Widgets

Posted by : Unknown Jumat, 17 Januari 2014

Pria bertubuh subur itu, berusia sekitar 30-an tahun. Ia menjemput aku, dan Rifqy di Stasiun Hall pukul 04.00 WIB dini hari. Di suatu bulan April yang basah dan lembab.

Udara Bandung kala dini hari memang cukup dingin. Tapi jabatan erat, senyuman ramah, dan perkenalan singkat dengan aa’ Faliq. Pria bertubuh tambun tersebut. Berhasil menghangatkan  jiwa kami.

“Temannya Zaki ya?” kata aa’ Faliq.

“Iya mas, hehehe…” cengenges kami.

Memasuki mobil avanza silvernya. Obrolan kami semakin banyak.

“Teman sekampus ya?” tanyanya.

“Rifqy sih teman sekampus Zaki bang. Kalau saya sih bukan.” jawabku.

“Loh. Kok bisa kenal?”

“Cuma sama-sama suka naik gunung bang.”

“Oh, , , dulu saya juga suka naik gunung. Dani asli mana?”

“Lombok bang.”

“Masih kuliah juga?”

“Sudah lulus bang.”

“Wah, saya pernah ke Lombok. Jalannya lega di sana. hehehe…” jelas aa’ Faliq.

“Iya di Lombok memang semua jalan, seperti jalan tol bang, hehehe.” sahutku.

Sayup azan subuh sudah mulai berkumandang di penjuru kota kembang yang dingin. Sepi masih menjalari sudut jalanan kota Bandung yang temaram di bawah lampu jalanan. Mobil avanza silver aa’ Faliq mulai melaju pada kecepatan yang tak pernah aku duga-duga.

 Harap maklum, Ruas jalan Bandung dini hari itu, memang masih sepi-sepinya. Mungkin suatu hal yang wajar, jika ngebut di tengah metropolitan saat lengang seperti itu. Melampiaskan kekesalan pengguna jalan macam aa’ Faliq, pada macet yang kerap merundung Bandung setiap hari.

Mengebutlah aa’ Faliq semaunya dini hari itu. Sering kali ia melanggar lampu merah ditiap persimpangan jalan kota Bandung. Tak perduli dengan speedometer yang menunjuk angka ratusan km/jam. Bahkan dengan santai ia melanjutkan perbincangannya bersama kami, di atas kursi kemudi.

“Saya juga suka traveling. Saya sempat keliling Indonesia.” sahut aa’ Faliq lagi.

“Ke mana aja bang?” tanyaku.

“Kalimantan, Bali, Lombok, Sulawesi, , ,” eja aa’ Faliq sambil pandangannya melahap jalanan Kota.

Entah ini lampu merah keberapa? Aku tak menghitung. Sebentar saja aa’ Faliq melihat keadaan. Menengok kiri-kanan. Tanpa mau melambatkan laju kendaraannya. Seolah yakin jalanan akan terus sepi-sepi saja.

Mataku terbelalak, nafasku tertahan. Aa’ Faliq sedikit melirik ke arahku. Ia tersenyum memperhatikanku.

“Kenapa Dan?” tanyanya sambil tersenyum.

“Enggak apa-apa bang.” sahutku. Sial! Bukannya melambat, malah laju mobil makin kencang.
sumber google
Mobil avanza silver itu kembali meluncur ke Cianjur esok sorenya. Kali ini penumpangnya lebih banyak lagi. Lima dari keenam pria yang ada dalam mobil tersebut berencana mendaki gunung Gede dan Pangrango nantinya.

Paruh awal perjalanan Bandung-Cianjur berjalan mulus, karena mobil dikemudikan oleh Rifqy. Seperti yang kukenal. Rifqy adalah pemuda tenang yang sederhana. Tidak pernah terbersit dalam pikirannya untuk ugal-ugalan. Ia adalah kombinasi kepolosan dan anak seorang dosen yang baik.

Setelah selesai menunaikan sholat magrib di sebuah masjid. Saat itulah bencana dimulai kembali. Kemudi diambil alih kembali oleh aa’ Faliq.

Maka berloncatanlah cairan adrenalin di seluruh tubuhku. Caranya mengemudi, benar-benar mampu meloloskan jantung setiap orang yang duduk tepat di sampingnya. Untung aku duduk di bangku belakang. Tapi itu tidak berarti apa-apa. Jantungku tetap saja berdegup lebih kencang.

“Hahahaha… kenapa mas  Dani?” tanya Zaki, adik aa’ Faliq yang sekaligus teman sependakianku ini.

“Udah biasa seperti ini. Santai saja!” kata Zaka, adik kembar Zaki. Ia duduk di depan. Persis di samping aa’ Faliq, yang kini mulai ikut-ikutan tertawa.

Mobil avanza silver meliuk-liuk liar di sela-sela kepadatan jalan tol malam hari. Keluar jalan Tol. Ada mobil lain berjalan sedikit santai di depan avanza aa’ Faliq. Aa’ Faliq tidak sabar mengemudikan mobilnya di belakang mobil lelet tersebut. Tapi sebelah kanan jalan, masih ramai oleh kendaraan melaju. Terutama truk.

Ia pun menyalip dengan senewen mobil tersebut, lewat sebelah kiri pula! Tentu dengan cara mengambil marka jalan. “Ahhh, , , !” aku sedikit terpekik. Melihat kejadian tersebut.

Aku lihat Rifqy di seberang kananku. Tatapan kami bertemu. Dalam diamnya, ia juga agaknya sedikit tegang. Setelah memonyongkan mulut seperti menghembuskan nafas lega, karena tak terjadi hal yang buruk. Ia sedikit menggelengkan kepalanya, senyumnya terkembang menenangkanku.

Tidak mungkin bisa tenang. Kalau tak sampai sepuluh detik kemudian. Ada mobil patroli yang mengawasi tingkah laku gila aa’ Faliq. Sirene mengaung memecah kesunyian jalanan arah Cianjur kala itu. Aa’ Faliq semakin mengebut, demi menghindari resiko tertangkap.

“Polisi ngejar kita ya?” tanyanya dengan nada santai.

Sepertinya tidak ada sedikitpun ketakutan dalam kalimatnya. Atau ia mungkin menyembunyikannya dalam hati dengan rapat.

“Iya a’, kayaknya polisi ngejar tuh.” tengok Zaka ke belakang.

Aku pun menengok mobil patroli yang mengejar penuh nafsu di belakang. Sedikit meliuk-liuk pula mobil itu, karena tak sabar dengan mobil-mobil lain, yang tak segera menyingkir dari hadapannya.

 Menghadap kembali ke depan jalan. Tanpa peringatan apapun. Aku sudah menyaksikan sebuah Corolla melintang di separuh badan jalan. Corolla, yang hendak mengubah haluan tersebut. Sepertinya tidak memperhatikan dengan seksama, avanza silver yang melaju kencang di belakangnya.

“Allahuakbar!” teriakku panik melihat prospek benturan yang akan terjadi.

Beruntung Corolla tersebut mengerem mendadak. Avanza pun sedikit memelankan lajunya. Ada sedikit celah yang tersisa. Koordinasi tangan dan kaki aa’ Faliq telah berhasil membelokkan moncong mobil dari bokong Corolla manis itu. Sebuah manuver yang tak terduga. Hupfft! Nyaris saja.

Di belakang kami mobil polisi masih meraung-raung, mencoba menyingkirkan segala jenis kendaraan yang menghalaunya. Mengejar kami dengan penuh nafsu. Tak sampai lima menit lagi, kami akan tertangkap, pikirku. Sebab kini jarak kami dengan polisi tersebut sudah cukup dekat. Sedangkan laju kami melambat oleh kejadian “nyaris” tadi.

Tanpa peringatan. Tanpa menyalakan lampu sain. Seratus meter dari tempat kejadian “nyaris” tadi. Aa’ Falik membanting stir ke kiri. Mengarahkan moncong mobilnya ke dalam gang sempit gelap yang sepi.

Andai saja ada pejalan kaki, atau kendaraan lain yang keluar dari mulut gang itu. Tak pelak lagi kecelakaan akan terjadi. Untung saja sepi.

Avanza silverpun melaju kencang di gang sempit. Meniti lorong-lorong suram. Mencari keamanan dalam kesunyian, dan jalan bercabang dalam gang tikus tersebut. Bersembunyi dari kejaran polisi yang kesal.

Mungkin polisi itu sekarang menggerutu. Seperti seekor elang yang kehilangan jejak mangsanya di balik semak belukar. Mereka kehilangan mobil avanza buruannya.

Tak seberapa lama. Gang itupun berujung pada sebuah pondok pesantren.

“Hahaha. . . liatin deh mukanya mas Dani dari tadi. Gimana mas? Udah lega?” sembur Zaki. Saat kami semua sudah keluar dari mobil edan tersebut.

“Alhamdulilah, udah nyampek.” gumamku.

“Assalamualaikum. Wah! sampai juga.” kata laki-laki yang tadi membukakan pintu gerbang. Ia menyambut kami dengan jabat tangan erat.

“Malam ini kita nginepnya di sekolah kami mas Dani, mas Rifqy. Nggak apa-apa kan?” sambut Zaki lagi.

“Enggak apa-apa, mantab.” kataku.

Aa’ Faliq kulihat sudah larut bercengkrama dengan laki-laki, yang menyapa kami tadi. Sedikit tertawa juga ia bertemu kawan lama. Rupa-rupanya ia terkenang masa-masa indah zaman sekolah puluhan tahun lalu.

“Mas Dani, mas Rifqy. Kita anter ke kamar ya? Taruh barang-barangnya dulu.” sahut Zaka.

“Boleh.”

“Eh itu apa?” tanyaku melihat perlengkapan yang ikut diturunkan dari bagasi. Ada pelindung dada, yang ikut dibawa turun selain keril-keril kami.

“Oh. Ini! Buat latihan malem ini.”

“Latihan…?” tanyaku.

“Silat.”

“Ohhhhh. . .”

“Malem-malem gini? Jam sepuluh?” tanyaku lagi.

“Iya. Mumpung ada aa’ Faliq. Sebelum dia besok berangkat ke Jakarta.”

“Aa’ Faliq juga atlit silat?” gumamku sambil membelalakkan mata, sedikit tak percaya.

“Gitu-gitu, dia itu pendekar mas. Coba saja pegang bahunya, ngagetin gitu. Tapi aku nggak janji kalau tangannya mas selamat.” bisik Zaka ketelingaku.

“Glek!” kutelan ludahku. Kutatap agak lama punggung aa’ Faliq, yang masih serius berbincang dengan pria di hadapannya. Ternyata, pembalap liar dihadapanku ini seorang pendekar toh? Ckckckck. . . [menggelengkan kepala]

Artikel Selanjutnya : Kota Para Pendekar

Comments
6 Comments

{ 6 komentar ... read them below or Comment }

  1. Hahaha, koplak sumpah! Ga kebersit di pikiran ana, sampek diuber polisi jauh2 ke cianjur! :D

    BalasHapus
  2. Nit banget tuch polisi sampai ke cianjur, padahal dah beda wilayah ama bandung :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. semua berawal dari niat emang gan wakwakwakwak

      Hapus
  3. tegang dan menegangkan humm....suka ma tulisannnya deskriptif...iikh pengin berguru menulis akh....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ketemu gurunya, saya dikabarin masnya, saya mau berguru juga. . .

      Hapus

berlangganan

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ESCAPE - Metrominimalist - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -