- Back to Home »
- interresting point »
- Sendang Biru dan Kisah Para Perantau
Posted by :
Unknown
Senin, 29 Juli 2013
Sendang Biru, nama pantai, pelabuhan, sekaligus tempat
pelelangan ikan di daerah Kabupaten Malang itu. Tempat ini bersebrangan dengan
cagar alam pulau Sempu. Hanya terpisahkan selat kecil sepanjang kira-kira
seratus meter.
Pemandangan Sendang Birupun sangat
kontras dengan surga di dalam pulau Sempu. Sendang Biru, adalah sebuah
antitesis bagi segara anakan.
Aku masih bisa mengingat dengan
jelas petualanganku jelang tahun baru 2011 yang lalu. Tepat di hari ulang
tahunku yang ke-20. Sebuah kado terindah penuh petualangan dramatik. Ketika mencari
segara anakan yang eksotik.
Aku ke sendang biru lagi, memang
bukan untuk kembali ke segara anakan. Aku tahu, saat itu sedang musim hujan. Bukan
waktu terbaik untuk berkunjung ke pulau Sempu.
Namun entah mengapa, aku yang baru
saja selesai dirundung tugas akhir. Merasa memerlukan waktu untuk menyendiri.
Jauh dari kesibukan kampus yang telah berhasil kutuntaskan. Kini hari-hari
penuh ketegangan harus direnggangkan dengan acara menyepi di pantai. Seorang
diri, mencari hal menarik yang mungkin terlewatkan.
Tanpa tujuan, tanpa misi, tanpa
informasi. Aku kembali menggilas jalanan beraspal itu lagi. Masuk ke Sendang
biru saat sore mulai menyapa hari.
Bertanya sana-sini, akhirnya aku pun
menginap di rumah seorang Nelayan. Pak Hambali namanya. Seorang nelayan yang
sekaligus berprofesi sebagai guide wisata bahari daerah Sendang Biru.
Akupun melewati malam di beranda sederhana
rumah nelayan itu. Mendengarkan cerita-cerita kehidupan mereka, seperti terbuai
dongeng yang tak diceritakan kepada orang lain. Khusus hanya mereka yang
mencari tahu, dan bertanya dengan antusias saja yang memiliki kesempatan
tersebut.
Membuka lembar-lembar kehidupan
nelayan Sendang biru. Seperti mengupas lapisan kulit bawang. Tipis, berlapis,
dan membuat meringis. Untuk membukanya, aku haruslah terbuka lebih dahulu.
Aku beritahu mereka, bahwa aku
seorang perantau. Berasal dari lautan di seberang pulau Jawa yang kini mulai
dicari banyak turis.
Aku bercerita kalau aku berasal dari
Lombok. Sudah hampir lima tahun lamanya, aku merantau di daerah Malang. Dari
pengakuan tersebut, saudara pak Hambali pun akhirnya mulai membuka lembaran
nostalgia kehidupannya di pantai Ampenan. Pada periode tahun 80-an yang lalu. Tidak
kusangka, ternyata nelayan di daerah Sendang Biru adalah kelompok etnis yang
berasal dari berbagai tempat. Ada Madura, Jawa, Lombok, dan Bugis.
Mulailah, kisah-kisah masa lalu
mereka terungkap sedikit demi sedikit. Malam itu aku menemukan sebuah
kenyataan. Sekaligus cerita pengantar tidur yang menarik.
Bapak Hambali dan saudara-saudaranya
memang para pelaut tulen. Mereka adalah salah seorang suku bugis yang terlempar
oleh takdir di pantai tersebut. Kehidupan mereka sedari kecil memang sudah
dekat dengan lautan. Seorang bocah yang
akhirnya ditakdirkan untuk tak jauh dari samudra.
Menjadi pelaut dan nelayan. Adalah
sebuah profesi unik, campuran kehidupan nomaden yang dibumbui dengan
cerita-cerita petualangan seru. Tak seperti yang selama ini aku bayangkan.
Malam itu mereka bercerita. Bersama
dengan orang-orang satu sukunya, mereka telah menjelajahi pesisir-pesisir
pantai sunda kecil dan jawa timur selama bertahun-tahun untuk menjadi seorang
pelaut dan nelayan perantau. Hampir semua dermaga, dan pelabuhan di masa mudanya
dulu telah disambanginya. Beberapa celetukan bahasa sasak (bahasa asli
masyarakat Lombok) pun keluar dari mulutnya. Seperti memberi bukti kepadaku
tentang cerita-cerita penjelajahnnya itu.
Dilain sisi, cerita melautnya tak
kalah seru. Beliau bercerita, bahwadahulu untuk mencari hasil tangkapan
terbaik. Para nelayan tak pulang berhari-hari. Mengembangkan layar perahu
mereka, jauh hingga batas-batas perairan internasional di Samudra Hindia.
Mereka menyerahkan diri sepenuhnya pada kelenturan angin, dan naluri seorang
pelaut yang menuntunnya di alam liar nan ganas tersebut. Hingga mereka benar-benar
diasah pengalaman untuk menjadi seorang pelaut ulung.
Kini ia dikenal karena keunggulannya
menemukan spot terbaik untuk memancing, dan perhitungannya yang cukup akurat
dalam menentukan tanggal-tanggal terbaik untuk melaut. Pak Hambali seringkali
dikontak oleh para pemancing mania sebagai guide wisata bahari di daerah
Sendang Biru tersebut. Beliaupun sempat berpartisipasi dalam acara memancing di
salah satu stasiun televisi Swasta.
Pak Hambali dan pelaut-pelaut gaek
itu telah menambatkan hati dan jangkarnya di ceruk terpencil di daerah selatan
Malang. Selama hampir dua puluh tahun lamanya. Hidupnya kini bergantung pada
pariwisata dan tangkapan di sekitar pesisir selatan pulau jawa. Saat ini mereka
tak pernah mengarung sejauh dahulu lagi. Mungkin di Sendang Biru itu, ada
sesuatu yang menahannya untuk tidak merantau lebih jauh lagi. Ada cinta yang
bersemi dan menganugrahkannya sebuah keluarga. Ada kedamaian yang selama ini ia
cari, lalu didapatkannya di pantai tersebut.