agil ini kabarnya mampu membuat batu
sekalipun terombang-ambing olehnya.
Pukul 03.00 WIB dini
hari, mata masih berat untuk dibuka. Saya harus memaksa diri sendiri untuk
bangun sepagi itu, karena hari ini pukul 04.00 WIB dini hari, saya sudah
terlanjur janji dengan dua orang rekan pendaki untuk melakukan ekspedisi selama 3 hari 2
malam ke gunung Arjuno-Welirang melewati jalur Purwosari dan turun lewat
Tretes. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk mencari, mempersiapkan, dan packing peralatan pendakian pribadi saya.
Barang-barang yang saya bawa sesuai standart pendakian, seperti. Jaket tebal,
baju ganti, kaus kaki, sarung tangan, slayer yang sekaligus berfungsi sebagai
masker, tenda, sleeping bag, matras, headlamp, sepatu TNI yang selalu menjadi teman
saya di setiap cerita perjalanan. Sepatu kesayangan saya ini bernama “Macho”.
Tidak lupa saya membawa serta alat masak, seperti pisau dapur, kompor lapangan,
tabung gas, dan korek api, serta perlengkapan makan pribadi, dan kotak P3K
berisi beragam jenis obat, balsem, minyak angin, counter pain dan suplemen.
Tepat pukul 04.00 WIB
teman saya Rifki menjemput di depan gang besar daerah kos-kosan saya. Untung
saja tidak ada Hansip yang memperhatikan saya waktu itu. Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi
kalau saja ada Hansip yang melihat saya keluar kos-kosan di pagi-pagi buta.
Kemungkinan pertama, pak Hansip akan mengira telah pecah perang di Siberia dan
saya adalah anggota TNI yang akan ditugaskan ke sana sebagai pasukan penjaga
perdamaian. Kemungkinan kedua saya pasti digelandang ke Rumah Sakit Jiwa
terdekat untuk diamankan agar tidak mengganggu warga sekitar. Penampilan saya waktu
itu jauh dari sosok ideal pendaki yang bisa langsung teridentifikasi. Saya
mengenakan jaket bulu angsa yang kelewat tebal berwarna crem, memanggul tas TNI
berwarna hijau lengkap dengan matras melintang, dan sepatu TNI buluk yang berat
dan menyeramkan. Sekali lagi, untung tidak ada Hansip.
Hampir pukul 05.00 WIB
kami bertiga sampai di Terminal Arjosari Malang, dan menitipkan sepeda motor. Di
sebuah SPBU di dekat Terminal Arjosari, kehebohan kami belum berakhir, karena
tidak sempat re-packing di kos
masing-masing. Tim menyusun ulang strategi re-packing
agar berat beban yang dibawa masing-masing orang dalam satu tim terbagi sama
rata. Membuka kembali perlengkapan dan logistik di SPBU itu membuat perhatian
setiap orang tertuju pada 3 orang gila yang tidak tahu malu ini. Sekali lagi,
beruntung di SPBU tersebut tidak ada Hansip.
Kami sudah naik bus
ekonomi jurusan Malang-Surabaya hampir pukul 06.00 WIB. Bus sudah sesak dengan
para pekerja. Beruntung kami mendapatkan tempat duduk di samping pintu belakang
Bus. Kedua rekan saya sempat melanjutkan mimpi yang tertunda tadi malam dalam
perjalanan Malang-Purwosari, sedangkan saya hanya memperhatikan mentari di ufuk
timur yang berjalan perlahan melintasi cakrawala. Di sisi lain terlihat gunung Arjuno
yang bongsor. Sebagian besar tubuhnya berselimutkan kabut tebal, dan hanya
puncak bebatuannya yang mengerucut yang menyembul dari balik jeratan kabut
tebal tersebut. Itu adalah salah satu pemandangan spektakuler yang sekaligus
membuatku sedikit takut. Saya mencoba berimajinasi membayangkan diri di atas
puncak ogal-agil saat itu juga. Betapa indah panorama yang bisa disaksikan jika
saat ini saya berada di puncak pada moment seperti itu. Pasti gelimang cahaya
keemasan matahari akan menerpa wajah saya, dan lautan awan yang menggelayut di
bawah seperti gulali manis membuai setiap pendaki yang melakukan summit attack dan berburu sunrise di puncaknya.
Kondektur bus
menginformasikan bahwa bus akan masuk daerah Purwosari, bagi penumpang yang
akan berhenti di titik ini diharapkan untuk bersiap-siap. Kami pun bersiap
untuk turun dari Bus nyaman yang membuai kedua rekan saya. Setelah turun dari
bus kami mencari ojek yang bersedia mengantar kami ke basecamp pendakian dengan
bayaran Rp.20.000 rupiah per-orang. Kami sempat sarapan dahulu di sebuah warung
dan membiarakan bapak tukang ojek menunggu kami sarapan dahulu. Si ibu pemilik
warung sangat ramah, dan berbaik hati memberi kami nasihat-nasihat agar
berhati-hati dan menjaga diri dalam perjalanan ini. Saya jadi teringat ibu yang
jauh di rumah, jika tidak ingin di anggap “lebay”, sudah bercucuran air mata
ini seketika itu juga. Tapi gengsi sebagai seorang laki-laki menahan air mata
mengalir. Biar saja haru yang mengisi di lubuk dada ini, tanpa harus mengumbar
ekspresi tidak perlu seperti itu.
Semakin jauh sepeda
motor bapak tukang ojek membawa kami menuju kaki gunung Arjuno di daerah Purwosari,
semakin hijau dan asri gradasi perubahan populasi penduduk yang terjadi
sepanjang perjalanan. Memasuki kawasan pintu masuk jalur pendakian Purwosari,
kami sudah berada di bibir hutan yang cukup lebat, ditumbuhi dan didominasi
oleh pohon pinus yang menjulang tinggi. Jalan aspal telah berubah menjadi jalan
berbatu yang keras dan dingin, di kanan dan kiri kami, kami melewati
kebun-kebun dan ladang penduduk yang ditanami sayuran dan durian yang menggoda. Jalan terus menanjak
walau ruas jalan masih cukup lebar. Keberangkatan kami dipagi itu pun diiringi
kicauan burung-burung hutan yang riang bermain dan mencari makan. Salah satu
burung yang berkicau nyaring aku beri nama “Gagal Klimaks”, nama non ilmiah yang aku berikan karena karakter
kicauannya yang bersifat “PHP” –pemberi harapan palsu-, dikarenakan kicauannya
yang konstan yang meninggi tiap oktaf, hanya saja ia tidak pernah sampai menuntaskan
kicauannya di nada tertinggi. Sangat disayangkan sekali, padahal suara
kicauannya cukup memberi sensasi semangat yang menggelora, tapi ketika ia
tiba-tiba berhenti disaat-saat terakhir, maka raut muka pendengarnya jadi
mengerut kurang puas.
Jalur Purwosari ini
merupakan jalur ziarah bagi penganut kepercayaan kejawen, karena banyak situs
dan makam orang-orang yang dikeramatkan di jalur Purwosari menuju Puncak gunung
Arjuno. Salah satunya adalah petilasan Eyang Semar yang disinyalir tempat
beristirahat Semar yang terkenal itu, ketika mengantar seorang raja dari Negeri
Astina berburu di Gunung Arjuno. Peninggalan lain yang terdapat di jalur ini
adalah beberapa candi dan situs sejarah yang diyakini berasal dari zaman
Majapahit, sekitar abad ke 6-13 Masehi. Mangkutoromo adalah salah satu situs
sejarah yang berbentuk piramida dengan puncak terpenggal. Dibangun dari
bebatuan andesit yang hitam nan kuat, terbukti telah berabad-abad yang lalu
dibangun sampai saat ini bangunan ini masih kokoh berdiri. Padahal gunung
Arjuno terkenal dengan badainya yang ganas nan mematikan. Menariknya situs ini
dijaga seorang juru kunci yang memiliki rumah pondokan tepat di samping situs
Mangkutoromo, sayang saya tidak memiliki kesempatan untuk berbicara banyak
dengan sang juru kunci, karena sibuk menenangkan anjing-anjingnya yang nakal
dan sangat rakus. Sedikit saja lengah dari pengawasan si anjing-anjing nakal
mencuri-curi kesempatan untuk mengendus, bahkan ingin menggerogoti isi tas
ransel kami. Kesempatan berbicara banyak dengan juru kunci tersebut
terlewatkan. Hanya Rifki saja yang ngobrol banyak hal dengan beliau, itu pun
menggunakan bahasa Jawa Kromo yang sulit saya pahami. Bayangkan jika saja saya
diberi kesempatan ngobrol banyak hal dengan sang juru kunci, ada banyak
pertanyaan yang terlintas dalam kepala saya. Siapa yang tidak tertarik dengan
cerita seorang juru kunci gunung Arjuno yang pasti memiliki banyak kisah hidup
yang panjang. Bahkan saya penasaran bagaimana ia bisa betah hidup dengan
anak-anaknya di ketinggian tanpa tetangga. Bahkan kedua anaknya tidak sempat
mengenyam bangku pendidikan, karena mereka hidup di ketinggian yang tidak semua
orang bisa mencapainya. Butuh tenaga dan kaki yang benar-benar kuat untuk
menggapai Mangkutoromo, bayangkan jika anak-anak sang juru kunci sekolah,
mereka harus turun ke kaki gunung setidaknya sebelum matahari terbit, dan harus
secepatnya pulang jika tidak ingin kemalaman di tengah hutan lebat saat kembali
ke rumah. Butuh waktu sekitar 5-6 jam bagi kami untuk mencapai Mangkutoromo
dengan berjalan kaki. Perjalanannya benar-benar sanggup menghancurkan mental
dan fisik setiap pendaki.
Lalu bagaimana perasaan seseorang yang tinggal
jauh dari peradaban. Kepada siapa mereka berinteraksi. Apakah mereka tidak
bosan. Kenapa mereka harus hidup di sana. Apa yang membuat mereka tetap menjaga
tradisi menjaga situs tersebut secara turun temurun. Bagaimana mereka mencukupi
kebutuhan hidup. Apakah mereka menggunakan mata uang, atau hidup dari
kesederhanaan alam telah cukup bagi mereka sehingga uang bukanlah sebuah tujuan
yang harus digapai oleh mereka. Semua tanya hanya bisa disimpan. Aku sibuk
mengurus anjing-anjingnya yang nakal, jika tidak diumpankan makanan ringan,
mereka mengendus-endus tas ransel kami yang berisi makanan. Setelah cukup
merenggangkan kaki di Mangkutoromo, kami berangkat menuju Jawa Dipa. Jawa Dipa
adalah target pencapaian kami hari ini. Di Jawa Dipa kami berencana mendirikan
tenda dan memasak makan malam. Sesuai informasi yang dikumpulkan dari beberapa
sumber, termasuk sang juru kunci, Jawa Dipa berjarak hanya sekitar satu jam
dari Mangkutoromo. Setelah melewati candi Sepilar, sebuah candi dengan 3 tugu
batu. Kami menyusuri jalan setapak yang curam. Kami mendaki punggungan bukit
yang rapat dengan cemara gunung yang menghitam legam, mungkin hutan tersebut sempat
terbakar beberapa waktu yang lalu. Medan ini adalah salah satu track terberat dalam pendakian gunung
Arjuno. Kemiringannya yang sungguh menjulang membuat kami setiap kali
beristirahat mengambil nafas.Sudah berjam-jam waktu bergulir,
tapi tidak ada sedikitpun area yang layak untuk mendirikan tenda. Semua adalah
dataran dengan sudut kemiringan 30-45 derajat. Kami sempat menyangka bahwa kami
mengambil jalur langsung menuju puncak tanpa melewati Jawa Dipa, karena dalam
penunjuk arah yang dibuat, hanya tertulis kata puncak. Satu jam perjalanan pun
sudah lama berlalu dan hari sudah beranjak gelap. Baik Jawa Dipa maupun puncak
Ogal-Agil tidak jelas keberadaannya. Hanya hutan pinus, tebing, lembah dan
tumbuhan pakis yang lama-lama membuat kami muak dengan semua itu. Inilah cara
gunung menguji tamunya. Perjalanan kaki berjam-jam di ketinggian membuat setiap
orang bertanya-tanya, kapan jalan setapak ini akan berakhir. Posisipun sudah
jauh di atas mendekati puncak, namun kita tidak pernah yakin puncak gunung
seberapa dekat. Sedang yang kita tahu pasti, bahwa untuk menyerah dan turun
adalah hal yang tidak mungkin lagi kita lakukan, sebab kita sudah hampir
seharian berjalan dan yakin bahwa kita sudah terlalu jauh untuk mengatakan
mundur. Jalurpun sudah banyak yang menandakan bahwa kita menuju puncak Arjuno. Yang
kami yakini hanyalah, kami sedang memotong jalan tanpa melewati Jawa Dipa, dan
berharap menemukan tempat yang baik untuk mendirikan tenda. Hampir tiga jam
kemudian, di ujung tanjakan terlihat sebuah dataran cukup luas dan landai,
sebuah tugu dari marmer berwarna crem dengan bendera berwarna merah kuning putih
sebagai lambangnya, dan bertuliskan huruf hanacaraka berbunyi Jawa Dipa. Kami
tersentak kaget, dan hanya bisa menerima kenyataan, bahwa kami baru saja
menyelesaikan setengah perjalanan menapaki Arjuno. Padahal kami yakin, bahwa
kami sudah berjalan hampir seharian penuh dan mengira kami sudah cukup dekat
dengan puncak.
Kabut tipispun perlahan turun menyelimuti kami
di Jawa Dipa. Di tengah hutan yang gelap dan sunyi, kami mendirikan tenda, lalu
memasak makan malam. Mempersiapkan diri untuk menyergap matahari di puncak
Ogal-Agil keesokan harinya.
Mendaki melintas bukit
Berjalan letih menahan berat
beban
Bertahan di dalam dingin
Berselimut kabut Ranu Kumbolo...
Menatap jalan setapak
Bertanya - tanya sampai kapankah
berakhir
Mereguk nikmat coklat susu
Menjalin persahabatan dalam
hangatnya tenda
Bersama sahabat mencari damai
Mengasah pribadi mengukir cinta
Mahameru berikan damainya
Di dalam beku Arcapada
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa
Masihkah terbersit asa
Anak cucuku mencumbui pasirnya
Di sana nyalimu teruji
Oleh ganas cengkraman hutan rimba
Mahameru sampaikan sejuk embun
hati
Mahameru basahi jiwaku yang
kering
Mahameru sadarkan angkuhnya
manusia
Puncak abadi para
dewa...
Dewa
19, Mahameru
Jalur
menanjak menuju puncak Ogal-Agil sangat berat dirasa. Menguji kesabaran dan
ketabahan anak manusia dalam cengkraman hutan rimba yang dingin. Matahari sudah
lama naik melintasi cakrawala. Kamipun melewatkan kesempatan menyaksikan sunrise di puncaknya yang eksotis. Hanya
semangat yang kami jaga untuk terus berjalan dalam rasa keingintahuan yang
besar. Menatap puncak Ogal-Agil yang banyak dibicarakan orang. Puncak gunung
purba tempat arjuna sempat bertapa dan menimbulkan gonjang-ganjing sampai ke Nirwana.
Hanya Semar yang mampu mengusik diam semedinya.
Gunung
inipun sebagai saksi bisu sejarah kejayaan Majapahit dan ketangguhan pria-pria
perkasa yang membangun tempat-tempat suci diatas ketinggian ekstrim.
Mangkutoromo-Sepilar berdiri tegak menerjang badai, terselimuti kabut pekat
yang membekukan. Mengabarkan anak cucunya bahwa gunung adalah tempat suci untuk
merenungkan keagungan sang pencipta alam semesta.
Informasi.
Puncak Ogal-Agil 2 Hari 1 Malam
Transportasi
|
Jalur
|
Tarif
|
Durasi
|
Bus
|
Malang-Purwosari
|
Rp.
3000/orang
|
45
menit
|
Ojek
|
Purwosari-Basecamp
Tambak Watu
|
Rp.
20.000/orang
|
1
jam
|
-
|
Izin
Basecamp Tambak Watu
|
Rp.
3000/orang
|
-
|
Tracking
|
Purwosari-Goa
Oento Boego (Pos 1)
Disini
terdapat persimpangan, ambil jalan lurus
|
-
|
1
Jam
|
Tracking
|
Goa
Oento Boego- Tampuono (pos 2)
Sebelum
mencapai Tampuono ada jalan bercabang, ambil jalan ke arah kiri
|
-
|
1
Jam
|
Tracking
|
Tampuono-Eyang
Sakri (pos 3)
|
-
|
30
menit
|
Tracking
|
Eyang
Sakri-Eyang Semar (pos 4)
|
-
|
1-2
jam
|
Tracking
|
Eyang
Semar-Mangkutoromo (pos 5)
|
-
|
1-2
jam
|
Tracking
|
Mangkuto
Romo-Candi Sepilar
|
-
|
30
menit
|
Tracking
|
Candi
Sepilar-Jawa Dipa
Jalur
yang kami ambil ke arah kanan, menanjak dan berbukit-bukit
|
3
jam
|
|
Tracking
|
Jawa
Dipa-Pertigaan Jalur Purwosari dan Lawang
|
-
|
5
jam
|
Tracking
|
Pertigaan
Jalur Purwosari dan Lawang-Puncak
|
-
|
2-3
jam
|
1 Comments
Teruslah berbagi ide sampai masa mendatang .pada dasarnya apa yang saya cari sudah saya
BalasHapusSkandal sex janda muda