- Back to Home »
- others , story »
- Kabur (cerita bersambung)
Posted by :
Unknown
Senin, 09 Desember 2013
Saat
itu bandara Lombok masih di bandara Selaparang, Mataram. Masih belum tengah
hari saat aku tiba di bandara kecil, tapi
cukup rapi itu. Ada keajaiban yang tak aku sadari, telah terjadi ketika
aku beranjak di titik ini.
Dengan
malu-malu, takut, dan sok tahu. Aku memesan tiket penerbangan menuju
Lombok-Jakarta. Orang-orang di bandara lalu-lalang tanpa memperhatikan keganjilan
di sekelilingnya. Ada seorang anak yang
akan pergi ke Jakarta, tanpa orang tua, tanpa tas, tanpa buntelan. Ah! aku
pikir mereka mungkin terlalu sibuk untuk berfikir, dan memperhatikan orang lain.
Ajaibnya,
setelah menunjukkan tiket pesawat kepada petugas. Aku diperbolehkan masuk ke level pemeriksaan selanjutnya. Dari balik
punggung orang-orang mengantri. Aku melihat lapisan birokrasi panjang menuju
ruang tunggu yang menggiurkan.
Sial!
Gambaranku tentang keamanan bandara tak pernah seketat ini sebelumnya. Aku
takut, seseorang
tanpa KTP tidak bisa naik pesawat. Namun dengan sangat hati-hati, perasaan-perasaan takut itu aku
sembunyikan dengan rapi dalam hati.
Aku
memperhatikan alur setiap orang. Agar aku tidak bertanya pada petugas bandara. Sangat rentan bagiku jika aku
bertanya saat ini. Satu saja pertanyaan balik dari orang lain, maka mental yang
aku bangun kusangka akan runtuh dengan sekejap.
Setelah
melewati pintu tak berdaun –metal
detector-, yang kabarnya akan berbunyi setiap kali mendeteksi benda-benda
metal. Aku beruntung tak ada bunyi-bunyian aneh yang keluar saat aku
melewatinya. Ujian pertama berhasil aku lewati dengan mulus.
Aku
berjalan ke level kedua, masuk dalam antrian panjang pemeriksaan seorang
petugas berseragam. Para penumpang yang lain menyerahkan tiket mereka kepada
petugas-petugas tersebut. Di atas kepala petugas-petugas itu ada semacam Board
dengan nama-nama maskapai penerbangan yang menaungi mereka, lengkap dengan
tujuan yang berbeda-beda
ke sebagian penjuru Negeri. Aku dengan sedikit keraguan
berjalan perlahan dalam antrian, dan berharap tidak melakukan kesalahan sedikit
pun. Saat itu kalimat yang paling aku takutkan, yang akan keluar dari mulut petugas-petugas
tersebut adalah.“Orang tuanya mana dik?”.
Selama
masa menanti di antrian
tersebut. Aku berfikir keras untuk memikirkan kalimat yang paling masuk akal, untuk
menjawab semua kemungkinan pertanyaan yang akan keluar nanti. Setelah tiba
giliranku menyerahkan berkas yang diperlukan.
“Boleh
lihat kartu identitasnya Pak?” sahut petugas bandara tersebut kepadaku. Tidak
ku sangka aku akan dipanggil dengan sebutan “Pak”.
“Kartu
pelajar boleh, mas?” tanyaku sambil menyembunyikan perasaan gugup dari keterkejutanku, karena panggilan
“Pak” macam itu tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.
“Loh,
adik pergi sendiri, nggak sama orang tuanya?” tanya petugas itu lagi, sambil melihat lagi selembar kertas yang
dipegangnya. Seolah ia
kembali memastikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa
penumpang yang berdiri di depannya benar-benar seorang anak muda bau kencur yang
baru berumur 15 tahun.
“Iya,
aku sendirian mas, nyusul papa-mama yang berangkat lebih dulu satu hari
kemarin. Enggak papa kok, udah biasa kayak gini.” kataku berusaha tenang, dan
berharap kalimat bohongku semasuk akal mungkin.
Demi
sok menjadi anak kota yang biasa terbang menggunakan pesawat sendirian. Untuk
pertama kalinya lidahku aku paksakan memanggil kedua orangtuaku dengan sebutan papa-mama.
Untung tidak kelu lidah ndesoku melafalkannya.
“Oh,
gitu, yah? Kartu pelajarnya bisa saya lihat?” kata petugas itu lagi.
Entah
apa yang terjadi, aku sedikit tidak percaya akan keajaiban yang lagi-lagi
datang menghampiriku. Dipemeriksaan kali ini pun aku berhasil lolos dengan
mudah. Tanpa ragu, dan dengan sigap aku menyodorkan kartu pelajar yang aku
punya.
“Nggak
ada bagasi?” tanya petugas itu lagi.
“Ahhh!
Bagasi?” sejenak aku berpikir dengan apa yang dimaksud “bagasi” oleh sang
petugas. Ini kali pertama aku keluar pulau, pakai pesawat pula. Istilah-istilah
seperti itu belum pernah aku dengar sebelumnya. Aku hanya tahu bagasi itu, seperti
sejenis ruangan yang ada di belakang mobil untuk menyimpan barang.
“Ada
barang, tas, ransel, atau koper?” tanyanya lagi menegaskan.
“Oh
nggak ada mas, semua udah dibawa kemaren. Biar aku enak jalannya sendirian.”
kataku kembali berbohong, berharap semoga dia percaya, dan tidak memanggil
Satpam untuk mengintrograsiku lebih lanjut. Sungguh punggungku mulai basah oleh
keringat dingin yang saat itu mulai timbul di balik baju kaosku.
Setelah
selesai mengurusiku.
Aku segera beranjak cepat meninggalkan
tempat yang serasa seperti pengadilan mini itu. Aku paling benci dengan segala
jenis pertanyaan-pertanyaan menyudutkan seperti itu. Aku tidak ingin status
kaburku terbongkar terlalu cepat.
Aku juga merasa tatapan mata petugas tersebut
masih memandangku lekat sejenak setelah meninggalkan tempat check in itu. Beruntung aku tidak
melewati barisan antrian orang-orang di samping loket asuransi, sehingga
sebelum masuk boarding pass. Aku
mengikuti alur reguler agar tidak menciptakan kehebohan kecil yang sia-sia.
Setelah
membayar asuransi. Aku kabur ke boarding
room. Lewat tanpa sepatah katapun di pemeriksaan terakhir, dan mencoba berusaha
begitu dekat dengan orang dewasa yang berada persis di depanku. Sengaja kulakukan hal itu, agar
disangka anak dari orang dewasa yang ada persis di depanku oleh petugas-petugas
yang membuatku menjadi sedikit paranoid.
Sungguh
lega rasanya ketika berada di ruangan luas, tanpa pemeriksaan apapun lagi. Hal
inilah yang kumau sedari tadi. Kesendirian menikmati detik-detik peristiwa
terpenting dalam bagian sejarah hidupku. Menunggu
dengan tenang kedatangan pesawat yang
akan membawaku pergi. Waktu yang cukup untuk menenangkan diri. Berfikir jernih,
dan mengumpulkan sisa-sisa keberanian di dalam dada.
Di
depan ruangan luas itu. Aku bisa dengan jelas menerawang ke luar jendela kaca
tebal, yang memaparkan langsung gagahnya gunung Rinjani yang membiru di
kejauhan. Deretan pesawat-pesawat putih dengan merek-merek maskapainya
masing-masing, tampak terparkir rapi di depanku. Sekelompok burung bangau putih
terbang bergerombol di area lahan basah yang terdapat di pinggir bandara.
Telingaku kupaksakan untuk mendengar dengan
teliti berbagai jenis pengumuman yang berkumandang. Aku berusaha dengan cepat
mempelajarinya. Terutama mencocokkan informasi yang dikabarkan pengeras suara dengan
selembar tiket yang aku pegang sedari tadi.
Aku
mengamati segala jenis informasi yang ada di dalam tiket pesawat tersebut.
Membaca hingga bagian-bagian yang paling sering dilewati orang lain. Dari hasil
membaca secara brutal itu. Aku jadi tahu tentang segala jenis klaim asuransi, peraturan
pembelian tiket untuk anak berumur 24 bulan. Bermacam-macam barang bawaan yang
tidak boleh dibawa oleh penumpang, dan tetek bengek lainnya.
Hari
itu juga aku memutuskan, bahwa sesungguhnya pesawat adalah moda transportasi
dengan peraturan paling njlimet di
dunia. Tidak efisien sebenarnya, namun untung aku tidak membawa, bahkan
sepotong baju ganti sekalipun. Sehingga sangat fleksibel bagi pemula sepertiku untuk menyelinap, tanpa perlu khawatir
membuat kesalahan di penerbangan perdanaku ini.
Setelah
menunggu dalam beberapa waktu yang tidak terlalu lama. Penumpang pesawat rute
Lombok-Jakarta (transit di Surabaya). Akhirnya dipanggil juga oleh suara
cantik dari balik Megaphone
tersembunyi itu. Serta merta, aku
pun
mengekor setiap orang yang akan sama-sama melakukan perjalanan jauh ini.
Wajah
tegang ku sembunyikan. Setelah benar-benar sampai di atas pesawat. Aku melihat
pramugari-pramugari cantik sedang menata setiap sudut pesawat dengan sigap. Terkadang mereka membantu setiap orang
yang mencari nomor tempat duduk mereka. Lalu melempar senyum manis terlatih
yang terbaik bagi setiap penumpang, tidak terkecuali kepadaku, demi memberi kesan -betapa ramahnya penerbangan kami hari
ini-
Waktu
itu aku mendapat tempat duduk tepat di samping sayap dan dipinggir jendela. Aku
memperhatikan cara memasang sabuk pengaman dengan cara melirik penumpang di sebelahku.
Penumpang sebelahku yang berstelan necis tampak sangat profesional dan
kelihatannya seringkali berpergian dengan pesawat. Untung aku sederetan bangku
dengannya.
Lalu
setelah peragaan keamanan dari para pramugari semlohai itu. Pesawat pun melaju ke udara bebas. Segala rasa gundah
tiba-tiba terlepas di udara. Aku memandang dari balik jendela. Di luar sana
terpampang sebuah keindahan landskap salah satu pulau tercantik di Indonesia.
Kini
si burung kecil resmi meninggalkan sarangnya yang indah dan nyaman itu. Ia terbang
menjauhi Mataram. Sebentuk kota kecil yang semakin berubah menjadi petak-petak
merah, coklat, hijau, dan garis hitam jalanan beraspalnya yang rumit dari balik
ketinggian.
Akhirnya
setelah 15 tahun hidupku di pulau kecil ini. Aku pun kini mengejar mimpi ke
Jakarta. Teringat sebuah jargon lama. Siapa suruh datang ke Jakarta? Rasa-rasanya aku ingin menjawab sendiri pertanyaan
jargon itu. Dalam hati ku katakan bulat-bulat.
“Tidak
ada yang suruh, atas kemauan dan kenekatanku sendiri.”