- Back to Home »
- others , story »
- Jakarta 2005 (Akhir Cerita Bersambung)
Posted by :
Unknown
Senin, 09 Desember 2013
Moncong
pesawat menukik perlahan di landasan. Lalu tiba-tiba getaran yang mampu
mengguncangkan tubuhku seakan menjadi aksi kecil penyambutanku di Jakarta.
goncangan yang dahsyat, sedahyat debar di dadaku kala itu.
Sejak
aku keluar dari badan pesawat dan mencoba keluar dari bandara itu. Aku langsung
menyadari, bahwa terlalu banyak koridor yang bisa menyesatkan. Aku hanya bisa
mengekor rombongan besar yang baru keluar dari badan pesawat. Aku terus
mengikuti langkah mereka meskipun mereka sempat ke toilet dulu, meskipun aku
saat itu tak punya hasrat untuk buang air sekecil apapun. Aku hanya tak ingin
tersesat di bandara sebesar ini.
Setelah
terlihat bagian luarnya yang penuh sesak dengan orang-orang lalu-lalang, koper,
ransel, troli, serta petugas-petugas dengan seragam “bermerek” Angkasapura. Aku
baru merasa lega. Kini di luar bandara aku merasa benar-benar sudah sampai di
Jakarta.
Jejeran
taksi beraneka warna dan nama sudah membentuk garis panjang di luar sana. Aku
menuju ke salah satu taksi berwarna ngejreng
norak. Hijau bercampur orange yang mencolok. Taksi itulah yang aku naiki.
Sopirnyalah yang pertama kali menyambut kedatanganku di Jakarta yang asing ini.
“Mau
kemana mas?” tanya bapak sopir taksi dengan senyumnya itu.
Menyembunyikan
keudikanku dengan segala sikap sok. Sok biasa, sok tenang, sok tahu, dan sok
anak kota,
akupun
menjawab. “Kemayoran pak.” dengan mantap aku menyebut sebuah nama daerah di
Jakarta.
“Woh...
OK silahkan, saya antar.” jawab sopir taksi itu lagi. Sambil langsung
membukakan pintu belakang mobilnya untukku.
Taxi
itu berjalan perlahan keluar dari pintu keluar bandara. Si hijau orange melaju
kencang di atas jalanan aspal mulus yang ramai dan terlihat bergolak panas di
siang terik itu.
“Kemayorannya
di mana mas?” tanya sopir taksi itu lagi.
Sejenak
ada sikap ragu dalam gestur tubuhku. Tapi aku tidak memandang lurus ke depan,
aku menjawab pertanyaan si sopir sambil melempar pandangan ke luar jendela. Itu
semua kulakukan, agar kegugupan dan ketidak tahuanku tentang kota ini. Tidak
sempat terbaca olehnya.
“Ke
markasnya Persija pak.” sahutku pasti.
Entah
sopir taksi itu benar-benar tahu apa yang kumaksud, atau di dalam kepalanya
juga masih tersisa beribu pertanyaan. Namun saat itu yang ku tahu pasti. Aku
memperkecil frekuensi tanya jawab diantara orang asing. Agar tidak terlihat
seperti orang hilang. Kejahatan bisa saja terjadi menimpaku, jika orang asing
tahu kalau aku kabur dari rumah. Ia bisa saja menculik, merampok, atau bahkan
menjualku. Ini jakarta bung! Dia sudah terkenal di Televisi, sebagai kota
kandangnya penjahat-penjahat dalam mimpi buruk yang paling buruk di Negeri ini.
Mengarungi
jalanan Jakarta yang padat. Aku memperhatikan semua hal yang ada di sekelilingku. Aku berusaha tenang dalam
keterkejutanku memperhatikan Ade Rai terperangkap kaku sambil tersenyum di
Baliho setinggi gedung 3 lantai. Tidak pernah aku melihat Baliho sebesar itu di
pulauku yang kecil. Aku juga berhasil menahan teriakan yang hampir keluar dari
mulutku, setiap kali melihat hal yang membuatku takjub.
Dari
jalanan padat yang panas dan beraspal mulus. Pemandangan lingkungan sekitar
bisa dengan cepat berubah dari perkantoran bersolek gedung-gedung pencakar
langit, menjadi kawasan kumuh di bantaran kali, ataupun menjadi kawasan pemukiman di pinggir rel kereta api.
Di
taman-taman sepi yang tak terawat. Siswa-siswa berseragam putih abu-abu saling
melempar batu dan tongkat kayu. Aku terkejut. Perkelahian seperti itu tak
diperhatikan orang yang banyak berlalu-lalang. Dibiarkan begitu saja tanpa
diamankan.
Aku
begitu menikmati jalan-jalan di Jakarta. Memandang ke luar pemandangan kota.
Bukan sawah, bukan sapi, atau gunung yang jadi poin di tempat ini. Namun
manusia, karya, dan kehidupannya. Entah berapa lama, dan ke mana saja taksi
berputar-putar, sampai akhirnya. Taksi sampai di sebuah gedung dengan corak
berwarna orange dimana-mana.
“Sudah
sampai mas. Ini markasnya Jakmania.”
sahut bapak sopir taxi itu membuyarkan lamunanku.
Aku
memicingkan mata. Aku pikir markas Persija adalah sebentuk stadion besar yang
megah dengan topangan rangka-rangka besi gagah. Bukan toko mirip distro suvenir
yang menjual pernak-pernik kebesaran Persija seperti ini yang kucari. Wah! Kali
ini bapak sopir taksi salah paham.
“Pak
Stadionnya gak ada nih?” tanyaku kembali.
“Katanya
tadi Kemayoran kan?” tanya bapak itu kembali.
Sial
benar. Aku benar-benar bodoh dan tolol. Di Tabloid olahraga yang aku baca dan
aku pahami adalah. Julukan Persija itu Macan
Kemayoran. Asumsiku, markas besar serta stadion beserta segala aktifitasnya
pasti berpusat di Kemayoran.
Mulai
saat itu aku belajar kawan. Jangan pernah mencari alamat berdasarkan julukan.
Itu sering kali menyesatkan.
Setelah
bertanya kesana-kemari ditemani si Sopir Taksi sialan itu. Akhirnya aku
mendapatkan jawabannya, bahwa Persija melakukan berbagai macam aktifitasnya di
Stadionnya yang berada di daerah Menteng.
“Emang
lu darimana bro?” tanya lelaki anggota Jakmania dengan gaya punk berambut mohawk
itu kepadaku.
“Saya
mau ke Persija buat ikutan seleksi jadi pemain bola.” Kataku.
“Emang
lu dari mane?” katanya lagi, sambil mencoba menilaiku dari ujung kaki sampai
ujung rambut.
“Dari
Lombok mas.”
“Busyet
dah! Lu jauh banget kesini. Lu tuh anak daerah nih ceritanye. Naek apaan lu
kesini? Lu Terbang? ” Kata mas-mas mohawk
tersebut merentetkan pertanyaannya. Seperti memberondong seseorang dengan
senapan mesin.
“Iya
mas.”
“Ha,
, ,ha, , ,ha, , , gua demen nih, yang kayak gini nih. Ya udah lu sekarang ke
Menteng aje. Nih gue catetin alamatnye. Lu pake taksi kan? Noh sono entar lu
kasih sopirnye. Kali aje die tahu. Kalau udah ketemu ama BP.” di kalimat ini
dia berhenti sejenak. Lalu ia melanjutkan lagi. “Lu tahu BP kagak? Bambang
Pamungkas! Titip salam ye!” kata mas-mas mohawk
itu lagi dengan ritme yang cepat.
“Oooooh
Stadion Persija di Menteng?” kata sopir taksi dengan mulutnya yang bolong
karena kepanjangan mengucapkan huruf “O”.
“Yaelah,
pak dari tadi juga saya pengennya ke situ.” Kataku dalam hati mengutuk si
sopir.
Entah
berapa lama kami menyusuri jalan. Yang
pasti hari
telah beranjak sore. Aku pasrah mau
dibawa kemana saja sama si sopir taksi ini. Pertanyaan-pertanyaan yang
dilemparkannya kepadaku aku jawab sesingkat mungkin. Aku masih belum percaya
kepadanya. Masih ada tertanam perasaan curiga yang aku taruh dalam di lubuk
hati.
***
Di
suatu sore yang panas di Jakarta. Aku terpaku dihadapan dengan sebuah raksasa.
Ia berdiri tegak mengangkangiku di sela rangka besinya yang kaku. Aku pun
seperti menangkap aura yang keluar dari raksasa itu, atau entah aura dalam
diriku yang menguap keluar menjadi sebentuk perasaan dingin yang angkuh. Hanya
saja, yang aku tahu pasti. Saat itu aku tergugu dibuatnya dalam gamang
keraguan. Inikah kandang Persija itu?
Perlahan
dan ragu, aku masuk ke kandang macan itu seorang diri. Di sana aku bertemu
dengan seorang laki-laki dengan baju polo putih, sibuk dengan bola-bola yang
dibereskan ke dalam tempatnya. Dengan segenap keberanian yang didorong oleh
keinginan nekat yang kuat. Aku bertanya kepadanya.
“Pak,
ini benar stadionnya Persija?” tanyaku padanya.
“Ya
benar, mau ngapain dek?” katanya datar,
lagaknya persis seperti guru olahragaku yang kutakuti di sekolah.
“Bagaimana
cara mendaftar jadi pemain junior di sini pak?” tanyaku yang sudah tak mampu
lagi menyembunyikan perasaan gugup tak terkira.
“Baru
aja ada seleksi. Lu telat datengnya.” jawab bapak itu.
Seperti
ada petir yang menyambar dadaku, tanpa aba-aba di siang bolong tak berhujan
ini. Aku terpaku pada lantai stadion yang tiba-tiba kurasakan dingin. Dingin
menjalar ke seluruh tubuh dimulai dari kaki hingga ke otakku. Sebuah kesempatan
besar terlewatkan sore ini.
“Besok
sore nggak ada seleksi lagi pak?” tanyaku lagi.
“Yah
kagak ada, timnya udah dibentuk. Lu dateng aja lagi tahun depan.”
Tahun
depan? Semudah itukah ia mengucapkan waktu selama satu tahun. Tidakkah ia tahu,
anak ingusan yang berdiri di depannya sudah mengarungi hampir ribuan kilo.
Kabur secara ilegal dari rumah tanpa permisi, tanpa restu, tanpa tahu harus ke
mana. Datang jauh-jauh hanya untuk mengejar mimpi-mimpi terindahnya di ibu kota
negara Indonesia ini. Sendirian, tanpa sanak famili.
“Tahun
depan?” sungutku dalam hati. Lalu apa yang harus aku lakukan selama satu tahun
di Jakarta ini?
“Lu
dari SSB (Sekolah Sepak Bola) mana, kok
telat?” katanya lagi, kini tatapannya bagai silet yang merobek keraguan dalam
hatiku.
“Saya
dari Lombok pak.” Jawabku sedikit takut mengungkapkan kebenaran yang pahit.
“Busyet
jauh amat. Tahu dari mane kalau ada seleksi hari ini?”
Aku
berharap dengan mengakui segalanya, ada sedikit dispensasi bagiku.“Saya nggak
tahu kalau ada seleksi pak. Saya nekat aja ke sini kepengen jadi pemain bola.”
kataku agak kecewa, karena mengetahui aku telat datang ke seleksi sepenting
itu.
“Lu
disini dianterin siapa?”
“Sendirian.”
jawabku dengan nada takut.
Aku
melihat reaksinya kini lain. Ia kembali menatapku dengan pandangan tidak
percaya. Mungkin di dalam isi kepalanya. Baru kali ini ia menemukan pemuda
nekat yang jauh-jauh datang dari daerah lain untuk mengadu nasib menjadi pemain
bola di ibu kota.
“Terus
lu disini tinggal sama siapa?”
“Nggak
ada pak. Saya baru datang tadi siang. Sempet nyasar ke Kemayoran dulu, karena
saya pikir Persija itu di Kemayoran. Tahunya juga dari julukkannya pak. Macan
Kemayoran.” Jawabku
“Busyet,
jadi lu anak daerah beneran nih. Orang tua lu tau lu kesini kagak?” tanyanya
mengintrogasiku.
Dengan
sedikit berat hati aku ucapkan. “Nggak pak, saya kabur dari rumah.”
“Masyaallah.
Masalah lu. Nyari mati di Jakarta?”
Entah
bagaimana dan apa yang terjadi dengan organ tubuhku. Kelenjar air mata bereaksi
dengan adrenalin yang tiba-tiba menyergap. Aku menangis. Takut akan segala hal
yang mungkin akan terjadi.
“Kenape
lu nangis?” tanya bapak itu lagi.
“Nggak
tahu pak tiba-tiba aja saya nangis, takut.”
“Takut
apa?”
“Takut
gak bisa jadi pemain bola, terus disuruh pulang sama bapak.”
“Ya
iyalah lu gua suruh pulang. Nah lu nekat sih dateng kemari. Lu sekolah kan?”
“Iya
pak.”
“Kelas
berapa lu sekarang?”
“Kelas
Tiga.”
“SD?”
“SMP
pak.” Jawabku ketus, di antara sesenggukan tangis yang menyesakkan. Masa iya
badan segede ini dibalang anak kelas tiga SD.
“Ya
udah lu ikut gua sekarang.” Perintahnya.
Aku
pun mengekor di belakangnya. Ia melaporkan temuannya yang unik kepada beberapa
staff yang kelihatannya memiliki jabatan yang lebih tinggi dari pada dia.
Seorang laki-laki dengan postur tubuh yang lebih baik dari bapak-bapak tambun
tadi menghampiriku dengan segala aura kebapaannya yang memancar dalam dirinya.
Dia
berbicara dalam nada menenangkan yang
tidak mengintimidasi kelemahan-kelemahanku. Aku sedikit bisa tenang dengan
kata-kata laki-laki asing itu. Ia mengajakku ke aparat setempat. Seorang
tentara di pos jaga. Dia meminta tolong aparat tersebut untuk mengantarku ke
perwakilan daerah provinsi NTB di daerah Menteng. Sepanjang perjalanan
menggunakan sepeda motor itu aku ditertawakan, sekaligus diberikan berbagai
petuah dari sang aparat baik hati itu.
“Berani
sekali kamu datang ke sini sendirian. Emang udah niat banget ya jadi pemain
bola.” Katanya kepadaku.
“Iya
pak.” Jawabku singkat.
“Saya
juga punya anak cowok. Kepengen jadi pemain bola persis kayak kamu. Tapi dia
ikut SSB.” Katanya lagi menerangkan.
“SSB
itu apa pak?”
“Apa.
lu kate.” Kata aparat sedikit kaget. “Katanya mau jadi pemain bola, tapi kagak
ngerti SSB.”
“Enggak
pak, nggak ada yang kayak begitu di kampung saya.”
Seketika
itu ia tertawa hampir meledak di atas sepeda motornya. “ Lah terus yang ngasih
tahu kalau ada seleksi hari ini siapa?”
“Saya
nggak tahu kalau ada seleksi pak. Saya modal nekat aja berangkat. Kalau tahu
ada seleksi, saya bawa sepatu bola saya. Terus datangnya juga bakalan sehari
sebelumnya.” Sahutku.
“Ha
ha ha ha. Terus seandainya lu gagal lu mau ngapain di Jakarta sendirian, lu
udah kepikiran sejauh itu nggak pas lu kabur?”
“Enggak.
Mikirnya cuma sampai jadi pemain bola gimanapun syaratnya. Gitu aja pak.”
“Kehidupan
ini keras, enggak gampang dek. Apalagi di Jakarta. Kamu pernah denger yang
namanya kapak merah?” tanyanya kepadaku.
“Pernah
sih pak. Di kampung saya juga ada TV.” Kataku merasa tersinggung atas perilaku
orang-orang Jakarta yang meremehkan anak kampung sepertiku.
“Nah
lu tahu tuh. Tahu nggak kalau anggotanya itu, ya anak-anak terlantar di jalanan
yang enggak punya orang tua. Mereka itu penjahat tahu enggak. Kalau ketemu polisi,
biasanya di dor sampek mati.” di
dalam kata-kata ‘dor’ dan ‘sampek mati’ ia sematkan tekanan yang
sepertinya benar-benar bernuansa kengerian.
“Mau
lu jauh-jauh mati di Kampungnya orang?” lanjutnya lagi memberikan peringatan
yang mengerikan.
Aku
hanya bisa terdiam. Takut mendengar kata-kata kematian yang dikatakan olehnya.
Saat-saat diboncengan bapak aparat yang baik hati itu. Aku teringat ayah dan
ibu di rumah. Takut dimarahi, takut melihat tatapan mereka, takut akan semua
kesalahan-kesalahan yang sudah aku lakukan.
Aku
takut untuk pulang. Tapi rasa takut terbesar yang aku rasakan adalah. Aku takut
semua sekenario ajaib ini akan berakhir di pulau kecil itu lagi, tanpa sempat
aku diberi kesempatan untuk mencicipi rasanya mengejar mimpi-mimpi di atas rumput
hijauku lagi.
8 tahun kemudian . . .
“Lah
kok mainnya gitu?” kata kakak iparku. “Indonesia nggak akan pernah bisa menang
deh lawan Malaysia, kalau gini caranya.” Lanjutnya.
“Ahhh,,,
ayo Evan, katanya pemain akademi Barcelona, mana?” kata Rangga keponakanku lalu
ngeloyor pergi ke luar. Mungkin di luar ia mengumpat di dunia maya. Lewat FB
ataupun BBMnya. Padahal, hasil akhir belum lagi kita ketahui.
“Sudah
ndak usah ditonton pertandingan kayak gini. Bikin malu!” kata kakak iparku.
Lalu keluar.
Rangga
masuk lagi ke ruangan itu. “Selama aku nonton langsung pertandingan
Indonesia-Malaysia di GBK. Nggak pernah menang.” Kata Rangga, mengingat
masa-masa kuliahnya dulu di Jakarta.
Maldini
pun masuk sebagai pemain pengganti. Permainannya yang tenang memberi suasana
lain dalam pertandingan. Permainan tim menjadi lebih rapi, umpan-umpan menjadi
terarah. Berselang waktu yang agak lama. “Gollll!!!” teriak aku dan Rangga.
Kami melampiaskan kekesalan melalui teriakan yang tidak lazim. Seperti orang
yang lama menunggu. Menunggu sesuatu yang tak kunjung datang dari dulu.
Menunggu
datangnya keajaiban ini. Sebuah tim nasional yang benar-benar tangguh, asli
Indonesia. Tim yang menyatukan tidak hanya pemuda-pemuda kota, tapi juga
anak-anak kampung dari seluruh sudut negeri.
Aku
iri, mengapa Indra Sjafri, tidak datang dari dulu. Melihat aku bermain di
lapangan antar kampung? Mengapa setelah aku membuang mimpiku ke tempat sampah.
Baru ada pelatih yang sadar. Dan mau melakukan perjalanan ke lebih dari 20
provinsi di Indonesia. Untuk menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya. Ratusan
juta pemuda Indonesia yang berbakat itu, menyebar di mana-mana.
Aku
berharap, tidak hanya di bidang olahraga. Kelak, lewat perjalanan, blusukan ke
tempat-tempat asing di Indonesia. Ada pemimpin, calon pemimpin, atau bahkan
pemuda yang tergerak dan terbangun. Melihat kenyataan yang terpampang di negeri
ini.
Lalu
bagaimana dengan aku? Ha ha ha ha. . . Aku hanya pecundang yang tidak lelah
untuk terus bermimpi walau berkali-kali gagal, walau mimpi-mimpi itu bagiku
adalah hal yang tak pernah pasti.
(The End)