- Back to Home »
- adventure , pantai&pulau , story »
- Tertawa Sampai Malam Di Tangsi
Posted by :
Unknown
Jumat, 13 Desember 2013
teks : Lalu Ahmad Hamdani
Foto/Dokumentasi : Zicco/Ino & Mira
Ino, Mira, dan aku hendak mencari jalan setapak di
sekeliling bukit kecil, yang menuju ke satu-satunya penginapan di pantai Tangsi,
Lombok Timur. Sebelum akhirnya seseorang meneriaki kami.
“Hei, , ,
kalian! Mau ke mana?”
Kami segera menoleh ke belakang. Mencari sumber suara,
yang ternyata datang dari seorang bapak-bapak. Berjalan tergopoh-gopoh ke arah
kami. Sesudah dekat kami pun menjelaskan niat kami.
“Ini pak kita mau nyari jalan ke atas sana.” kata
saya.
“Nggak boleh! Selain tamu dilarang masuk” kata bapak
itu dengan bersungut- sungut. Dahinya mengkerut.
“Iya, pak. Kami rencananya mau nginep, tapi mau
nanya-nanya dulu harga kamar semalam.” Sahut Ino.
“Ya sudah sama saya saja (tanyanya). Tapi adik-adik
ini ndak boleh naik ke atas.”
“Lah emangnya kenapa pak?” Tanya Ino lagi.
“Saya yang jaga Bungalow itu. Itu punyanya orang bule. Semalam harganya sejuta kalau mau
nginep. Di dalam ada air bersih, kamar pribadi, kamar dan ruang tamu, makan
pagi, lengkap.” Kata bapak itu panjang lebar.
Ino dan Mira saling melempar pandang, alisnya
terangkat, dan Mira menggerakkan mulutnya seolah berbicara, namun tak terucap.
Semua tahu, kata apa yang tertahan. Sejuta?
“Baik, pak. Terima kasih informasinya. Kayaknya kita nggak
nginep deh di sana. Permisi pak, kami ke atas dulu pak. Mau ke tanjung ringgit.
Mau lihat-lihat. Mari?” kata Ino.
“Mari. Kalau mau nginep nanti malam. Tidur saja di berugak (bale-bale). Aman kok.”
“Iya pak nanti kita ke sini lagi. Terima kasih”
Sesudah jauh dari bapak-bapak itu. Barulah tawa
menggelegak membuncah di antara kami bertiga. “Ha, , , ha, , , ha , , , Gila.
Sejuta men! Cuma ada kamar, air bersih, sama sarapan doang? Mending gue habisin
sejuta entar di Bali. Udah dapet macem-macem tuh.” Sahut Mira.
“Ya tapi wajarlah, tempatnya seterpencil ini. Tapi
nggak kebayang juga bisa sampai harga segitu.” sahutku.
“Dani seharusnya elu tuh buka homestay di sini.
Saingannya cuma satu. Banting harganya, udah beres. Pasti rame Dan he, , , he,
, , he, , ,” goda Mira kepadaku.
Ah entahlah, sinisme ini berlanjut terus sepanjang
jalan menuju tanjung Ringgit. Apa mungkin karena keki dengan property
kepunyaan si bule-kah? Aku tidak tahu
dengan Ino dan Mira. Tapi aku sendiri ingin jujur. Miris mengetahui, bahwa
tanah-tanah di atas pantai terindah kita dimiliki oleh orang asing. Kapan Lombok
akan persis sama seperti Bali? Ketika semua jengkal pulau cantik ini.
Dikangkangi oleh mereka. Gurita berhidung panjang dengan sejuta tentakelnya.
Mungkin sebentar lagi. Buktinya, kawasan Senggigi sudah tergenggam. Tinggal menunggu
tempat cantik lainnya yang akan tergenggam. Tunggu saja.
Berbicara tentang gurita yang lain. Sore itu tuhan menjadikan
gurita sebagai media untuk mempererat kami dengan teman sesama pejalan lain di tanjung
Ringgit. Setelah menduga, bahwa hampir pasti hanya ada kami bertiga dan alam
yang tinggal lebih lama lagi di tempat ini. Namun dugaan kami keliru. Kami
tidak sengaja bertemu dengan pejalan
lain, saat menyusuri tebing-tebing garis pantai di daerah sebelah timur laut
Lombok tersebut. Di tempat itu, mereka sedang asyik membuat api, dan tertawa-tawa
lepas oleh canda riang gembira.
“Sore bang, boleh nimbrung nih? Lagi mancing bang?”
kata saya yang senang sekali bertemu sesama pejalan di tengah kesunyian alam.
“Loh, ayo-ayo kemari-kemari. Sini-sini. Woy
temen-temen ada tamu nih!” kata pria berambut keriting ini. Ia memanggil
temannya yang sedang asyik mengarahkan joran ke laut lepas di bawah tebing. Dia
menyambut kami dengan –bukan lagi ramah, tapi- sangat gembira. “Ini dari mana
mas, mbak?” tanyanya lagi.
“Dari Bandung mas.” Sahut Ino
“Mbaknya juga dari Bandung?”
“Iya mas”
“Kalau mas yang satunya?” katanya beralih bertanya
kepadaku.
“Batur tengak (Teman
dari Lombok Tengah)” jawabku dengan bahasa sasak. Sengaja aku begitu, karena
tahu mereka juga ber-aksen sasak.
“Oh ha ha ha, , , saya pikir orang jawa juga tadi.”
“Ha ha ha ha” kami tertawa, entahlah walau tidak
terlalu lucu. Namun tawa keluar dengan ikhlas dari kami semua. Ino dan Mira pun
senyum-senyum mendapati keramahan heboh yang
mereka peroleh dari penduduk pulau Lombok yang satu ini.
“Cuma bertiga saja ini? Ndak ada yang lain?”
“Kebetulan personilnya cuma kami bertiga ini mas.”
Kata Ino.
“Pakai apa ke sini? Kok nggak kelihatan ada kendaraan
dari tadi?”
Kami bertiga pun saling berpandangan dengan senyum
terkulum penuh arti. “Kita ke sininya naik macem-macem mas.” Sahut mira
malu-malu mengingat perkara seru itu.
“Maksudnya?”
“Ya pertama pakai
angkot, terus nyambung pakai pick up tumpangan di tengah jalan, terus ketemu
angkot lagi, sampai akhirnya naik truk ke Pink (Pantai Tangsi).”
“Waahh nekat juga ya? Udah pada kehabisan uang apa? Ha
ha ha ha”
Entahlah, tapi tiap kali kelompok mereka tertawa. Kami
pun ikut tertawa. Tapi lagi-lagi tanpa ada keharusan dituntut ikut tertawa atas
nama sopan santun. Benar-benar ikhlas dari hati. “Ha ha ha ha ha” tawa kami
menggelegak kembali di udara terbuka.
Di sela-sela tawa itu. Terbawa oleh hembusan angin
laut bercampur garam. Aroma seafood terkuak
dari dalam api unggun yang mereka buat. “Karetnya udah mateng belum tuh?” kata
teman si keriting yang memakai buff.
“Nah coba kita lihat dulu. Karetnya udah mateng atau
belum? Ini tamu-tamu kita pasti belum pernah nyobain karet bakar nih. He he he”
“Karet?” pikirku penuh dengan tanda Tanya. Apa memang
mungkin karet bisa dimakan?
“Nah beneran karetnya udah mateng, agak gosong. Tapi
nggak apa-apa.” Si keriting mengangkat benda kecoklatan yang bernoda hitam di
beberapa bagian itu dari perapian. Lalu segera menawarkannya kepada kami.
“Ini kenaus (anak
gurita) namanya bang. Dicocol di
sambal terasi. Hemmm. . . Maknyus punya. Apalagi pakai nasi. Ha ha ha ha ha. .
.” si gemuk rambut keriting itu dengan semangat menerangkan, apa sebenarnya
yang dimaksud dengan karet itu.
Memang, jika tidak mahir memasaknya, daging gurita akan
sulit sekali untuk dikunyah. Persis seperti karet. Namun anak gurita bakar sore
itu yang lekas tandas oleh kami berenam. Sempurna, tidak terlalu kenyal, malah
empuk dan mudah tercabik oleh gigitan. Rasa khas daging seafood yang lebih gurih lagi karena mengeluarkan aroma lautan alami
di dalam mulut. Membuat kepala kami mengangguk-angguk
setuju dibuatnya. Satu kesepakatan
rasa di antara kami. Gurita sore ini, sedap dan nikmat bung.
Obrolan panjang pun semakin berlanjut, ditambah lagi
dengan menu disert special. “Ini mas,
mbak silahkan dicicipi juga. Buah nangka aseli dari kebun kami sendiri ha ha ha
ha.” lagi-lagi kami ikut tertawa-tawa disuguhi nangka ukuran Jumbo, Lengkap
dengan kulitnya.
Semula kami akan ikut mereka bertualang lagi ke timur.
Setidaknya menumpang pick up mereka sampai menemukan peradaban. Namun entah
mengapa seturunnya dari tanjung Ringgit ke pantai Tangsi. Kami yang berencana
hanya mau menikmati laut malam-malam jadi tertahan semalaman. Apalagi teman
pejalan bertambah banyak saja. Setelah teman-teman mereka yang memang saat awal
pertemuan tak terduga itu. Datang setelah puas melihat-lihat meriam dan goa-goa
tangsi peninggalan jepang era perang dunia ke II yang memang berserakan di
tanjung Ringgit dan sekitarnya.
Semakin banyak orang, semakin ramai saja tawa yang
terdengar. Semakin betah kami dibuai alam. Apalagi purnama muncul menerangi
langit. Membuat alunan gitar semakin nikmat dimainkan.
Beralaskan lembutnya
pasir pantai tangsi yang sedikit tercampur dengan sisa jasad karang merah itu.
Nomor-nomor Reage dan lagu Melayu Malaysia zaman baheulak pun mengalun menggoda sang purnama. Sekali-sekali tawa
meledak memecah malam. Malam tak berangin yang serasa ikut larut juga dalam
perbincangan jenaka para pejalan.
Ah! Malam yang indah, satu hari tak terlupa di pantai
Tangsi yang dikenal juga dengan nama pantai Pink-nya Lombok itu. Saat ini
tempat yang disebut-sebut sebagai surga tersembunyi bagi sebagian orang itu.
Memang masih seperti malam yang kuceritkan tadi. Entah esok atau lusa. Ketika
jalan aspal mulus dibangun menuju ke sana. Atau jika pantai teluk yang strategis
tersebut dibangun menjadi pelabuhan internasional, hingga mampu menyandarkan
kapal pesiar. Terpaksalah kami mencari tempat lain untuk tertawa lepas seperti
tadi. Tapi itu masih mending. Dari pada ternyata esok lusa tahu-tahu dijual ke
orang asing. Mau berwisata dimana lagi kita?
2 Comments
Wow, gurita dan nangka, sungguh perpaduan sempurna, hehe! Sungguh tergiur sama gurita bakarnya..
BalasHapusOya, kalian gak coba tidur di goa Jepang? ;)
tidurnya di bale-bale om. . . enak. . . he he he. salam kenal om badai
Hapus