Widgets

Posted by : Unknown Kamis, 18 April 2013


Saya ingin membuka paragraf celotehan kali ini dengan sebuah kalimat dialog imajiner yang mendesak ingin keluar dari kepala saya. Kalimat yang sempat saya renungkan sejak perjalanan menuruni puncak Ogal-Agil menuju puncak Welirang. Kalimat ini sangat klise, sederhana, tapi menusuk. Kalimat tersebut adalah sebuah pertanyaan berbunyi.
“Mengapa kamu mendaki gunung?”
Jika seseorang melontarkan pertanyaan tersebut kepada saya. Saya akan menjawab.
“Karena saya suka mendaki gunung.”
Lalu saya akan berkata.
“Tapi jika, pertanyaan anda sedikit berbeda. Maka jawabannya akan jauh lebih kompleks dari pada itu.”, kata saya kepada manusia imajiner yang berada dalam kepala saya.
Kalau saja seseorang bertanya lebih spesifik.
“Mengapa kamu suka mendaki gunung?”
Saya pribadi akan menjawab seperti ini.
Di dataran-dataran tinggi yang tertutup kanopi dedaunan. Saya menghirup udara segar. Di dataran-dataran tinggi tempat berdirinya pohon-pohon pinus. Saya meresapi keheningan. Langkahmu terkadang diiringi oleh gemericik air yang menenangkan. Ditemani hiburan dari cerewetnya burung-burung yang riang. Malam yang dingin dan kabut menyelimutimu perlahan. Membiusmu dengan imajinasi bagai di alam mimpi. Menatap bintang-bintang bertaburan dan rembulan yang menyunggingkan senyum ramahnya. Menghangatkan hati dengan menatap bara api unggun yang menghidupkan gelora dalam jiwa. Di puncak-puncak gunung bahkan ladang bunga edelweis terhampar seperti menggoda pengembara untuk singgah dan mencumbui rayuannya yang menawan.

Puncak adalah hadiah dari pengelana yang sabar terhadap segala jenis ujian yang didapatkannya di gunung. Di atas puncak-puncak tertinggi kita bisa melihat matahari terbit berhiaskan lautan awan yang serasa berada tepat di bawah kaki kita. Hadiah terindah para pendaki yang berhasil mencapai puncak.
“Mengapa kamu suka mendaki gunung, padahal resikonya sangat besar?”, tanya orang itu lagi.
Sejak kita terlahir, sebenarnya kita sudah bersaudara dengan resiko. Hubungan manusia dengan resiko hampir sama seperti sudara kembar siam kita. Jika anda adalah tipe yang memilih untuk mengambil resiko yang lebih kecil, maka anda tak akan pernah terpikirkan untuk mengambil resiko yang besar. Resiko kecil membuat orang nyaman, dan sebanding dengan kenyamanan tersebut, hidupnya pun akan datar-datar saja. Coba saja tanyakan para pendaki yang sudah bersaudara dengan resiko besar itu. Mereka keluar dari zona nyamannya untuk tersiksa dengan jalan menanjak berbatu yang melelahkan. Resiko mati, kelaparan, kehausan, dan hilang selalui menghantui setiap pendaki. Namun karena resiko besar yang mereka pilih dan sadari. Hidupnya lebih berwarna dari orang yang memilih resiko kecil. Bukan hanya pendaki. Penjelajah samudra, pengembara di daratan pun memilih resiko yang sama besarnya. Begitu dekatnya mereka dengan maut dan penderitaan, sebanding dengan hasil yang mereka peroleh. Jika saya sebutkan nama-nama besar yang berani mengambil resiko dan menghadapinya dengan bijak, maka daftarnya akan sangat panjang. Tersebutlah Nabi Muhammad S.A.W (pendaki, dan mengembara sejak kecil), Colombus (penjelajah), Amerigo (penjelajah), Thomas J. Cock (penjelajah), Sir Edmund Hillary (pendaki), Soe Hok Gie (Pendaki), Gol A Gong (Pengelana), Ibnu Batutah (Pengelana), Gajah Mada (Imperialis), Hayam Wuruk (Raja yang suka Travelling), Wiro Sableng (Tokoh Fiksi Yang terus mengembara), Jenghis Khan (Imperialis), Bangsa Viking (Pengembara, Pengelana, Imperialis), Andrea Hirata (pengelana dan sekaligus seorang Pemimpi), Nenek Moyangku (seorang pelaut), Lalu Ahmad Hamdani (pengikut jejak kaki mereka).
Biarkanlah aku masuk dalam nomor paling buncit daftar maniak yang mengambil resiko besar tersebut. Setidaknya saya lebih dekat dengan jejak kaki mereka daripada orang-orang yang mendekam di bawah kolong atap rumah mereka. Orang dengan jejak-jejak kaki itu adalah orang-orang terhebat yang pernah dikenal manusia di planet Bumi.
***
Menuruni puncak Ogal-Agil menuju pasar Dieng. Sebuah pasar gaib menurut kepercayaan beberapa orang sebagai pasarnya para jin, tidak terlalu menguras tenaga. Pasar Dieng adalah sebuah dataran yang cukup luas dan banyak bebatuan-bebatuan berserakan di sekilingnya. Mungkin bekas erupsi jutaan tahun yang lalu. Tapi jika memang gunung Arjuno adalah sebuah gunung api purba. Maka dimanakah kawah purbanya berada? Catatan meletusnya tidak terekam dengan jelas, baik oleh para ahli sejarah modern maupun masa lalu.
Kami berjalan dengan hati riang, karena menjadi salah seorang yang sempat meninggalkan jejak kaki di gunung Arjuno. Perasaan dramatis seperti ini yang kadang sulit dijelaskan. Mengingat susah-payahnya kami menyeret diri sampai puncak ogal-agil. Mungkin perasaan tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah kebanggaan. Tapi cukup hanya sampai taraf kebanggaan. Jangan sampai berlebihan. Kesombongan sangat dilarang keras di gunung. Justru kami diajari untuk selalu rendah diri.
Berjarak dua jam perjalanan dari puncak. Kami bertemu sekelompok manusia. Alhamdulillah senang rasanya bertemu dengan para pendaki lain di tengah hutan belantara. Jumlah mereka tujuh orang. Asal mereka dari segala penjuru negeri. Sebagian besar pendaki jakarta dan jawa barat. Saya melepaskan salam kepada mereka, tanda bahwa kami datang dengan perdamaian, dan bukan jin penunggu gunung. Mereka menyambut kami dengan riang, sambil menawarkan kami kopi, rokok, dan cemilan. Persahabatan begitu cepat terjalin di alam seperti ini. Ada seseorang yang sudah tidak kuat melanjutkan perjalanan, tapi saya beritahu bahwa sangat rugi sekali untuk menyerah sekarang. Perjalanan menuju puncak tinggal dua jam lagi. Sangat dekat, sangat sayang untuk berhenti saat ini. Teman-teman yang lain menyemangti dengan segala cara agar kakinya mau melangkah lebih jauh lagi.
“Lu tuh istilahnya, kayak orang lagi puasa tapi lu mokel waktu ashar.”, kata temannya memberi pengertian.
“Udah ah gue disini aje, gue juga sering kayak gitu. Kalau udah gak kuat. Ashar-ashar gue mokel juga kok.”, kata laki-laki yang ingin menyerah itu.
“Busyet dah, pantesan lu kayak gini kejadiannya. Kalau lu mau mokel seharusnya pas siang hari, pas panas-panasnya tuh, kagak rugi jadinya.”, kata temannya masih ngotot merefleksikan puasa dengan pendakian.
“Gimana gue gak kuat, nah luh bilangnya dari tadi udah deket. Deket darimananya coba. Lagian dari tadi satu jam-satu jam aja, kagak nyampek-nyampek”, kata laki-laki itu serius, ditingkahi tawa teman-teman yang lain.
“Nih tanya aja masnya, biasanya yang baru turun nih gak bakalan bohong.”, kata salah seorang temannya.
“Iya mas udah deket”, kata saya.
“Tinggal berapa jam lagi?” tanyanya.
“Sekitar dua jam lagi” kataku.
“Busyet masih jauh tuh.”, sahutnya menunjukkan pesimistis.
“Enggak udah deket kok segitu doang, coba lu inget-inget, Gede udah, Pangrango udah, Papandayan,Salak, Semeru, masak sekarang lu Arjuno tinggal di depan mata lu mau nyerah. Masak lu cuman segitu doang bro.”, kata temannya yang gondrong.
“iya masnya juga ini baru turun pasti gak bakalan bohong, tinggal dua jam lagi kan mas?”, tanya pendaki dari luar jawa yang mendelik ke arahku.
“Masnya kalau bohong disumpahin gak dapet cewek dah.”, sambut teman gondrongnya sambil tersenyum menyambar pertanyaan sebelum sempat mulutku menjawab.
“Iya sumpah berani jomblo tinggal dua jam-an lagi kok, kita juga sempet ketiduran tadi mas di pasar Dieng.”, sahutku.
Serentak semua kelompok kompak bersahutan
“kenapa gak bilang ketiduran dari tadi mas. Berarti dipotong ketiduran setengah jam tinggal sejam setengah lagi.” Sahut setiap orang hampir berbarengan.
Setelah tertawa bahagia bersama, melepaskan penat dan lelah dengan guyonan ala kadarnya, kami pun berpisah melanjutkan tujuan masing-masing. Kami bertiga menuju lembah kijang. Sebuah dataran luas berumput hijau indah yang cocok untuk mendirikan tenda sebelum melanjutkan perjalanan ke Welirang esok hari. Di sini sumber air su dekat.
***

Pukul 05.30 WIB kami berangkat menuju puncak Welirang. Perjalanan detail tak perlu lagi saya ceritakan disini. Anda bisa mencarinya di tempat lain. Perjalanan menanjak melintasi bukit sudah pasti kami lewati dengan perlahan, karena menahan berat beban. Sudut pandang menarik dari perjalanan ke puncak Welirang adalah sedikit jejak-jejak tercecer dari kisah perjuangan manusia mencari nafkah demi bertahan hidup, mengepulkan uap dapur rumah tangga mereka.
Pondokan adalah nama dari basecamp penambang belerang di kawah puncak Welirang ini. Pondokan yang sepi karena hari itu adalah hari libur penambang. Pondokan adalah simbol Maskulin yang menggambarkan kekuatan dan keinginan anak manusia untuk mencari rezeki hingga ke puncak-puncak gunung terganas. Selain kesuburan tanah yang diberikan gunung bagi umat manusia, sudah sejak lama pegunungan menyimpan kekayaan berupa bahan tambang yang bernilai ekonomi tinggi, seperti belerang yang banyak terdapat di kawah puncak gunung Welirang ini.
Berkarung-karung belerang ditambang hampir setiap hari selama seminggu oleh pria-pria perkasa yang terkenal dengan perangai kerasnya itu. Sayang kami tidak menemui seorangpun penambang hari itu. Onggokan karung-karung berisi belerang dan gerobak-gerobak kayu yang membawanya ditinggalkan begitu saja di Pondokan itu. Wahai manusia biasa, cobalah mengangkat dan membawa gerobak beserta isinya sejengkal saja. Maka tanpa motivasi yang amat sangat besar, anda akan menyerah dan memupuskan mimpi anda untuk ikut menambang belerang di kawah Welirang. Tapi jika anda mengetahui bahwa karung-karung perkasa berisi batu kuning berbau menyengat itu adalah tiket emas yang berharga. Anda akan membawanya turun sejauh puluhan kilometer bagaimanapun caranya dari puncak gunung setinggi 3156 meter dari permukaan laut. Itulah resiko yang di tanggung oleh penambang-penambang belerang tersebut. Pilihan yang simpel tapi sulit. Jika tidak sanggup membawa beban puluhan kilo, maka carilah pekerjaan lain.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

berlangganan

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ESCAPE - Metrominimalist - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -