- Back to Home »
- adventure »
- A Journey To Bromo
Posted by :
Unknown
Senin, 15 April 2013
Waktu menunjukkan
pukul 21.00 WIB. Ada rasa kegetiran yang membisikkan aku untuk kembali saja dan
menyerah. Tapi hati yang walau ragu terus berjalan menyusuri jalan beraspal
menanjak dan
gelap. Berbekal terangnya cahaya senter akupun berjalan menyusuri jalanan. Gerimis mulai menggoyahkan semangat, menyebarkan dingin pada setiap
tetesannya hingga ke sum-sum
tulang. Di tengah jalan aku melihat ada masjid besar
yang memanggil pengelana sepertiku untuk
menyinggahinya. Suasana masjid yang sepi, karena shalat isya sudah lama berlalu membuat
rasa tentram di hati. Tidak ragu aku mencopot sepatu dan memasuki pelatarannya,
mengerahkan sisa-sisa tenaga untuk membuka ransel dan menggelar matras. Aku pun
mencari tempat yang aman dan terlindung dari hempasan angin malam yang dingin,
di pelataran selatan masjid itulah aku tertidur malam itu.
***
Aku sendiri tidak
percaya bahwa aku sanggup untuk berjalan sampai sejauh ini, dalam waktu satu
hari satu malam. Satu hari yang lalu, apa yang aku lakukan saat ini hanya angan
gila yang merayap di kepala. Keinginan untuk melatih fisik dan mental dengan cara
berjalan dari tumpang hingga Bromo,
perjalanan sejauh 30 km. Siapa yang mau melakukannya di
zaman seperti sekarang ini. Aku seperti dirasuki euforia pengembara-pengembara kuno seperti
film-film silat yang aku tonton sejak
aku kecil. Tapi dengan tas ransel seberat hampir 10 kg di punggung,
penampilanku tidak seperti pengembara. Lebih tepat seperti seorang backpacker kere yang
terpaksa berjalanan ke Bromo karena tidak punya ongkos naik kendaraan.
Ah sudahlah, tidak
penting pikiran orang-orang tentang penampilanku saat ini. Hari sudah berganti
tanggal, jam menunjukkan angka 04.30 WIB, mata masih berat untuk membuka. Sedang lelapnya tidur tak bisa
didambakan seperti biasanya, dan matahari masih belum
muncul dari balik bukit. Cercah cahaya menyeruak membentuk gradasi biru gelap
di punggung bukit di sebelah timur. Setelah menunaikan shalat subuh di masjid
tersebut. Jam 05.00 WIB aku merenggangkan badan. Perasaan malas segera disingkirkan,
keinginan untuk tidur lagi di dinginnya pagi ini segera aku benamkan
dalam-dalam. Meneguk air dua tegukan, lalu mencangklongkan ransel di punggung
yang sudah sehari-semalam tersiksa beban berat. Aku
membulatkan niat untuk kembali berjalan lagi menyusuri rute menuju Bromo.
Perlahan tapi pasti langit mendukungku kali ini, cuaca cerah yang indah di desa poncokusumo, kecamatan tumpang,
kabupaten Malang. Di kiri dan kanan jalan beraspal ladang tebu dan sayur
menjadi pemandangan yang mengiringi keberangkatanku. Bangsat jalanan tak mau
berhenti menyiksaku. Tak ada semeterpun track lurus datar yang melegakan, yang ada adalah
siksa tanjakan yang menjadi-jadi.
Petani-petani di
desa Gubug kelakah melihatku yang berjalan melewati desanya dengan tatapan heran,
atau mungkin takjub hehehe :P. Entah apa yang ada di dalam isi kepala mereka.
Aku tidak tahu. Beberapa ada yang menanyakan tujuanku, dan sering kali aku
menganggukkan kepala ditingkahi senyum menyungging menunjukan kesopanan dan
rasa hormat kepada penduduk asli. Hari ini aku sudah dua kali didahului
sesepuh-sesepuh penduduk asli yang baru pulang dari mencari rumput. Dua
keranjang besar yang mereka pikul penuh dengan rumput. Aku taksir berat
keduanya kira-kira 20-30
kg. Dengan beban seberat itu para sesepuh tersebut mampu berjalan lebih cepat
daripada aku yang membawa beban yang lebih ringan. Aku senantiasa berpikir
tentang bagaimana kehebatan itu mereka dapatkan. Sudah berapa ratus kalikah jalanan
ini mereka lalui setiap hari untuk
mendapatkan kekuatan itu. Aku jadi berfikir kalau cerita para shaolin yang
berjuang keras melatih fisik dengan menimba air dari kaki gunung dan membawanya
hingga ke puncak gunung tanpa tumpah setetespun adalah mitos yang masuk akal.
Melihat mereka-mereka yang mendahuluiku sambil membawa dua keranjang penuh
rumput tanpa tumpah sehelaipun jadi bukti bahwa kekuatan dan ketangkasan itu
ada di depan mataku.
Palang penunjuk arah mengabarkan pada setiap pengguna jalan ini, bahwa
Bromo Rest Area masih 5 km lagi, coban pelangi masih 7km, dan desa Ngadas
sebagai desa terakhir derita tanjakan neraka ini masih 20 km lagi. Sebuah angka
yang mudah ditulis, tapi amat sangat sulit untuk kita jalani. Kehidupan itu
seperti penunjuk arah yang kita baca. Kita tahu jarak langkah kehidupan, dan seberapa
jauh yang harus kita tempuh untuk menggapai mimpi. Namun terkadang kita sulit
mempercayai bahwa perjalanan panjang penggapaian tidak semudah menulis hitam di
atas putih. Kita terkadang menyerah di tengah jalan dan kembali ke kota,
menyerah kalah pada keterbatasan diri yang tidak pernah kita coba gali lebih
jauh. Hanya mimpi di depan mata yang membuatku tetap berjalan menyusuri jalan
aspal yang kemudian berubah menjadi blok-blok kasar yang sudah pecah dan tak
nyaman. Sering kali aku berhenti untuk menarik nafas dan melihat pemandangan.
Hanya hijau hutan dan kicau burung yang menjadi teman perjalanan saat ini,
kepada merekalah aku menggantungkan semangat ini. Bara semangat paling besar
yang menyulutkan semangatku di perjalanan tadi adalah ketika melewati sebuah
sekolah dasar dengan puluhan murid-murid laki-laki dan perempuan mengiringi
perjalananku hingga beberapa ratus meter. Canda tawa serta keingintahuan yang
besar khas anak-anak menyunggingkan senyum dan menyulut rasa percaya diri dalam
hati. Mereka meneriakiku seperti pahlawan berani mati yang melakukan hal yang
luar biasa. Kali ini aku boleh sejenak mensejajarkan diri dengan superman dan
spiderman. Sama-sama diidolai anak-anak :).
Derap langkah semakin berat di bawah terik matahari yang menyengat tepat
di atas ubun-ubun kepala. Tubuhku tak lagi efisien menggunakan air, aku
memutuskan berhenti dan membuka bekal di tepi jalan sepi yang terkadang
dilewati jeep, dan sepeda motor. Aku duduk memandangi bukit-bukit semakin
dirambah orang menjadi ladang. Inilah pabrik sayur yang sangat besar yang
mensuplai kebutuhan dapur setiap kepala keluarga. Sawi, kol, kentang, kacang, apel,
wortel, semua ditancapkan ke tanah. Ketika penduduk semakin membengkak di kota,
semakin banyak yang meminta jatah makan, semakin banyak pula hutan yang akan
berubah menjadi ladang. Dilema menghantui perasaanku, jawaban apa yang paling
tepat atas segala keresahan ini. Semakin sering aku melewati jalur yang sama,
semakin terlihat segala perubahan di setiap lekuk perbukitan ini. Hutan dan
gunung selalu memberi kita karunia, tapi kita selalu membalas susu dengan air
tuba, menjarah dan merasa tak bersalah.
Dua pengelana bersepeda melewatiku. Kami
berbincang sebentar dalam balutan hangat khas para pengembara, walau zaman
berubah. Para pengelana sejati masih tetap menunjukkan rasa respek yang tinggi
antar sesama pengembara. Kisah-kisah romantisme pengembaraan seperti ini yang
tak pernah hilang, dan semoga tak lekang terkikis zaman. Aku selalu percaya,
bahwa perjalanan, tenda, seruputan kopi di tengah alam, dan cahaya api unggun
di pegunungan selalu bisa mendekatkan insan, walau mereka tak saling mengenal.
Desa Ngadas telah aku lewati dengan susah
payah, merangkak naik melintasi barisan bukit di pegunungan tengger menuju
pertigaan jemplang. Sebuah jalan menyimpang yang salah satunya mengarah turun
ke lautan pasir gunung Bromo. Sejenak melepas lelah di persimpangan ini yang
terkenal dengan landscape bukit teletubies di bawahnya. Sebuah barisan gundukan
bukit yang hijau, mirip seperti landscape dunia tempat tinggal para teletubies
di televisi. Disni aku bertemu pengelana sepeda motor dari jogja, semarang, dan
lainnya yang sudah menghabiskan waktu berminggu-minggu menjelajah jawa, bali,
lombok mengendarai sepeda. Sungguh aku terkagum-kagum mendengar semua cerita
mereka, tentang kota demi kota yang mereka singahi, tentang perjalanan jauh
menyusuri garis pantai pulau jawa, menginap di penginapan, bensin, mushola dan
sebagaianya. Pengendara juga adalah petualangyang sama sepertiku, aku hanyalah
pejalan kaki yang mengandalkan kaki untuk melangkah lebih jauh lagi. Teringat
sebuah film berjudul “into the wild”, aku seperti tokoh utama dalam film itu
yang berkelana berjalan kaki meninggalkan kehidupan stabil dan mapan perkotaan,
menyatu dengan alam sendirian. Bertemu berbagai hippies dan memiliki kisah
unik. Kadang kala aku ingin melakukannya. Membuang identitas diri, berkelana
hingga mati, hingga alam memelukku dalam kesendirian. Tapi aku tidak memiliki
masalah seberat si “Supertrumph” itu, aku baik-baik saja.
Beristirahat cukup lama di pertigaan jemplang.
Menikmati suguhan teh dingin dan gorengan gratis dari si pemilik warung yang
ada di sana. Aku segera bangkit melanjutkan perjalanan ini. Dari arah aku
berangkat, ada dua bule hungaria yang berjalan mendekat. Tukang-tukang ojek
sekaligus pemilik warung menawarkan jasa ojek kepada mereka dengan bahasa
inggris pas-pasan. Tapi rupanya kedua orang berbeda jenis kelamin yang
merupakan sepasang kekasih ini tidak tertarik dengan perjalanan mudah. Kamipun
bergabung menjadi tim seperjalanan, aku senang kini ada teman berbagi
pengalaman. Si pria yang lebih ahli menggunakan bahasa inggris memiliki
ketertarikan khusus dengan folklore-folklore yang ada di sebuah objek wisata.
Aku pun menceritakan kisah heroik yang aku tahu tentang puncak gunung himalaya
yang diangkat oleh para dewa untuk menstabilkan pulau jawa yang
terombang-ambingdi lautan dan kini menjadi salah pegunungan yang kami susuri.
Sayang setelah menaiki gunung Bromo, mereka tak ingin tinggal lebih lama lagi.
Mereka memaksa untuk segera kembali ke Solo ke tempat mereka berstatus
mahasiswa pertukaran. Aku pikir akan sulit untuk mendapatkan kendaraan kembali
ke peradaban di daerah ini, sedang matahari sudah mulai menghilang di balik
punggungan bukit dan malam yang dingin mulai mengancam. Tapi beruntung mereka
mendapatkan kendaraan dengan dibantu ojek-ojek cemara lawang. Aku sendiri
memutuskan menginap semalam di sebuah penginapan di cemara lawang untuk
melanjutkan perjalanan mengejar matahari di penanjakan esok subuh.
Beruntung aku mendapatkan tempat yang nyaman
dengan kasur kapuk lumayan empuk, karena perjalanan berat nan panjang menuju
penanjakan berjalan kaki dari cemara lawang benar-benar membutuhkan tenaga
ekstra. Jika saja aku tidur di bifak seperti rencana awal pengembaraanku. Aku
mungkin tak akan sanggup menapaki jalan menuju puncak, karena dingin angin
malam akan menggerogoti semangatku. Pukul 02.00 WIB dini hari, dan malam masih
bergemintang indah. Aku memaksa diri di tengah dingin malam untuk terbangun.
Setelah menjejalkan roti ke dalam mulut, aku berangkat meninggalkan kamar
berkasur nyaman itu. Di luar di dekat pintu masuk loket karcis, banyak orang
yang masih belum tidur, ada yang menjajakan sarung tngan, kerpus, dan
sebagainya. Beberapa kelompok menyalakan api unggun dan memasak air untuk
membuat kopi, atau teh, mungkin kelompok pengembara sepertiku juga. Sedangkan
lautan pasir di kejauhan terlihat gelap gulita, belasan titik cahaya terlihat
menyusuri pasirnya, mungkin itu para pengendara sepeda motor yang ingin segera
menuju penanjakan.
Aku berjalan perlahan diterangi senter
kesayangan, menyusuri jalanan pasir yang dingin membekukan. Musim hujan membuat
beberapa titik di lautan pasir yang dekat kaki penanjakan berubah menjadi
lumpur dan menjebak sepeda motor yang mencoba melewatinya. Aku sang pejalan
kaki membantu mereka sebentar memberi petunjuk jalan yang mudah dilalui
kendaraan. Sebagian besar berkutat dengan lumpur, sangat sulit untuk bisa
keluar dari jebakan itu, lebih – lebih kendaraan mereka tidak didesign untuk
segala medan, kendaraan-kendaraan itu hanya sepeda bebek biasa yang sering
berkeliaran di jalan kota dan kaget serta ngambek pada kenyataan alam yang
mereka temui saat itu. Setelah melewati waktu hampir setengah jam semuanyapun
terbebas dari jebakan lumpur. Banyak yang menawariku tumpangan, tapi aku tak
ingin merusak perjuangan dan keinginanku yang sudah benar-benar bulat sejak
kemarin. Perjalanan sudah sangat jauh untuk menyerah dengan godaan dari tawaran
kendaraan. Aku berucap terima kasih dan pergi begitu saja agar tak tergoda
lebih jauh lagi.
Jalan ini adalah jalan beraspal mulus yang
berkelok-kelok di punggungan bukit-bukit tinggi. Butuh waktu 3 jam lebih untuk
sampai ke view point penanjakan 1 yang sudah ramai dijejali manusia penasaran.
Yah manusia penasaran yang ingin menyaksikan keajaiban menyembulnya matahari di
gunung Bromo yang legendaris. Sebuah Moment magis yang membiusku sejak lama,
yang membuatku terus kembali ke sini tanpa bosan dengan berbagai cara. Hallo
Bromo aku kembali lagi. Selamat Pagi.
2 Comments
Jadi kangen bromo :(
BalasHapusciyehhh, , , sama he he he
BalasHapus