- Back to Home »
- heritage , interresting point , urbanescapology »
- Spoor*
Posted by :
Unknown
Selasa, 03 Desember 2013
Aku
pertama kali melihat rel kereta api melintang secara langsung dengan mata
kepalaku sendiri pada tahun 2005, ketika aku sedang di Jakarta. Akan tetapi kesan
kumuh tentangnya, karena pemukiman penduduk yang dengan nekat membuat rumah
rapuh tepat di kedua sisinya begitu tak mengesankan.
Barulah
setelah aku menuju Malang di tahun 2008. Disuatu pagi yang indah. Kala melemparkan pandangan ke luar jendela ke hamparan
sawah hijau subur nan menyegarkan. Jalinan rel yang sudah seringkali dilewati ribuan jenis kereta
selama ratusan tahun, telah begitu kuat membawaku ke dalam imajinasi. Terlebih
lagi ketika beberapa kali bus yang
kutumpangi dihentikan oleh sebuah palang besi. Lalu entah darimana suara
formal seorang wanita mengabarkan dengan anggunnya, bahwa menurut
Undang-undang. Kereta api harus didahulukan ketika melintasi relnya.
Setelah
portal otomatis itu menunduk menghadang laju sepeda motor, truk, mobil, bus,
dan transportasi darat lainnya. Sang raja. Primadona rakyat jelata yang
merakyat itu. Melenggang melewati batang hidungku dengan cepat dan gagah.
Beribu orang terlihat padat di dalam tubuhnya yang kekar nan panjang. Namun ia
tetap tabah menahan beban. Kuat tak terkira, serta angkuh terhadap transportasi
darat yang kroco-kroco macam bus yang kutumpangi ini.
Sejak
perkenalan pertamaku dengan kereta api yang sepintas itu. Terjadi jeda waktu cukup lama untuk pendekatan yang
lebih mendalam demi mengenal dan mencoba menaiki transportasi ajaib yang satu ini.
Mungkin bagimu kawanku.
Pernyataanku ini terdengar naif, tapi ketahuilah kawan. Kalian tidak akan bisa temukan sang “Raja”
beroperasi di atas tanah selain di tanah Jawa dan Sumatra. Justru setiap orang
yang lebih dulu merantau ke Jawa dariku selalu mengabarkan cerita-cerita
legendaris perjalanan ke pelosok-pelosok Jawa. Itu semua atas berkat rahmat
Allah dan jasa besar Kereta Api.
Besi
panjang yang berjalan bagai ular itu menggelitik jiwa penasaranku. Meliuk-liuk
dalam mimpiku. Jawa sungguh beruntung diberikan sebuah benda ajaib warisan
penemuan era revolusi industri oleh meneer-meneer Belanda. Walaupun pemberian
yang tidak benar-benar tulus dari hati itu telah mengorbankan begitu banyak
nyawa pekerja rodi
pada zamannya. Namun sekali lagi aku sampaikan. Tidak semua daerah di Indonesia
mendapatkan hadiah benda ajaib
tersebut.
Kereta
api yang diam seribu bahasa. Selalu sanggup mengangkut padat penumpangnya. Lalu
beranjak semaunya, untuk kemudian berhenti sebentar di stasiun-stasiun tiap kota demi para “fansnya”
yang lama menunggu.
Seperti
apakah raja jalanan yang punya banyak fans fanatik ini beraksi. Aku sering
melihat di koran maupun televisi, saking dicintainya sang raja. Orang-orang rela bertaruh nyawa hanya
untuk duduk berdesakan di atas
atap,
ataupun bergelantungan di celah pintu-pintunya yang sempit.
Akupun
menghubungi salah seorang teman di Blitar suatu kali. Saat Malang menjadi kota yang mati suri di hari raya Idul Adha. Beruntung kawanku yang satu itu menanggapi dengan sangat terbuka. Akhirnya datang juga hari itu.
***
Gedung
stasiun kereta api Kota Baru malang. Seandainya
saja
dia seorang
manusia, sudah pakai tongkatlah dia. Bergemeratak seluruh tulang-tulangnya
menyangga tubuh rentanya untuk tetap berdiri. Sudah beratus tahun umurnya di
dunia ini. Tapi sisa keperkasaannya saat muda dulu ketika zaman kompeni masih
terlihat jelas dari raut arsitekturnya yang kokoh. Gaya kolonialnya yang
nyentrik masih dikenakannya hingga sekarang.
Setelah
membeli karcis di loket. Aku dan langkah-langkah tak sabarku kini berada di
tempat menanti kedatangan kereta api. Bukan kepalang banyaknya anak adam yang
menunggu kedatangan sang Raja kala itu.
Rel
yang lurus namun bercabang itu sedikit membuatku merenung. Sudah sering aku
melihat perbaikan ruas-ruas di jalanan beraspal Negeri ini. Tapi jarang aku
melihat, atau mendengar berita penambahan rel kereta api, maupun perbaikan rel
kereta api.
Menurut
hematku, jalan mulus sang Raja ini sebenarnya adalah alternatif terbaik untuk
mengentaskan kemacetan jalan raya. Kita lihat saja Jepang, Eropa, dan negara
beradab lainnya yang begitu getol membangun lorong-lorong di kedalaman tanahnya.
Hanya untuk memberi keleluasaan sang raja agar manufer dan kemampuan jelajahnya
kian meningkat.
Sedang
kabar burung yang kudengar. Rel kereta api di Indonesia ini tidak pernah diperbaharui,
maupun diperbanyak sejak pembangunannya yang memakan korban jutaan nyawa rakyat
kita. Apakah begitu terkutuknya kenangan berdarah ketika pembangunan rel
pertama itu, hingga tidak ada yang bisa mencabutnya. Jika kutukan itu bisa
dicabut suatu saat. Aku memimpikkan pulau kecilku bergelimang rel kereta api
lengkap dengan lokomotif dan gerbong-gerbong besinya yang perkasa itu. Kalau
mau berhayal lebih dramatis lagi. Bolehlah sebuah teknologi transportasi kereta
api lintas pulau Jawa-Bali-Lombok supaya aku bisa mudik lebih sering, lebih
hemat, dan lebih cepat. Pastinya bebas segala hambatan.
Saat itu masih pagi pukul sepuluh. Dan
kini aku sudah
berada di lambung sang Raja,
setelah berjibaku dengan puluhan manusia yang saling berjejal-jejal tak mau
terlambat, dan tidak ingin menjadi sarden berjalan sepanjang perjalanan Malang-Blitar.
Satu
gerbong sudah dipenuhi hampir seratus orang. Sangat lumrah jika kita tidak
sengaja menginjak kaki setiap orang disekitar kita. Karena begitu sempitnya
ruang gerak saat itu.
Berdiri
di bekapan lambung sang Raja yang pengap. Aku berebut oksigen dengan manusia-manusia lainnya. Namun aku terkaget-kaet menyaksikan
sebuah pertunjukan sirkus kemanusiaan non stop selama perjalanan itu.
Pemerannya
adalah pendekar-pendekar kelenturan tubuh paling wahid se-Indonesia raya yang
menyamar menjadi pedagang asongan, tukang bersih-bersih,
pengamen, pemeriksa tiket kereta, dan berbagai jenis pendekar kelenturan
lainnya.
Sebagai
orang udik yang tak tahu-menahu ini.
Aku terkagum-kagum dengan semua
pertunjukan berjalan itu. Bagiku yang pertama kali menjejakkan kaki di gerbong
kereta api. Sungguh suatu hal yang mustahil –jika tidak ingin disebut sebagai mission impossible- bergerak di antara
kerumunan manusia sepadat itu. Lengkap dengan acara membawa gelas-gelas plastik
minuman yang dengan ajaib tak tertumpah setetes pun dari tempatnya. Ditambah lagi
dengan frekuensi bolak-balik dari ujung gerbong yang satu ke ujung gerbong yang
lain. Berkali-kali pula.
Kini
aku sadar. Bahwa aku sedang berdiri di bangku terdepan sebuah pertunjukan sirkus. Menyaksikan
aksi dan tontonan utama di negeri ini. Yaitu manusia-manusia yang sanggup menggeliat-liat dan berkelit dengan gesit. Demi memburu kehidupan di antara
keramaian.
Data & Fakta:
*Spoor : Berasal dari bahasa
Belanda yang berarti track, trail, atau jalur.
Disingkat dari kata
Spoorweg yang berarti jalur kereta api. Spoor adalah kata-kata yang tertulis di
samping jalur kereta api, dan berfungsi
sebagai rambu-rambu pada zaman kolonial Hindia-Belanda.
Konon kata Spoor inilah
yang diambil oleh orang jawa untuk menamai kereta api hingga kini dalam bahasa
daerahnya. Orang-orang jawa mengucap kata Spoor dengan kata Spur. Atau Sepur.
Tidak semua orang di jawa pernah menggunakan transportasi ini. Banyak teman-teman penulis yang asli Jawa, seumur hidupnya tidak pernah naik kereta api. Bahkan sering, penulis mengajak teman untuk berpergian menggunakan kereta api, dan mereka mengaku, bahwa itu adalah pengalaman mereka. Setelah sejak kecil hanya bisa bernyanyi "Naik-naik Kereta Api"
Kereta Api Ekonomi menjadi transportasi termurah di seluruh Indonesia. Sampai akhirnya pada priode April 2013 subsidi bagi PT. KAI dikurangi. Menyebabkan tarif dasar kereta api ekonomi jarak jauh melonjak hingga lebih dari 50%.
Saat ini, kenyamanan melakukan perjalanan dengan KA ekonomi terjamin. sehingga bagi anda yang pertama kali mencoba moda transportasi ini, tidak akan menemui lagi apa yang dialami penulis di atas.
6 Comments
Saya pertama kali naik kereta api dari Jkt-Malang dengan memakan waktu 17 jam. Nggk pernah kebayang gimana bisa ngelewati waktu selama itu dengan hanya berduduk saja. Dan ajaibnya selalu ada pedagang asongan yang mondar-mandir di gerbong kereta dengan segala macam jualannya.
BalasHapusDi Sumatra nggak pernah nyobain naik kereta (bukan motor) loh yah? he he he
HapusNggk pernah..... :D
HapusDulu waktu masih kecil pernah naik kereta api ke Jogja
ciyeee, , , naik kereta api tut, , , tut, , , tut siapa hendak turun, , , ke jogja surabaya ha ha ha
Hapusbaru tau kalo spoor awalnya dari bahasa belanda hehe...di lombok ngak ada sepur kawan..susah kalo travelling haha..angkot aja susah apalgi sepur
BalasHapusiya om, jadi backpacker di Lombok kudu kreatif :P karena tantangannya double, transportasi masa yang murah-murah macam sepur terbatas. pengeluaran terbesar sebuah perjalanan justru moda transportasi Ironis ya? he he he
Hapus