- Back to Home »
- adventure , story »
- Insiden Yang Menyatukan Kami dan Tiu Kelep
Posted by :
Unknown
Kamis, 28 November 2013
Banyak air terjun yang pernah kusambangi. Dari yang bernama,
hingga yang tak bernama. Salah satunya air terjun eksotis yang terkenal di
pedalaman hutan Senaru Lombok utara. Bersama kawan-kawan dari Backapacker Indonesia
(BPI) dan Couch Surfing (CS). Kami menyusuri jalanan dari sore hingga hampir
tengah malam menuju basecamp Senaru. Di tengah deru hujan bulan februari
beberapa waktu yang lalu. Insidensial, menjadi kata yang tepat sekali untuk
menggambarkan cerita ini. Bagaimana bisa saya tergabung dengan kelompok traveling jungkies; Adi, Wina, Ruri,
Jorge,dan Efi?
Adi dan Wina adalah kawan di forum BPI. Mereka berdua baru
saja turun dari gunung Agung di Bali. Tragis, rencana hendak menyebrang ke
Trawangan. Mereka malah ditipu oleh oknum sopir angkot, dan akhirnya “nyangkut”
di Senggigi.
Untung saya ada di Lombok bulan itu. Cepat-cepat saya
melajukan sepeda motor menuju senggigi. Kasihan sekali mereka. Kesan pertama
yang sangat tidak mengenakan. Apalagi bagi Wina yang baru pertama kali menginjakkan
kaki di Lombok.
Sebagai penduduk asli, saya menawarkan diri untuk menjadi
teman seperjalanan mereka selama berkeliling Lombok. Kebetulan, saya ada
rencana keesokan harinya dengan kawan-kawan dekat saya. Untuk mencari hiden beach di daerah Tenggara Lombok.
Pantai Semeti namanya. Semoga dengan begitu mereka jadi lebih terhibur, dan
mampu menghilangkan penat, lelah, dan jengkelnya.
Sayapun jadi ikut menginap semalam di satu kamar homestay
yang mereka sewa. Kamar sekecil itupun langsung penuh sesak ditiduri oleh saya, serta jejalan
barang-barang Adi dan Wina. Suasananya jadi lebih mirip kamar anak kos
laki-laki daripada kamar homstay.
Esoknya, sesuatu yang tak terduga terjadi lagi. Teman Wina
di webseite CS ternyata sedang ada di Lombok. Mendengar Wina hendak menuju surga
tersembunyi bersama saya dan rekan-rekan. Tentu penggila pantai itu
bersemangat. Padahal kabarnya. Mbak Efi teman Wina ini baru saja sampai dari
Gili trawangan. Tapi tetap semangat menuju surga tersembunyi lainnya di Lombok.
Saya hanya geleng-geleng kepala.
Menunggu agak lama. Mbak Efi pun datang dengan dua orang
lain. Mereka adalah Jorge dan Ruri. Anak CS juga. Sangat insidensial bukan?
***
“Nggak bosen sama trip pantai mulu?” kataku keesokan
malamnya, setelah seharian keliling pantai-pantai di daerah Lombok selatan.
Sehari itu memang kami telah berkeliling Mawun, Semeti,
Kuta, Seger, dan Tanjung Aan. Ditambah lagi dengan kunjungan Desa adat Sade.
Sebagian besar dari kami menjadi sedikit muak dengan bau asin garam, pasir
putih, sengatan matahari, dan lautan membiru.
Sehabis musyawarah penuh canda tawa. Kami berenampun
akhirnya sepakat untuk mengantar Adi yang sudah ngebet pengen naik gunung lagi
ke Senaru.
Perjalanan kami pun dimulai. Agak kesiangan memang keberangkatan
tersebut. Padahal jarak tempuh dari rumah saya, yang dijadikan titik awal
keberangkatan ke Senaru, cukup jauh. Insiden pun lagi-lagi kita temui di tengah
perjalanan.
Baru saja perjalanan melahap ¼ jarak tempuh. Motor sewaan
Jorge, dan Efi pun gembos. Memakan sedikit banyak waktu untuk menuntun motor matic itu ke tukang tembel ban terdekat,
lalu mengganti bannya. Sorepun datang dengan begitu cepat. Ditambah lagi dengan
acara “pit stop” sambil foto-foto di jalur sepanjang Senggigi-Malibu yang
memang menawarkan paradise view
ciamik.
Hal lain yang paling membuat molor adalah. Kecepatan
“nge-gas” si Jorge yang kayak siput. Maklum bule Spanyol mungkin jarang naik
motor. Tapi jalanan cukup sepi waktu itu, speedometer seharusnya mampu
menunjukkan angka 70-80 km/jam. Tapi karena tidak enak jikalau ada yang
tertinggal. Saya dan Adi di barisan depan sering kali istirahat di tengah jalan
sambil menunggu Jorge terlihat dekat. Tak ayal jarak 2-3 jam waktu normal yang
bisa ditempuh menuju Senaru menjadi entah berapa lama lagi?
Bukan masalah bagi saya, karena memang kita harus menghargai
travelmate kita bukan? Apapun
kekurangannya. Kelebihannya, setiap kali berhenti melepas lelah -berkendara jarak jauh dengan kecepatan
santai ternyata cukup melelahkan-. Apalagi ketika berhenti di warung-warung
penduduk lokal sepanjang jalan. Kami jadi bisa mengenal travelmate kita lebih
jauh. Canda, tawa, modus-modusan J
pun mewarnai perjalanan panjang di malam hari itu. Diiringi rintik gerimis
bulan februari. Alamak mengapa gerimis, hujan, dan segala nuansanya selalu
beresonansi dengan kenangan indah ya? He he he
Lewat pukul 12 malam. Kami baru sampai di Senaru. Kami
menginap di base camp pak Suardi, salah satu link kami kalau ingin naik
Rinjani.
“Kok malam sekali datangnya nak?” kata pak Suardi.
“Iya pak. Jalannya macet he he he.”
“Loh?”
Pembaca tahu? Sebenarnya tidak ada dialog seperti itu. Cuma
saya lupa dialog apa yang terjadi di antara kami. Tapi saya ingin pembaca tahu.
Pak Suardi ini memang baik sekali. Coba bayangkan, siapa yang masih mau menerima
kedatangan tamu tengah malam. Di hutan kaki gunung Rinjani lagi. Apa nggak
kedinginan pak Suardi nungguin kami? Ya tidak. Kan dia nunggunya di dalam
rumah. He he he. Tapi beneran loh. Base camp pak Sunardi di Senaru ini cocok
buat backpacker yang lebih suka berbaur dengan masyarakat sekitar (alasan yang
lebih ideal dan bermartabat dari pada dibilangin berkantong tipis he he he).
Untuk menginap dan mendapatkan makanan di Base camp pak Suardi di rumah beliau.
Cukup dengan uang terima kasih. Uang itupun kami iuran he he he. Nah jumlahnya
tidak kami sebutkan karena memang ikhlasnya tiap orang atau satu grup kan
beda-beda.
Sebelum besoknya kami heading
to Tiu Kelep water fall. Kami pun langsung meringkuk di ruang tamu pak
Suardi. Beralaskan tikar, berbungkuskan selimut. Kenangan yang tak terbayarkan
dengan nilai rupiah. Benar-benar terasa seperti anak desa. Ditambah dengan hawa
dingin pegunungan. Kantuk pun hinggap dengan nikmatnya.
“Nyolong nggak papa deh pak.” Kata Adi yang masih terjaga
dan ngobrol dengan pak Suardi serta kemenakan pak Suardi.
“Lu nyolong apaan di?”
“Lu ikut kan Dan?”
“Wah gua kagak ikut-ikutan Di. Sumpah, gua kagak ada yang
gua colong.”
“Maksud gua. Besok abis dari air terjun. Nanjak kita ke
Rinjani.”
“Yah bisa saja sih mas. Kalau lewat belakang. Tapi resminya
Rinjani lagi tutup. Lagi musim badai.” Kata pak Suardi lagi menekankan.
“Sampai pelawangan juga nggak papa deh pak. Gak pake nginep.
Tektok dah. Iya kan Dan?”
“Eits, , , gua kagak ikutan. Gua Cuma nganterin doang sampai
Senaru bro. Gua taat aturan.”
Februari itu memang Taman Nasional Gunung Rinjani sedang di
tutup. Selain karena musim hujan. Taman nasional yang sudah terlalu sering
dikunjungi manusia membutuhkan recovery
untuk memulihkan ekosistem alaminya. Biasanya penutupan seluruh Taman Nasional
di Indonesia dilakukan priode bulan Januari-Maret. Jadi jangan ditiru yah
kelakuan teman kita si Adi yang satu ini. Eits, tapi bukan hanya Adi juga loh yang
membandel. Bule-bule pun banyak yang lewat belakang. Porter dan guide Senaru
pun setengah hati menegakkan peraturan. Daripada asap dapur kagak ngebul. He he
he.
***
Pagi menjelang. Tidur di hawa pegunungan memang menyegarkan.
Dingin-dingin gimanaaaa gitu. Jadi lebih intim dengan selimut he he he. Tapi
hari ini, di pagi secerah itu. Saya dan rekan-rekan lebih memilih berolahraga. Light trekking ke dua air terjun di
Senaru yang terkenal dengan keindahannya. The
adventure begin broh.
Dari base camp pak Suardi di temani oleh Sutri kemenakan pak
Suardi. Hanya butuh waktu tak sampai 20 menit ke air terjun sendang gile. Kami lewat jalur
perkampungan dan tidak lewat pintu masuk resmi. Di sisi kami tebing dan jurang.
Tapi bukan jalur ekstrim, melainkan
jalan setapak yang cukup luas dengan kanal-kanal air.
“Suara apa itu pak di dalam tebing?” tanyaku.
“Oh… itu suara air.” Kata Sutri menjelaskan.
“Loh, di dalam tebing ada airnya?”
“Ya, ini dulunya lorong saluran air. Dibuat belanda, sejak
zaman penjajahan”
“Wow, , , baru tahu yang satu ini.”
“Kalau bawa senter pulangnya bisa sambil meluncur di dalam
terowongan situ.”
Saya kagum, mupeng, dan menyesal tidak bawa peralatan.
(Takutnya entar kegoda nanjak bareng Adi sih. Kalau emak gua tahu berabe
urusan. Orang gua kagak naik gunung aja, emak denger berita orang hilang atau
mati di gunung langsung nelpon gua wkwkwk).
Ngobrol ngalor-ngidul sambil jalan. Eh sudah sampai di
Sendang Gile. Air terjun pertama. Air terjun berhawa dingin dengan ketinggian
sekitar 20 meter ini uniknya memiliki dua aliran air. Jadi double water fall nih, alias air terjun kembar, atau malah
sebenarnya mereka ini couple.
Terserahlah.
Tapi belum menantang treknya, Jorge saja sampai ngomong “Dani.
I want my money back!”. Sambil ngelirik isi kantong. Kagak ada euro di
sana. Perasaan tadi pagi juga si bule kagak nitip apa-apa, apalagi duit. Ha ha
ha, , , terang punya terang. Maksud
idiom itu, ternyata. Dia kurang puas. Minta tontonan yang lebih lagi.
Ok lanjut ke destinasi ke-2 dengan trek yang lebih
menantang. Lebih dalam memasuki hutan tropis nan lebat. Keluar masuk sungai
berair sedingin es. Meniti batu kali yang licin berlumut. Hup setengah jam
trekking santai nan ceria penuh canda itu pun berhasil dengan penemuan. “What a wonderfull water fall I’ve ever seen
before.” Persis seperti tempat mandinya para bidadari dalam kisah Jaka
Tarub.
***
Februari masih memuntahkan hujannya. Kadang gerimis yang
lama, atau hujan lebat dengan awan pekat.
Jorge tak mau minggat dari Senaru. Bukan karena dia betah dan kecantol
bidadari di Tiu Kelep. Tapi karena gerimis di gunung rintik-rintik sekali.
Parahnya, dia akan tinggal satu hari lagi kalau memang gerimis kecil tapi
keroyokan itu tak reda-reda sampai malam.
Oh no. please Jorge. Ini bukan masalah kita mau maksa kamu
untuk ikut pulang. Itu terserah kamu, mau stay lebih lama lagi di manapun is No Problemo. Masalahnya, motor kamu,
motor ruri dan wina itu sewaan. Kamu tahu sendiri bukan? Kalau tidak melihat
ada bule yang kami bawa. Persewaan motor tidak yakin menyewakan motornya pada
wisdom (wisatawan domestik) seperti ruri, wina, adi, dan efi. Please don’t be childist.
Sedikit ketegangan terjadi di antara kami saat ingin pulang.
Ada campur aduk kepentingan pribadi yang tidak mampu diurai dalam kata-kata.
Ingin sekali mendamprat ego si Jorge. Tapi di suasana dinginnya gerimis kala
itu. Otak dan hati harus ikut dingin juga. Supaya musyawarah dan mufakat
menjadi jalan tengahnya.
Akhirnya, Jorge mau beranjak juga menerjang gerimis. Dengan
kesepakatan, bahwa akan berhenti jika hujan lebat datang di tengah jalan. Ok fine.
Hujan pun seakan mempermainkan keadaan kami. Sebentar
gerimis, sebentar hujan. Kami berhenti berkali-kali, berteduh di warung-warung
di sepanjang jalan lagi. Menunggu hujan reda atau gerimis lagi. Benar-benar
lucu sekali. Kesepakatan bersama harus dijunjung tinggi. Padahal, bisa saja
saya, ruri, dan wina menerjang hujan lebat. Ngebut sampai senggigi lalu
sesegera mungkin ruri dan wina ke lembar. Demi menyebrang bali dan mengejar
penerbangan pesawat promo denpasar-jakarta mereka. Sayang kan? Kalau tiket
promo yang sudah mereka hunting
jauh-jauh hari itu hangus kalau sampai besok siang belum tiba di denpasar. Aduh
anak-anak zaman sekarang mainnya kok jauh-jauh ya? :P
Tapi lagi-lagi Allah. Tuhan yang maha pengasih itu.
Menunjukkan kuasanya. Lewat cara seperti itu. Kami utamanya Ruri, Wina, dan
Saya yang sudah kehabisan duit jajan itu jadi bisa bagi-bagi camilan ringan di
tiap warung yang kami singgahi. Pertama beli camilan penghangat badan dengan
duit saya, terus pakai duit ruri, terakhir sisa logistik Wina dari hasil nanjak
gunung agung berhari-hari yang lalu, dan tidak sengaja ketemu di taspun
dibagi-bagikan. Memang hujan selalu
membuat kita cepat lapar, butuh kehangatan. Eits, balsam dan tolak angin pun
kita bagi-bagi untuk mengusir dingin, atau masuk angin. What a nice shared trip. Not just a share cost trip. That was
something.
Tinggal sedikit lagi sampai di tempat penyewaan sepeda motor
di kawasan Senggigi. Jorge dan Efi memilih menginap di sekitar kota Tanjung,
kabupaten Lombok Utara, karena sudah tidak kuat dengan hujan yang memang tidak
henti-hentinya datang dan pergi sejak siang sampai malam. Seakan seluruh Lombok
hujan, seakan seluruh Indonesia ditudungi langit gelap raksasa saja. Untung di
sini, sudah bisa menghubungi pihak penyewa. Jadi masalah kendaraan sewaan pun
aman terkendali General.
Bensin motor sudah menipis. Bensin eceran dalam botolpun
kami share. Kami bertiga Ruri, Wina, dan saya pun sampai di Senggigi sudah
sangat larut. And it’s time to spare.
Saking terharunya dengan kisah pahit manis dalam perjalanan ini. Kami berpisah
sampai peluk-pelukan, padahal baru kenal mereka tiga hari. Tapi rasa- rasanya
kayak udah kenal lamaaa sekali. Bagi saya keajaiban dalam sebuah perjalanan itu
ya di situ. Mendekatkan sisi-sisi kemanusiaan kita. Bukan hanya demi berburu
keindahan. Good bye my friend, I wish I
can see you in the next trip.