- Back to Home »
- adventure , story »
- Kenangan Mengerikan Di Yogyakarta
Posted by :
Unknown
Kamis, 05 Desember 2013
Loko Malabar telah masuk perlahan di stasiun Tugu. Hari pun sudah mulai hampir larut malam. Bulan sabit tersungging
di balik cakrawala kelam. Memberikan setitik harapan dan cahaya di atas kepala
umat manusia.
Seperti lagu yang ku tahu, dan sering kunyanyikan.
Yogyakarta selalu membuat rindu setiap orang yang pernah singgah di kota itu.
Suara merdu dari Katon Bagaskara secara imajiner mengaung ke balik telinga,
lalu menelusup ke sanubari, seiring kereta api berjalan perlahan dan terhenti
sejenak di stasiun Tugu.
Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahaja
Orang duduk bersilaaaa
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila . . .
***
Malioboro sudah terlihat dari balik pintu keluar stasiun
Tugu. Ingin rasanya aku keluar dan melompat berhenti di Kota ramah ini. Yogyakarta.
Dengan pongah aku berfikir untuk meninjumu
dengan kencang setelah lulus SMA dulu. Tapi tuhan menggeser rel kehidupanku ke sisi sebelah timur pulau Jawa, di Malang.
Yogyakarta, tempat
sahabat-sahabatku sekarang tinggal. Entah bagaimana perjalanan hidupnya. Apakah sudah lulus semuanya? Apakah sudah bekerja? Aku tak tahu.
Dari balik jendela kaca tebal gerbong ekonomi itu aku
memaku pandangan pada jalanan benderang Malioboro. Aku seolah mampu melakukan
semacam astral dan melepas jiwaku untuk turun ke luar. Menyusuri jalanan kota
yang benderang itu. Menghidupkan kembali beberapa kisah lama di tahun-tahun
awal masa kuliah dulu. Saat itu aku dan 3 orang sahabatku. Bertualang menyusuri jalanan,
menghisap saripati kehidupan Yogya yang sedikit liar.
Kami memang bukan sembarang pelancong. Sekumpulan
Pemuda produk zaman masa kini yang bosan melancong ke Prambanan. Lalu penasaran dengan penunjuk arah menuju Sarkem. Hanya ingin
tahu saja.
Aku masih ingat. Tempat busuk itu adalah kampung dengan
gangnya yang sempit berkelok-kelok. Pencahayaannya remang-remang. Penuh dengan
modus mesum yang nakal. Untuk sekedar bersafari berkeliling hendak
melihat-lihat tempat yang terkenal di kalangan pria hidung belang ini. Kami
merogoh kocek masing-masing sebesar 5000 rupiah. Terserah Cuma mau numpang
lewat, mencicipi satu dua wanita, mau pinjam toilet kek, bagaimanapun kondisi
dan kepentinganmu. Semua harus bayar!
“Kabeh wes
tante-tante yo?” (semua sudah tante-tante ya?) kata Fahmi nyeletuk tak tahu malu, sambil berjalan di
lorong gang. Aku tahu arah pembicaraan ini.
“Wong mek ndelok
tok. Wes ojo dibahas lah.” (Orang kita cuma mau lihat saja. Sudah
jangan dibahas) Sergah Robi yang
paling khawatir. Maklum ia lulusan pondok pesantren. Ada semacam mental blok yang
masih membuat hatinya tidak leluasa melakukan seight seeing yang lain daripada yang lain ini.
“Monggo mas mampir?”
kata seorang wanita gendut dengan riasan menor bergincu tebal berbaju daster. Penampilannya
khas ibu-ibu rumah tangga.
“Ganteng-ganteng kok cuma lewat saja?” kata sebuah suara halus di balik keremangan malam.
Kami semua tidak terlalu menggubris semuanya. Kami ngeloyor lewat sambil tertawa dan
berkomentar sana-sini. Membahas dengan seenak perut kami tentang kondisi wisata malam yang kami lalui
saat itu. Tiba-tiba tanpa
ada peringatan sedikitpun. Sebuah cengkraman cakar mengerikan mencoba meraih
lenganku yang bebas. “Astagfirullahalazim!” jeritku, sekaligus membentak si empunya tangan keriput yang
mengagetkan.
“Mau kemana sih?” sergah perempuan tua keriput yang sudah
uzur dari balik kegelapan. Tangannya yang berkeriput kasar dengan tidak
sopannya menarik lenganku yang tak sigap dengan serangan tiba-tiba itu. Tentu
saja aku lompat kabur dengan sebelas jurus kemudian.
“Ampun mbah!”, teriakku. Tawa terpingkal-pingkal dari
kawan-kawan yang mengetahui peristiwa ajaib itu. Tawa yang membahana di tengah gang sempit jalan Pasar Kembang.
Tawa nakal para berandal beberapa waktu yang silam.
2 Comments
kisah yg menarik,,saya org jogja malah belum pernah kesana,hehe
BalasHapussaya miris, lokalisasi itu beda dengan yang lain. seperti bukan menjajakan keindahan sex, namun hidup yang dituntut untuk bertahan dan keterpaksaan. . .
Hapus