Widgets

Posted by : Unknown Senin, 09 Desember 2013


Moncong pesawat menukik perlahan di landasan. Lalu tiba-tiba getaran yang mampu mengguncangkan tubuhku seakan menjadi aksi kecil penyambutanku di Jakarta. goncangan yang dahsyat, sedahyat debar di dadaku kala itu.
Sejak aku keluar dari badan pesawat dan mencoba keluar dari bandara itu. Aku langsung menyadari, bahwa terlalu banyak koridor yang bisa menyesatkan. Aku hanya bisa mengekor rombongan besar yang baru keluar dari badan pesawat. Aku terus mengikuti langkah mereka meskipun mereka sempat ke toilet dulu, meskipun aku saat itu tak punya hasrat untuk buang air sekecil apapun. Aku hanya tak ingin tersesat di bandara sebesar ini.
Setelah terlihat bagian luarnya yang penuh sesak dengan orang-orang lalu-lalang, koper, ransel, troli, serta petugas-petugas dengan seragam “bermerek” Angkasapura. Aku baru merasa lega. Kini di luar bandara aku merasa benar-benar sudah sampai di Jakarta.
Jejeran taksi beraneka warna dan nama sudah membentuk garis panjang di luar sana. Aku menuju ke salah satu taksi berwarna ngejreng norak. Hijau bercampur orange yang mencolok. Taksi itulah yang aku naiki. Sopirnyalah yang pertama kali menyambut kedatanganku di Jakarta yang asing ini.
“Mau kemana mas?” tanya bapak sopir taksi dengan senyumnya itu.
Menyembunyikan keudikanku dengan segala sikap sok. Sok biasa, sok tenang, sok tahu, dan sok anak kota, akupun menjawab. “Kemayoran pak.” dengan mantap aku menyebut sebuah nama daerah di Jakarta.
“Woh... OK silahkan, saya antar.” jawab sopir taksi itu lagi. Sambil langsung membukakan pintu belakang mobilnya untukku.
Taxi itu berjalan perlahan keluar dari pintu keluar bandara. Si hijau orange melaju kencang di atas jalanan aspal mulus yang ramai dan terlihat bergolak panas di siang terik itu.
“Kemayorannya di mana mas?” tanya sopir taksi itu lagi.
Sejenak ada sikap ragu dalam gestur tubuhku. Tapi aku tidak memandang lurus ke depan, aku menjawab pertanyaan si sopir sambil melempar pandangan ke luar jendela. Itu semua kulakukan, agar kegugupan dan ketidak tahuanku tentang kota ini. Tidak sempat terbaca olehnya.
“Ke markasnya Persija pak.” sahutku pasti.
Entah sopir taksi itu benar-benar tahu apa yang kumaksud, atau di dalam kepalanya juga masih tersisa beribu pertanyaan. Namun saat itu yang ku tahu pasti. Aku memperkecil frekuensi tanya jawab diantara orang asing. Agar tidak terlihat seperti orang hilang. Kejahatan bisa saja terjadi menimpaku, jika orang asing tahu kalau aku kabur dari rumah. Ia bisa saja menculik, merampok, atau bahkan menjualku. Ini jakarta bung! Dia sudah terkenal di Televisi, sebagai kota kandangnya penjahat-penjahat dalam mimpi buruk yang paling buruk di Negeri ini.
Mengarungi jalanan Jakarta yang padat. Aku memperhatikan semua hal yang ada di sekelilingku. Aku berusaha tenang dalam keterkejutanku memperhatikan Ade Rai terperangkap kaku sambil tersenyum di Baliho setinggi gedung 3 lantai. Tidak pernah aku melihat Baliho sebesar itu di pulauku yang kecil. Aku juga berhasil menahan teriakan yang hampir keluar dari mulutku, setiap kali melihat hal yang membuatku takjub.
Dari jalanan padat yang panas dan beraspal mulus. Pemandangan lingkungan sekitar bisa dengan cepat berubah dari perkantoran bersolek gedung-gedung pencakar langit, menjadi kawasan kumuh di bantaran kali, ataupun menjadi kawasan pemukiman di pinggir rel kereta api.
Di taman-taman sepi yang tak terawat. Siswa-siswa berseragam putih abu-abu saling melempar batu dan tongkat kayu. Aku terkejut. Perkelahian seperti itu tak diperhatikan orang yang banyak berlalu-lalang. Dibiarkan begitu saja tanpa diamankan.
Aku begitu menikmati jalan-jalan di Jakarta. Memandang ke luar pemandangan kota. Bukan sawah, bukan sapi, atau gunung yang jadi poin di tempat ini. Namun manusia, karya, dan kehidupannya. Entah berapa lama, dan ke mana saja taksi berputar-putar, sampai akhirnya. Taksi sampai di sebuah gedung dengan corak berwarna orange dimana-mana.
“Sudah sampai mas. Ini markasnya Jakmania.” sahut bapak sopir taxi itu membuyarkan lamunanku.
Aku memicingkan mata. Aku pikir markas Persija adalah sebentuk stadion besar yang megah dengan topangan rangka-rangka besi gagah. Bukan toko mirip distro suvenir yang menjual pernak-pernik kebesaran Persija seperti ini yang kucari. Wah! Kali ini bapak sopir taksi salah paham.
“Pak Stadionnya gak ada nih?” tanyaku kembali.
“Katanya tadi Kemayoran kan?” tanya bapak itu kembali.
Sial benar. Aku benar-benar bodoh dan tolol. Di Tabloid olahraga yang aku baca dan aku pahami adalah. Julukan Persija itu Macan Kemayoran. Asumsiku, markas besar serta stadion beserta segala aktifitasnya pasti berpusat di Kemayoran.
Mulai saat itu aku belajar kawan. Jangan pernah mencari alamat berdasarkan julukan. Itu sering kali menyesatkan.
Setelah bertanya kesana-kemari ditemani si Sopir Taksi sialan itu. Akhirnya aku mendapatkan jawabannya, bahwa Persija melakukan berbagai macam aktifitasnya di Stadionnya yang berada di daerah Menteng.
“Emang lu darimana bro?” tanya lelaki anggota Jakmania dengan gaya punk berambut mohawk itu kepadaku.
“Saya mau ke Persija buat ikutan seleksi jadi pemain bola.” Kataku.
“Emang lu dari mane?” katanya lagi, sambil mencoba menilaiku dari ujung kaki sampai ujung rambut.
“Dari Lombok mas.”
“Busyet dah! Lu jauh banget kesini. Lu tuh anak daerah nih ceritanye. Naek apaan lu kesini? Lu Terbang? ” Kata mas-mas mohawk tersebut merentetkan pertanyaannya. Seperti memberondong seseorang dengan senapan mesin.
“Iya mas.”
“Ha, , ,ha, , ,ha, , , gua demen nih, yang kayak gini nih. Ya udah lu sekarang ke Menteng aje. Nih gue catetin alamatnye. Lu pake taksi kan? Noh sono entar lu kasih sopirnye. Kali aje die tahu. Kalau udah ketemu ama BP.” di kalimat ini dia berhenti sejenak. Lalu ia melanjutkan lagi. “Lu tahu BP kagak? Bambang Pamungkas! Titip salam ye!” kata mas-mas mohawk itu lagi dengan ritme yang cepat.
“Oooooh Stadion Persija di Menteng?” kata sopir taksi dengan mulutnya yang bolong karena kepanjangan mengucapkan huruf “O”.
“Yaelah, pak dari tadi juga saya pengennya ke situ.” Kataku dalam hati mengutuk si sopir.
Entah berapa lama kami menyusuri jalan. Yang pasti hari telah beranjak sore. Aku pasrah mau dibawa kemana saja sama si sopir taksi ini. Pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkannya kepadaku aku jawab sesingkat mungkin. Aku masih belum percaya kepadanya. Masih ada tertanam perasaan curiga yang aku taruh dalam di lubuk hati.
***
Di suatu sore yang panas di Jakarta. Aku terpaku dihadapan dengan sebuah raksasa. Ia berdiri tegak mengangkangiku di sela rangka besinya yang kaku. Aku pun seperti menangkap aura yang keluar dari raksasa itu, atau entah aura dalam diriku yang menguap keluar menjadi sebentuk perasaan dingin yang angkuh. Hanya saja, yang aku tahu pasti. Saat itu aku tergugu dibuatnya dalam gamang keraguan. Inikah kandang Persija itu?
Perlahan dan ragu, aku masuk ke kandang macan itu seorang diri. Di sana aku bertemu dengan seorang laki-laki dengan baju polo putih, sibuk dengan bola-bola yang dibereskan ke dalam tempatnya. Dengan segenap keberanian yang didorong oleh keinginan nekat yang kuat. Aku bertanya kepadanya.
“Pak, ini benar stadionnya Persija?” tanyaku padanya.
“Ya benar, mau ngapain dek?”  katanya datar, lagaknya persis seperti guru olahragaku yang kutakuti di sekolah.
“Bagaimana cara mendaftar jadi pemain junior di sini pak?” tanyaku yang sudah tak mampu lagi menyembunyikan perasaan gugup tak terkira.
“Baru aja ada seleksi. Lu telat datengnya.” jawab bapak itu.
Seperti ada petir yang menyambar dadaku, tanpa aba-aba di siang bolong tak berhujan ini. Aku terpaku pada lantai stadion yang tiba-tiba kurasakan dingin. Dingin menjalar ke seluruh tubuh dimulai dari kaki hingga ke otakku. Sebuah kesempatan besar terlewatkan sore ini.
“Besok sore nggak ada seleksi lagi pak?” tanyaku lagi.
“Yah kagak ada, timnya udah dibentuk. Lu dateng aja lagi tahun depan.”
Tahun depan? Semudah itukah ia mengucapkan waktu selama satu tahun. Tidakkah ia tahu, anak ingusan yang berdiri di depannya sudah mengarungi hampir ribuan kilo. Kabur secara ilegal dari rumah tanpa permisi, tanpa restu, tanpa tahu harus ke mana. Datang jauh-jauh hanya untuk mengejar mimpi-mimpi terindahnya di ibu kota negara Indonesia ini. Sendirian, tanpa sanak famili.
“Tahun depan?” sungutku dalam hati. Lalu apa yang harus aku lakukan selama satu tahun di Jakarta ini?
“Lu dari SSB (Sekolah Sepak Bola)  mana, kok telat?” katanya lagi, kini tatapannya bagai silet yang merobek keraguan dalam hatiku.
“Saya dari Lombok pak.” Jawabku sedikit takut mengungkapkan kebenaran yang pahit.
“Busyet jauh amat. Tahu dari mane kalau ada seleksi hari ini?”
Aku berharap dengan mengakui segalanya, ada sedikit dispensasi bagiku.“Saya nggak tahu kalau ada seleksi pak. Saya nekat aja ke sini kepengen jadi pemain bola.” kataku agak kecewa, karena mengetahui aku telat datang ke seleksi sepenting itu.
“Lu disini dianterin siapa?”
“Sendirian.” jawabku dengan nada takut.
Aku melihat reaksinya kini lain. Ia kembali menatapku dengan pandangan tidak percaya. Mungkin di dalam isi kepalanya. Baru kali ini ia menemukan pemuda nekat yang jauh-jauh datang dari daerah lain untuk mengadu nasib menjadi pemain bola di ibu kota.
“Terus lu disini tinggal sama siapa?”
“Nggak ada pak. Saya baru datang tadi siang. Sempet nyasar ke Kemayoran dulu, karena saya pikir Persija itu di Kemayoran. Tahunya juga dari julukkannya pak. Macan Kemayoran.” Jawabku
“Busyet, jadi lu anak daerah beneran nih. Orang tua lu tau lu kesini kagak?” tanyanya mengintrogasiku.
Dengan sedikit berat hati aku ucapkan. “Nggak pak, saya kabur dari rumah.”
“Masyaallah. Masalah lu. Nyari mati di Jakarta?”
Entah bagaimana dan apa yang terjadi dengan organ tubuhku. Kelenjar air mata bereaksi dengan adrenalin yang tiba-tiba menyergap. Aku menangis. Takut akan segala hal yang mungkin akan terjadi.
“Kenape lu nangis?” tanya bapak itu lagi.
“Nggak tahu pak tiba-tiba aja saya nangis, takut.”
“Takut apa?”
“Takut gak bisa jadi pemain bola, terus disuruh pulang sama bapak.”
“Ya iyalah lu gua suruh pulang. Nah lu nekat sih dateng kemari. Lu sekolah kan?”
“Iya pak.”
“Kelas berapa lu sekarang?”
“Kelas Tiga.”
“SD?”
“SMP pak.” Jawabku ketus, di antara sesenggukan tangis yang menyesakkan. Masa iya badan segede ini dibalang anak kelas tiga SD.
“Ya udah lu ikut gua sekarang.” Perintahnya.
Aku pun mengekor di belakangnya. Ia melaporkan temuannya yang unik kepada beberapa staff yang kelihatannya memiliki jabatan yang lebih tinggi dari pada dia. Seorang laki-laki dengan postur tubuh yang lebih baik dari bapak-bapak tambun tadi menghampiriku dengan segala aura kebapaannya yang memancar dalam dirinya.
Dia berbicara dalam  nada menenangkan yang tidak mengintimidasi kelemahan-kelemahanku. Aku sedikit bisa tenang dengan kata-kata laki-laki asing itu. Ia mengajakku ke aparat setempat. Seorang tentara di pos jaga. Dia meminta tolong aparat tersebut untuk mengantarku ke perwakilan daerah provinsi NTB di daerah Menteng. Sepanjang perjalanan menggunakan sepeda motor itu aku ditertawakan, sekaligus diberikan berbagai petuah dari sang aparat baik hati itu.
“Berani sekali kamu datang ke sini sendirian. Emang udah niat banget ya jadi pemain bola.” Katanya kepadaku.
“Iya pak.” Jawabku singkat.
“Saya juga punya anak cowok. Kepengen jadi pemain bola persis kayak kamu. Tapi dia ikut SSB.” Katanya lagi menerangkan.
“SSB itu apa pak?”
“Apa. lu kate.” Kata aparat sedikit kaget. “Katanya mau jadi pemain bola, tapi kagak ngerti SSB.”
“Enggak pak, nggak ada yang kayak begitu di kampung saya.”
Seketika itu ia tertawa hampir meledak di atas sepeda motornya. “ Lah terus yang ngasih tahu kalau ada seleksi hari ini siapa?”
“Saya nggak tahu kalau ada seleksi pak. Saya modal nekat aja berangkat. Kalau tahu ada seleksi, saya bawa sepatu bola saya. Terus datangnya juga bakalan sehari sebelumnya.” Sahutku.
“Ha ha ha ha. Terus seandainya lu gagal lu mau ngapain di Jakarta sendirian, lu udah kepikiran sejauh itu nggak pas lu kabur?”
“Enggak. Mikirnya cuma sampai jadi pemain bola gimanapun syaratnya. Gitu aja pak.”
“Kehidupan ini keras, enggak gampang dek. Apalagi di Jakarta. Kamu pernah denger yang namanya kapak merah?” tanyanya kepadaku.
“Pernah sih pak. Di kampung saya juga ada TV.” Kataku merasa tersinggung atas perilaku orang-orang Jakarta yang meremehkan anak kampung sepertiku.
“Nah lu tahu tuh. Tahu nggak kalau anggotanya itu, ya anak-anak terlantar di jalanan yang enggak punya orang tua. Mereka itu penjahat tahu enggak. Kalau ketemu polisi, biasanya di dor sampek mati.” di dalam kata-kata ‘dor’ dan ‘sampek mati’ ia sematkan tekanan yang sepertinya benar-benar bernuansa kengerian.
“Mau lu jauh-jauh mati di Kampungnya orang?” lanjutnya lagi memberikan peringatan yang mengerikan.
Aku hanya bisa terdiam. Takut mendengar kata-kata kematian yang dikatakan olehnya. Saat-saat diboncengan bapak aparat yang baik hati itu. Aku teringat ayah dan ibu di rumah. Takut dimarahi, takut melihat tatapan mereka, takut akan semua kesalahan-kesalahan yang sudah aku lakukan.
Aku takut untuk pulang. Tapi rasa takut terbesar yang aku rasakan adalah. Aku takut semua sekenario ajaib ini akan berakhir di pulau kecil itu lagi, tanpa sempat aku diberi kesempatan untuk mencicipi rasanya mengejar mimpi-mimpi di atas rumput hijauku lagi.
8 tahun kemudian . . .
“Lah kok mainnya gitu?” kata kakak iparku. “Indonesia nggak akan pernah bisa menang deh lawan Malaysia, kalau gini caranya.” Lanjutnya.
“Ahhh,,, ayo Evan, katanya pemain akademi Barcelona, mana?” kata Rangga keponakanku lalu ngeloyor pergi ke luar. Mungkin di luar ia mengumpat di dunia maya. Lewat FB ataupun BBMnya. Padahal, hasil akhir belum lagi kita ketahui.
“Sudah ndak usah ditonton pertandingan kayak gini. Bikin malu!” kata kakak iparku. Lalu keluar.
Rangga masuk lagi ke ruangan itu. “Selama aku nonton langsung pertandingan Indonesia-Malaysia di GBK. Nggak pernah menang.” Kata Rangga, mengingat masa-masa kuliahnya dulu di Jakarta.
Maldini pun masuk sebagai pemain pengganti. Permainannya yang tenang memberi suasana lain dalam pertandingan. Permainan tim menjadi lebih rapi, umpan-umpan menjadi terarah. Berselang waktu yang agak lama. “Gollll!!!” teriak aku dan Rangga. Kami melampiaskan kekesalan melalui teriakan yang tidak lazim. Seperti orang yang lama menunggu. Menunggu sesuatu yang tak kunjung datang dari dulu.
Menunggu datangnya keajaiban ini. Sebuah tim nasional yang benar-benar tangguh, asli Indonesia. Tim yang menyatukan tidak hanya pemuda-pemuda kota, tapi juga anak-anak kampung dari seluruh sudut negeri.
Aku iri, mengapa Indra Sjafri, tidak datang dari dulu. Melihat aku bermain di lapangan antar kampung? Mengapa setelah aku membuang mimpiku ke tempat sampah. Baru ada pelatih yang sadar. Dan mau melakukan perjalanan ke lebih dari 20 provinsi di Indonesia. Untuk menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya. Ratusan juta pemuda Indonesia yang berbakat itu, menyebar di mana-mana.
Aku berharap, tidak hanya di bidang olahraga. Kelak, lewat perjalanan, blusukan ke tempat-tempat asing di Indonesia. Ada pemimpin, calon pemimpin, atau bahkan pemuda yang tergerak dan terbangun. Melihat kenyataan yang terpampang di negeri ini.
Lalu bagaimana dengan aku? Ha ha ha ha. . . Aku hanya pecundang yang tidak lelah untuk terus bermimpi walau berkali-kali gagal, walau mimpi-mimpi itu bagiku adalah hal yang tak pernah pasti.
(The End)

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

berlangganan

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ESCAPE - Metrominimalist - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -