- Back to Home »
- adventure , story »
- Serunya Perjalanan Hitch Hiking Sampai Pink
Posted by :
Unknown
Sabtu, 14 September 2013
Teks: Lalu Ahmad Hamdani
Foto: Zico dan Mira
Sambil menyeruput kopi
dan menghembuskan asap rokoknya. Ino mengulum senyumnya yang penuh arti.
Tatapannya menerawang jauh ke atas hamparan langit biru yang menggantung di
atas rumah pinggir sawah saya yang tenang. Rupa-rupanya, tanda keceriaan
misterius dari balik wajah Ino, menyimpan ide brilian yang manjur di otak
kanannya yang kreatif itu.
“Gue masih punya PR
(Pekerjaan Rumah) nih di Lombok. Diving di Gili Trawangan, dan kita belum ke
pantai Pink.” Katanya dengan kuluman senyum misteriusnya yang khas itu.
“Mau ke Gili Terawangan, atau ke Pantai Pink?”
Kataku dengan nada menggoda.
“Kita sih kepengennya
ke pantai Pink. Soalnya kita udah pernah tuh ke Gili Terawangan, cuma belum
sempat diving aja.” Kata Mira.
“Kalau mau ke pantai
Pink. Ke sananya pakai apa Dan?” Tanya Ino.
“Ya pakai kendaraan
lah. Kalau jalan kaki mah jauh” kataku melempar canda, yang disambut tawa oleh
mereka berdua.
“Jalan kaki ke Rinjani
udah, pakai mobil sewaan kemaren udah. Naek angkutan umum nih yang belum
dicobain di Lombok.” Kata Ino memberi racun ide.
“Angkutan umum di sini
agak susah. Jangankan angkutan umum ke pantai Pink. Listrik pun belum ada di
sana.” Kataku membeberi informasi.
Sejenak mereka meresapi
berita itu. Tanpa kata, kami menatap lawan bicara kami masing-masing. Seperti
ada kesepakatan rasa yang terjalin. Namun belum tertuang dalam kata.
“Tapi kalau bisa sampai
Pink pakai kendaraan umum. Juara deh pokoknya. Pasti seru tuh.” Kataku lagi,
yang sebenarnya tergelitik dengan ide untuk backpackeran ke tempat itu.
“Kalau lo berani, kita mah
siapa takut. Lu kan Akamsi (Anak Kampung Sini) Dan. He he he. . .” tantang Ino.
“Iya Dan. Kita mah
traveler murahan. Pokoknya diajak ke mana aja, pakai apa aja. Kita OK kok.”
Sahut Mira menambahi panasnya obrolan yang penuh dengan atmosfer rencana
bertualang itu.
Saya tahu persis, bahwa
daerah yang dituju adalah salah satu daerah terpencil di pulau Lombok. Wilayah
itu adalah perbukitan yang ditutupi oleh hutan pohon Sengon yang memanjang.
Kala musim penghujan, hijau dan sejuknya rerimbunan pohon Sengon berderet di
tepi jalan mewarnai perjalanan ke Pantai Pink. Dikala kemarau, barisan tegak
pohon Sengon yang kurus-kurus meranggas tak menyisakan sehelai daun pun. Suasananya
mirip di afrika saat musim kemarau tiba.
Tak banyak rumah yang
bisa ditemui di sepanjang jalan ke pantai Pink itu nanti. Satu-dua rumah berdinding
bambu, kemudian pohon sengon membentang berkilo-kilo meter jaraknya di antara
halaman rumah para tetangga. Tepat di kaki bukit hutan Sengon yang berhadapan
langsung ke selat Alas dan Samudra Hindia tersebut. Pantai-pantai tereksotis di
pulau Lombok tersembunyi.
Pantai-pantai yang
berserakan di sana adalah Pantai Pink yang awalnya disebut juga pantai Tangsi.
Disebut Tangsi, sebab banyaknya peninggalan
gua/tangsi jepang pada era perang dunia ke-II. Terpahat di dalam bukit-bukit
kapur yang keras di sepanjang garis pantai dan tebing. Selain pantai Pink, ada
sejumlah tempat lain yang tak kalah menarik. Ada Pantai cemara dan tanjung
Beloam yang tak kalah eksotis menghiasi sudut tenggara pulau Lombok tersebut.
Namun pemandangan paling menakjubkan, mungkin terdapat di tanjung Ringgit. Satu
kilometer sebelah selatan pantai Pink. Pantai bertebing kars yang bertatapan
langsung dengan samudra Hindia ini. Menawarkan gabungan aneh antara sensasi
keindahan sekaligus kengerian saat diintip dari balik ketinggian. Gelombang
samudra hindia, terlihat liar bergulung dan berbuih di bawah kaki pengelana
yang menatap keindahan tanjung dari balik bukit tinggi.
Di sanalah keheningan
alam sempurna dibangun dari nuansa debur ombak, lautan tenang, deru angin, dan
gulitanya malam. Tempat yang benar-benar pas untuk menghilang sejenak dari
riuhnya dunia urban. Namun Betapa
sulit transportasi dan akomodasi di tempat tersebut. Jangankan transportasi dan
akomodasi. Jalan beraspalnya pun telah berubah menjadi kerikil berdebu. Justru
kesulitan itulah yang menggairahkan semangat kami, untuk kabur ke tempat
sesunyi itu.
Sebagai tuan rumah, saya pun ingin mengobati
rasa kecewa mereka atas kegagalannya melanjutkan pendakian ke gunung Tambora
setelah berhasil mendaki Rinjani dua hari yang lalu. Padahal, kedua teman jauh
saya ini. Telah memesan tiket Bima-Denpasar untuk itu. Saya pun berharap, semoga
bertualang serta membawa mereka menjelajahi pantai tereksotis di Lombok, akan
sedikit mengobati kekecewaan mereka.
Setelah memikirkan
masak-masak dan mempersiapakan rencana-rencana, hingga resiko apa saja yang
akan dihadapi dalam petualangan kali ini. Kami bertigapun membulatkan tekat
untuk sama-sama menuju pantai Pink dengan menggunakan kendaraan umum, ataupun
dengan hitch hiking style. Apapun
yang terjadi, kami akan menghadapinya.
Walau itu harus berjalan kaki seharian sekalipun.
Kenekatan kami pun dimulai
dari Terminal Renteng, yang memang dekat dengan rumah saya di Praya. Dari titik
ini, kami akan beranjak menuju Jerowaru. Pada dasarnya, tidak ada angkutan umum
yang melayani trayek hingga ke desa Jerowaru, Lombok Timur. Angkutan umum hanya
melayani rute Praya-Kruak. Wisatawan yang berkunjung ke pantai Pink di
Kecamatan Jerowaru, biasanya berdatangan dengan kendaran pribadi dan sewaan.
Mungkin inilah rute backpacker pertama yang pernah dilakukan menuju ke sana.
Kami turun di pertigaan
Keruak-Jerowaru. Sebuah persimpangan jalan yang mudah ditandai, karena sebatang
pohon tumbuh di tengah-tengah jalan beraspalnya yang bopeng-bopeng. Perjalanan yang
memakan waktu kurang lebih 30 menit lamanya itu. Menyuguhkan atraksi tersendiri
sepanjang perjalanan. Penumpang diajak melintasi lahan tembaku yang tak
putus-putus sepanjang perjalanan Praya-pertigaan Jerowaru. Panas terik, serta
lahan kering dengan jalan aspal yang lurus. Mengingatkan kami pada alam Amerika
yang tandus.
Penumpang pun naik dan
turun silih berganti. Di sinilah kami merayakan kebahagiaan menjadi traveler
sejati. Di dalam sempitnya bangku angkot di daerah Lombok Tengah yang berbentuk
khas itu. Kami bisa mengenal lebih dekat warga sasak pedesaan yang masih
malu-malu berinteraksi dengan orang luar pulau seperti kepada kedua temanku
tesebut. Siswi-siswi SMP yang sempat kami temui. Mereka cekikikan dan berbisik-bisikan
di antara mereka. Tak lupa disertai juga dengan curi-curi pandang ke arah kami.
Kami memang terlihat seperti pelancong. Sepertinya tak mudah untuk
menyembunyikan hal tersebut, kalau dress
code hari itu adalah seragam sekolah untuk anak-anak, serta sarung atau
sehelai kain untuk bawahan orang dewasa.
Sejatinya perjalanan
yang seru ini akan dimulai dari pertigaan Jerowaru. Dari sini, sudah tak ada
lagi angkutan umum. Ojek yang saya duga sebagai ojek dadakan pun berjumlah
sebuah sepeda motor, yang tak mungkin sanggup membonceng kami bertiga. Kami pun
memutuskan untuk berjalan kaki, dan menyetop kendaraan model apapun di sepanjang
perjalanan ini nantinya. Sambil berharap nasib baik akan datang menghampiri
kami.
Dari pertigaan
Jerowaru, jarak tempuh masih puluhan kilometer lagi. Sedangkan hari sudah siang
terik, dan hawa panas matahari membakar kami yang nekat berjalan kaki hingga
nanti berhasil menumpang ‘sesuatu’. Entah kapan ‘sesuatu’ itu akan datang. Bisa
lima jam, sepuluh jam, atau pun seharian lagi lamanya.
Tak begitu lama, beruntung
ada sebuah kendaraan pick up berhenti, dan menaikkan kami ke atas baknya. Pemilik
Pick up tersebut mengantar kami hanya sampai ke bibir desa Jerowaru, tempat
tinggal si empunya pick up. Tak jauh memang jarak tempuh kendaraan yang baru
saja pulang dari pasar itu dari titik pemberhentian kami tadi. Tapi itulah
kemewahan yang harus kami terima. Berapapun jarak yang bisa dicapai dengan cara
Hitch hiking ini. Kami tak perduli. Dekat
ataupun jauh, yang penting sampai ke tujuan. Hitung-hitung mencicil perjalanan
ini.
Setelah sampai di rumah
bapak dan ibu pemilik pick up tersebut.
Kami pun turun dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada mereka, karena
telah mau memberi tumpangan yang sangat berharga itu.
Perjalanan kami
lanjutkan dengan berjalan kaki. Sambil terus memberikan tanda acungan jempol
kepada setiap kendaraan yang lewat. Tidak banyak memang yang lewat di daerah
ini. Rata-rata berupa kendaraan pick up
yang mengangkut orang, barang dagangan, atau air bersih yang entah ke mana arah
dan tujuannya. Sampai akhirnya kami mendapat tumpangan kedua berupa pick up
yang tak memuat barang atau orang di bak terbukanya.
Pick up kedua ini
membawa kami berkelana lumayan jauh, hingga sepertiga total perjalanan menuju
pantai pink. Pick up ini memang tidak menuju Sekaroh, tapi menuju daerah lain
di kecamatan Jerowaru. Tepat di pertigaan bertanda penunjuk jalan berwarna
hijau bertuliskan tanjung Ringgit adalah tujuan kami. Kami turun dan mengambil
arah ke kanan. Sedangkan sang empunya Pick up akan melanjutkan perjalanan lurus
ke depan.
“Dari sini berapa lama
lagi Dan?” Tanya Ino.
“Baru seperempat perjalanan
nih. Masih lumayan jauh. Kalau jalan bisa gempor. Belum nemu jalan rusak nih.”
Kataku lagi.
“Jalan kaki lagi kita?”
“Ayo!”
Setelah berjalan cukup
lama, dan berhenti di sebuah warung dekat sebuah sekolah SD. Kami akhirnya
menemukan sebuah keajaiban. Sebuah kendaraan umum melintas dan menepi setelah
kami menyetopnya.
“Mau ke mana dik?”
“Ke pantai pink pak”
kataku kepada sopir tersebut.
“Ayo ikut.”
“Boleh pak?”
“Naik saja.”
Ternyata, kendaraan
umum yang sudah ditumpangi seorang ibu dan anak-anaknya itu sedang dalam
perjalanan mengambil buah nangka dan pisang di rumah kerabat mereka. Di sebuah
desa berjarak kurang lebih 7 kilometer sebelum pantai Pink. Pisang dan nangka tersebut,
nantinya akan digunakan sebagai bahan masakan untuk acara pesta perkawinan.
Beruntung kami bertemu
dengan angkutan umum yang bisa dikatakan sangat amat jarang bisa ditemui di
daerah terpencil, di ujung tenggara pulau Lombok tersebut. Angkutan itupun
hanya mau melayani carter, ataupun perjalanan
yang bersangkut paut dengan urusan sanak family saja. Barulah mereka mau
menyusuri jalan perbukitan kars berdebu yang tak terurus itu.
Mengarungi jalanan
berdebu desa terpencil di tenggara pulau Lombok ini. Tiga orang pelancong
seperti kami, bak selebriti di mata mereka. Kami seperti ditelisik oleh
mata-mata penasaran yang jelalatan menulusuri ujung rambut sampai ke ujung kaki
kami.
“Dari mana dik?” Tanya
ibu tersebut kepada saya menggunakan bahasa sasak.
“Saya dari Praya bu,
teman-teman saya dari Bandung.”
“Lihat tuh, ada orang Jakarta di depan kita
nak.” Kata sang ibu kepada anak-anaknya yang bersembunyi di balik ketiak,
dengan bahasa daerah.
Anak-anak mereka
tersipu-sipu disuruh berkenalan dengan orang asing menggunakan bahasa Indonesia
oleh ibunya. Saya taksir, bahasa Indonesia ditempat ini, sama harganya dengan
bahasa asing. Tak banyak yang mampu berbahasa Indonesia yang baik di sini.
Hanya mereka yang sempat mengenyam bangku sekolah dasarlah yang mengunakan
bahasa itu. Selebihnya, komunikasi mereka menggunakan bahasa daerah. Tak heran
jika anak-anak SDpun tersipu dan gagap berbahasa Indonesia.
“Katanya mau lihat
Jakarta yang seperti di Tv-Tv itu. Sekarang ada orang Jakarta di depannya. Kok
malah malu mau ngomong bahasa Indonesia?” lanjutnya lagi berkomentar. Untung
masih menggunakan bahasa daerah, yang hanya aku saja yang paham. Kalau tidak.
Bisa besar kepala kedua temanku dibuatnya.
***
Kami akhirnya tiba di
pantai Pink yang diidam-idamkan menjelang sore hari. Setelah sepertiga
perjalanan terakhir, kami ditolong oleh truk bermuatkan logistik dan bahan
bangunan yang bertujuan ke pantai Pink. Ini seperti sebuah Jackpot bagi kami. Bayangkan, setelah naik turun dan menyambung
kendaraan. Akhirnya kendaraan terakhir kami menuju ke tujuan yang sama.
Meloncat ke bak
belakang truk. Kami pun berhati-hati memilih tempat kosong di antara serakan
barang-barang yang berjubel. Barang bawaan truk tersebut memang banyak. Namun di
lokasi pantai Pink, tidak lebih dari 5 buah warung saja yang berdiri. Hanyalah
sebuah rumah penduduk dan sebuah bungalow bertarif 1 juta/malam yang menjadi
bangunan permanen di tempat tersebut. Sebulan sekali, penduduk, pemilik warung,
dan pengurus bungallow menyetok logistik, bahkan air bersih dengan jumlah yang
banyak.
Kami yang tak mampu
membayar harga sewa bungallowpun menumpang tidur di gazebo (berugak) yang ada
di pantai pink. Setelah meminta izin terlebih dahulu kepada ibu-ibu (inaq-inaq)
pemilik rumah. Kebaikan masyarakat, penduduk lokal, inaq pemilik rumah, dan
teman-teman baru yang kami temui di sepanjang jalan. Telah banyak membantu kami
dalam perjalanan ini. Tanpa mereka, tidak mungkin kami bisa melakukan
petualangan nekat yang seru dan tak terlupakan itu.
Bagi kami bertiga, kami
sepakat inilah wajah penduduk Indonesia yang sesungguhnya. Wajah-wajah ramah
penduduk, dengan sikap saling tolong-menolong yang tinggi. Juga kepolosan yang
disembunykan dari gerak-gerik malu-malu –jinak-jinak merpati kata orang-, dan keingintahuan
yang besar mereka terhadap para pendatang baru. Semua terungkap dalam
perjalanan kali ini. Jika tidak melakukan Hitch Hiking, mungkin semua akan
terlewatkan.
10 Comments
Pengen coba hitch hike sesekali. Ajakin dong bang!
BalasHapusHayoooo. ke kerinci yukkk
Hapuskeren kawan, mantabbb dah....
BalasHapusmakasih kawan, , , semua perjalanan itu keren kawan
Hapushalo lalu ahmad....
BalasHapussenang ngebaca perjalanan HH-nya. ehemmm... ejie jg mau atuh HH ke pantai pink sana. ntar, kl ejie ud dapat libur ktr, rencana jalan2 banyak by hitchhiking :)
oia, ini link tulisan ejie ttg hitchhiking. rangkaian cerita komunitas ejie, HHI
http://ejiebelula.wordpress.com/about/
dan ini cerita2 HH ejie kmn2, lalu ahmad...
http://ejiebelula.wordpress.com/category/hitchhiker-indonesia-hhi/
http://ejiebelula.wordpress.com/category/rp-0/
Wah, , , ini nih sedot ilmunya. . . he he he
Hapusejieee...gw ikut yak klo ke lombok..kita HH bareng disana..om keren ceritanya om, jadi berasa ikutan HHnya.. :)
BalasHapusMampir mampir ya disini..
http://ramdanduchiha.blogspot.com/
siap, , , HH bareng om
Hapuswahh keren bangett gann (y) mantabbpp dahh ceritanya
BalasHapusterima kasih gan :)
Hapus