- Back to Home »
- interresting point , story »
- Suara-Suara Sumbang Di Atas Bus Ekonomi
Posted by :
Unknown
Senin, 25 November 2013
Bus
Ekonomi. Bagiku adalah sekotak penuh cerita kehidupan yang sarat dengan
perasaan dan aktifitas manusia. Melamun sambil memandang jauh keluar jendela
saja telah banyak menginspirasiku. Apalagi memperhatikan dengan seksama, segala
macam aktifitas manusia yang berlalu-lalang di dalamnya.
Ada
pengamen jalanan. Ada ibu-ibu. Ada bapak-bapak. Ada pedagang asongan, Copet, Mungkin
ada juga buronan yang sedang melarikan diri, atau orang yang kabur dari segala
keterpurukan masa lalunya, dan berharap akan menuju kehidupan yang lebih baik
di tempat yang baru. Semua komplit di dalam bus. Maka setiap kali aku menaiki
bus ekonomi. Aku merasa ini adalah sekotak penuh perasaan manusia yang
terperangkap dalam diam dan deru mesin melaju.
Sekali
waktu aku memperhatikan pedagang asongan yang berhimpit-himpitan dengan
penumpang yang berdiri. Menjejali pangkuan penumpang dengan barang dagangannya
-sebagian besar berupa makanan dan minuman-. Sering kali aku lihat dagangan
mereka tak laku di atas sebuah bus. Lalu aku bertanya. Seberapa banyak bus yang
harus mereka sambangi dalam sehari untuk mampu menjual habis semua itu?
Di
terminal kota kecil yang lain. Naiklah sebuah grup pengamen. Bernyanyi suka
ria, menghibur penumpang. Ini adalah proses kreatif yang paling kompetitif di
jalanan. Menyadari bahwa, pengamen jalanan baik solo maupun dalam bentuk grup
jumlahnya ratusan. Mereka harus benar-benar menghibur, atau harus mampu
menyentuh hati pendengar mereka, yang sering kali acuh tak acuh itu.
Penumpang
Bus Ekonomi sering kali hanya mau menikmati alam fikiran mereka yang sedang
melayang jauh. Mereka sering kali tak menggubris kreatifitas dalam bentuk
apapun dari para pengamen itu. Mereka tak pernah benar-benar peduli.
Pengamen-pengamen
yang kutemui kali ini begitu semarak rupanya. Ada yang berkualitas di bawah
standar. Seperti seorang wanita kecil seusia 10 tahun yang menjajakan kepahitan hidup
melalui suara falesnya. Diiringi kerecekan-alat musik dari kayu dan tutup botol
minuman yang dipipihkan yang bisa berbunyi “crek!crek!crek”- buatannya sendiri.
Ada grup musik beranggotakan dua lelaki dan seorang perempuan yang menampilkan
sajian musik dangdut jalanan. tentu saja iringannya adalah gendang -biasanhya terbuat dari pipa palaron dibalut karet sebagai membran di permukaannya- dan gitar. Grup ini menampilkan
nomor-nomor yahud yang membuat orang turut bergoyang dalam sikap diam mereka
yang berlagak acuh tak acuh. Terbukti aku memergoki ujung-ujung kaki penumpang
ikut bergoyang terbuai syahdunya suara penyanyi si gadis merdu. Supaya lebih atrakftif lagi, mereka memberi kesempatan kepada penumpang untuk meminta lagu apa saja dengan genre dangdut, dan pop melayu tentunya. Tak dinyana-nyana, dua buah lagu request bapak-dan ibu-ibu di dalam bus. mampu mereka bawakan dengan apik. Sebuah grup jalanan yang bertalenta sekali.
Kala
bus melewati kota yang lain. Naiklah seorang ibu-ibu sambil membawa kotak
amplifyer lenkap dengan pemutar CD, lalu berdendang karaokelah dia suka-suka.
Sebuah bentuk hiburan digital yang lain dari pada yang lain di atas bus penuh
sesak ini.
Lalu
di akhir riuh-rendah keramaian hiburan jalanan itu. Aku tertidur karena lelah mendera tubuhku, disebabkan perjalanan
berjam-jam melintasi pulau jawa dari ujung barat menuju ujung timur. Sebelum akhirnya sebuah
suara serak tak jelas seperti bunyi burung gagak yang mengerikan
membangunkanku.
“Oaakk,,,
Kroookkk, , , eeekkk,,,!”
Aku
terbangun dibuatnya. Aku mendelik memperhatikannya dari sudut mataku. Dia
seorang anak laki-laki. Kalau dia sekolah, mungkin usianya sudah masuk kelas 3
SMP atau kelas satu SMA. Di tangannya yang kurus kecil, ia memeluk gitar
bersenar 3 buah –tiga senar pendukung yang lain hilang entah kemana-. Entah
lagu apa yang dimainkan. Bahkan aku berani bertaruh ia tak bisa bermain gitar
sama sekali. Kalaupun bisa, sungguh itu adalah kunci gitar paling aneh yang
pernah aku perhatikan.
“Oaakk,,,
Kroookkk, , , eeekkk,,,!” teriaknya, seperti seekor gagak yang tenggorokkannya
sedang penuh dengan kodok yang belum sempurna ditelannya.
Setelah
menggenjreng gitar yang tak jelas iramanya. Suara aneh itu dilontarkannya
kembali ke tengah-tengah keheningan penumpang yang tertidur.
“Abllah...
bla bla bla. . . pfffhh... krook. . . ekk!!” raut mukanya susah payah
mengeluarkan suara parau mengerikan itu. Bola matanya hampir-hampir mau keluar
dari tempatnya. Ia seakan merasakan perasaan tertahan yang tak pernah bisa
keluar lepas dari ketercekatan itu. Lehernya yang kurus kecil berwarna coklat
gelap terlihat memerah. Terlihat jelas uratnya menyembul dari kulit lehernya
yang memerah, tegang setegang-tegangnya. Tubuhnya kejang-kejang kaku. Mirip
seperti seseorang terkena epilepsi, ketika melontarkan semua suara paraunya.
Gayanya
acuh tak acuh bak penyanyi rock di atas panggung. Ini memang panggungnya. Dia tak akan pernah canggung lagi untuk
tampil di atas bus ekonomi ini. Mungkin sudah ratusan kali ia menyanyi seperti itu di atas
puluhan bus ekonomi berbagai rupa. Kalau tidak memiliki mental percaya diri
sebesar itu. Maka pensiunlah ia dari profesi pengamen jalanan.
Sudah
lebih dari lima menit. Erangan kesakitan yang ia anggap sebagai nyanyian itu
terus saja ia lakukan. Dendangan nada dan suara monoton ditingkahi genjrengan
“kunci inggris” di atas tiga utas senar gitar bobrok ia mainkan. Lalu kini ia tiba-tiba
berhenti. Menggenggam leher gitar tiga utasnya. Rupa-rupanya ia ingin
menyampaikan sesuatu. Tapi lagi-lagi.
“Abllahh...
bllah, , , eblleh, , krroookk, , , pfffhh,,,” gestur dan matanya menyapu ke
segala penjuru. Mata kami saling bertemu. Ia melemparkan pandangan tak suka
kepadaku. Entah apa maksudnya. Aku tak yakin? Apakah memperhatikannya terlalu
lama telah menyinggung perasaannya? Tapi yang aku yakin hanyalah. Kalimat
terakhir sebelum tatapan tak bersahabat yang tertuju kepadaku itu adalah
sebentuk ucapan terimakasih panjang lebar kepada kondektur, sopir, dan
penumpang yang sudi mendengarnya melantukan lagu-lagu paraunya –diucapkan
dengan susah payah dan penuh perjuangan pula-. Aku tahu dan yakin. Ia berusaha
menjadi pengamen bus ekonomi normal di atas segala kekurangannya.
Si
parau muda yang bisu itu pun mulai mengedarkan bungkus permen kosongnya ke
semua orang. Berharap ada receh yang dilemparkan ke sana. Demi menyambung
kehidupannya di jalanan yang keras ini.
Mengapa
ia tak memilih profesi lain? Berjualan kek,
mengemis lah, menjadi tukang parkir, atau apapun itu terserah! Mengapa ia
memilih menjadi pengamen? Dia tahu pasti, bahwa itu adalah kekurangannya. Ia
bisu, sebisu-bisunya.
“Eakkk,
, , bllhh,,, pffhhh,,, krrrookkk,,,” katanya kepada tiap orang yang melempar
receh di bungkus permennya. Tidak lupa dengan gaya menahan rasa tersiksa di
sekujur tubuhnya
Apapun
alasannya, aku tak mau menyakitinya lagi dengan pertanyaanku. Dia sungguh telah
menawan hatiku siang itu atas kegigihannya. Tak ayal tips terbesar bagi artis
jalanan kali ini pun kuberikan padanya. Si rocker Bisu bersuara parau.
Bandung-Yogyakarta-Malang Di Penghujung April Menyambut Mei 2013.