- Back to Home »
- others , story »
- Motivasi Untuk Kabur (Cerita Bersambung)
Posted by :
Unknown
Kamis, 05 Desember 2013
Ini
adalah sebuah memori yang sebenarnya ingin aku simpan rapat ke dalam kotak kayu
jati yang kuat. Lalu kuncinya kutelan bulat-bulat.
Sempat
aku berfikir untuk tidak akan membukanya lagi seumur hidupku. Namun kali ini
aku ingin berdamai dengan masa laluku. Menceritakannya kepadamu, mungkin mampu
melarutkan kepingannya yang mengganjal seperti seonggok tulang nyangkut di tenggorokan. Dan aku bisa
tersenyum simpul sambil mengingat-ingat perkara itu di sini.
Dahulu,
waktu aku masih remaja. Saban sore menjelang, akan kau dapati aku tengah sibuk mengejar bola bersama-sama dengan
orang hampir sekampung jumlahnya. Semua hal itu telah membentuk semacam euforia di dalam kepalaku. Aku ingat
julukanku waktu itu di lapangan panas berumput gajah tak terurus itu. “Etoo!”. Panggil mereka.
Ya Etoo, pemain Kamerun berkulit gelap dengan
kepala hampir pelontos yang terkenal itu menjadi nama kecilku di lapangan.
Kemampuan membaca peluang untuk mencetak gol. Keberanian menghadapi pemuda-pemuda
berusia hampir sepuluh
tahun lebih tua dariku -kebanyakan
memilki betis besar
seperti kuda-. Saat
itu semua hal yang aku terangkan di
atas ada pada diriku. Kemudian
mereka pun memanggilku Etoo.
Etoo,
mungkin bagimu hanyalah sekedar nama kawan. Nama dari seorang pemain bola di
bagian lain dunia ini. Namun bagiku, Etoo adalah sesuatu yang sama artinya
dengan bahan bakar yang menggerakkan aku untuk berlari. Terdengar menggelitik
di dalam sanubari, ketika mereka memanggil-manggil nama itu. Memotivasiku untuk
berlari, bahkan menggodaku untuk lari lebih jauh lagi.
Sering kali ketika aku hanya duduk tepekur dihanyut
desau angin semilir, dikala sore hari menjelang. Aku menatap langit biru
cemerlang di atasku. Tak jarang sebuah pesawat jumbo jet -entah dari mana benda
itu memulai perjalanan panjangnya- lewat membelah langit yang kutatap.
Menyisakan segaris panjang kepulan asap yang lama sekali mampu terhapus angin di atas sana. Pikiranku jauh melayang. Membayangkan mimpi-mimpi dan
imajinasi tentang dunia di balik pulau kecilku ini.
Waktu
itu aku pikir, jika tidak agressive,
maka aku akan terkubur di pulau kecil yang tak dikenal orang ini. Lalu aku tidak
akan pernah menjadi siapa-siapa. Terkubur di sini, tanpa seorangpun tahu. Bahwa
ada pemain sepak bola berbakat di keterpencilan dunia ini. Aku tidak mau setiap
hari hanya menjadi bintang di lapangan kecamatan tak terkenal di sudut Indonesia.
Aku harus ke Jawa. Aku harus menghajar dunia. Aku mau seperti Etoo yang
sesungguhnya!
Itulah
kawan. Kali pertama aku berkeinginan kuat untuk keluar menyaksikan dunia.
Seperti layaknya seekor burung kecil yang memiliki naluri untuk keluar dari
sarangnya. Aku ingin terbang bebas menggapai awan.
Namun
kala itu, anak-anak seumuranku sedang sibuk mempertaruhkan masa depan mereka.
Teman-temanku yang lain sedang bersiap-siap menghadapi ujian nasional. Aku berbeda,
aku pikir masa depanku saat itu adalah lapangan rumput sebuah stadion besar di
Jawa. Aku tidak sedikitpun tegang, maupun tertekan, karena sebentar lagi akan
menghadapi ujian nasional
yang mengerikan itu. Aku tegang, resah, dan gundah, karena
umurku sudah cukup untuk meniti karir di lapangan. Semakin lama menunda-nunda
waktu. Karir di dunia olahraga akan cepat tertutup.
Aku
berkejar-kejaran dengan waktu dan usiaku sendiri. Sedangkan para setan-setan membisikkanku
untuk cepat-cepat mencari ide, agar aku bisa keluar dari pulau ini. Di sisi lain malaikat berbisik
untuk sabar dan menunggu kelulusan SMP nanti untuk beraksi. Tapi
setan ternyata menjadi pemenang pertempuran kala itu.
***
Disuatu
pagi laknat, saat sepi di rumah sama harganya dengan sejumput emas. Akupun mencoba
peruntunganku. Sudah kupupuk tunas kenekatan di dalam hati sejak beberapa lalu.
Kini ia tumbuh rimbun, lalu berbuahlah tindakan tercela dari balik
dahan-dahannya yang kelam.
Pintu
kamar mamik (ayah) terkunci rapat.
Maklum ia orang yang sangat mengutamakan keamanan. Mengingat ketika semua anggota
keluarga beraktifitas di luar, rumah kami sepi sekali. Hanya nenek yang tinggal
di rumah saat itu. Akupun memanfaatkan keadaan tersebut, dan dengan sedikit
keterampilan dadakan. Aku berhasil menjebol pintu, lalu melenggang masuk ke kamar orang
tuaku.
Aku
membuka lemari besar satu-satunya yang ada di situ. Perkiraanku tidak salah.
Ada uang yang tersimpan di lemari itu. Aku mengambil seperlunya, karena memang
aku tidak berniat jahat sepenuhnya.
Begini
rencana jangka panjangnya kawan. Aku akan pergi dari rumah. Berjuang keras
sampai menjadi pemain sepak bola tenar di Jakarta. Masuk tim senior sebuah
klub. Lalu kembali pulang setelah mengantongi sukses. Sebuah khayalan anak
manusia yang begitu muluk bukan.
“He,he,he,”
aku tertawa sambil menaikkan alis ke atas.
Sesaat
setelah menggenggam lembaran-lembaran uang yang aku hitung sejumlah satu juta
rupiah itu aku bergegas pergi. Tanpa buntelan sarung seperti cerita-cerita
klasik. Tanpa ransel seperti kisah roman para pengembara. Aku berangkat dengan
rasa takut yang menyertaiku sepanjang jalan.
Di
tengah terik matahari, dan kepada sawah-sawah yang aku lewati. Aku terdiam berlalu, sambil menyebarkan perasaanku
di sepanjang jalan. Dalam hati aku membenarkan caraku ini dengan seribu satu
alasan.
Persis
seperti cerita-cerita opera sabun murahan. Hanya secarik surat dalam selembar
kertas yang aku tempelkan menandai kepergianku. Kabur dan pesan di selembar
kertas adalah sejoli yang selalu menjadi kisah klasik bukan?
Aku
terus mengingat-ingat malam itu.
Malam sebelum aku kabur. Ketika niatku sudah
kugenggam bulat-bulat. Aku menulis sebuah surat ternekat yang pernah kubuat dalam sejarah hidupku. Surat singkat yang berisi pesan
kepada kedua orang tuaku. Bahwa anak laki-lakinya telah pergi jauh ketika
mereka membaca surat tersebut nantinya. Anak laki-lakinya itu akan mengadu
nasib menjadi pemain sepak bola di pulau Jawa.
Kini
di dalam cepatnya laju Angkot
yang membawaku pergi. Ada rasa sentimentil yang menyergap. Aku memandang jauh
ke cakrawala yang biru.
Saat itu aku merasa ini adalah kali terakhir aku memandangi birunya Langit,
hijaunya Sawah, gendutnya Sapi, dan
segala hal
yang pastinya akan kurindukan kelak. Di pulau kelahiranku.
5 Comments
mas kayanya salah kamar deh, ngeshare curhat maen bola di group-group traveling,
BalasHapusapalagi ada adegan nyolong duit orang tua, ga etis, ga jd contoh yg baek..klo share cerita tuh yang inspiratif, jgn nyontohinyang gak bener
coba mikir dulu sebelum bertindak..
Terima kasih sudah mengingatkan saya, dan saya meminta maaf sebesar-besarnya apabila anda merasa terganggu. saya tidak lagi membagikan lanjutan postingan ini lewat group-group traveling. maaf, sekali lagi saya minta maaf.
HapusNamun apa boleh saya membela inspirasi ? inspirasi bagi orang indonesia terkadang hanya dianalogikan sebagai hal yang berbau positif. terkadang hal yang negatif juga adalah inspirasi. semoga pembaca blog ini adalah orang-orang yang bisa memilah-milih mana yang baik dan mana yang benar. saya mengakui cerita di atas adalah cerita yang buruk. semoga terinspirasi karena cerita tersebut akan berlanjut. namun sekali lagi tidak akan saya share di group-group traveling lagi. cukup di wall saya, fan page, acount twittter pribadi. dan media social pribadi milik saya sendiri. saya rasa itu tidak akan mengganggu siapapun. sekali lagi terima kasih untuk mengingatkan saya yang sudah keluar jalur
sorry bos, saya juga besar di jalan, bukan sekedar mengaku nomad namun balik ke kampung untuk netek lg di rumah setelah merasa uda jadi org (wisuda)..
Hapusga banyak, tp ada beberapa pengalaman negatif disekeliling saya yang memang menginspirasi...
terus terang aja saya baca cerita (part1) dan membaca kelanjutannya (part 2) sudah berkali-kali saya ulang, berharap untuk positif thinking bahwa anda memang penulis yang mampu memberi inspirasi, ntah saya yang goblok, hingga saya meminta bantuan beberapa teman dari berbagai macam multi displin ilmu dan beberapa sastrawan senior untuk menganalisis artikel ini. mereka pun geleng-geleng ternyata, ko ada orang yg se PE-DE anda,
padi semakin berisi semakin merunduk boss,, tulisan anda tuh banyaknya
menyombongkan diri sendiri, itu parameter bahwa anda lemah dari segala aspek..
situ gak perlu nyebut situ hebatpun orang akan menilai dengan sendirinya..
dengki klo ada pembaca tidak paham tulisan anda, lalu anda bilang pembaca anda adalah orang awam.
berfilosofi dan bersastra itu tak semudah pernah membaca tulisan-tulisan org besar (Ernest Hemingway, Andrea Hirata dll) mengcopy dan mempaste, tanpa paham maknanya, itu yang menyebabkan tulisan anda tidak dipahami orang lain..
*penulis besar harus siap akan kritik dan saran, seberapa tebal mental, menentukan seberapa jauh perjalanan karir..
penulis beda dengan penari, dikritik setitik lalu menangis.
terus berkarir brother
maaf, silahkan baca kelanjutan ceritanya, , , masih belum selesai, , , karena memang terlalu panjang, , , maaf sekali, , ,
Hapusdan terima kasih sudah membaca artikel-artikel ini. maaf sekali saya minta maaf. kepada anonym. kalau saya komentar seperti ini, bukan karena saya tidak mau dikritik. 1. saya membuat cerita bersambung untuk membuat pembaca saya, datang lagi dan lagi. 2 tulisan dalam blog ini bersifat jurnal yang ditulis dengan gaya sastrawi. tapi memang pada dasarnya ini jurnal (catatan harian) perjalanan yang nyata saya lakukan dalam hidup saya, bukan saya menulis perjalanan orang lain. ini bukan fiksi, ini artikel tentang kenyataan. sehingga jika terkesan ke-akuan penulis saya minta maaf sekali. bukan saya PE-DE tapi itu memang tujuan saya membuat blog ini. menulis pengalaman pribadi saya. 3. Saya tidak pernah menolak kritik, mohon anda lihat kembali komen di atas anda sebelumnya. apakah saya menolak kritik tersebut. bahkan saya benar-benar tidak memposting sambungan cerita saya lagi selain di akun social milik saya pribadi. 4. anda berhak mengkritik saya jika sebuah cerita utuh dan selesai dipulikasikan di khalayak ramai. bukan di cerita separuh-sepruh. saya pikir anda sudah membaca tulisan (To Be Continued) dalam tulisan-tulisan di atas. karena anda membacanya berulang kali. anda pastinya paham apa maknanya. sebagai pembaca yang baik dan sabar. pasti komentar-komentar membangun anda seharusnya berada di akhir cerita, bukan di potongan cerita seperti ini. tentu saja teman-teman anda pun geleng-geleng, belum baca yang selanjutnya sih hahahahahaha
Hapus