- Back to Home »
- adventure , interresting point , others , story »
- Kota Para Pendekar
Posted by :
Unknown
Jumat, 17 Januari 2014
“Ngaos,
Mamaos, Maenpo”
-Tiga
Pilar Cianjur-
Jika Bogor dijuluki kota hujan, Bandung kota kembang, dan Malang kota bunga. Secara pribadi aku ingin memberi
Cianjur sebuah gelar juga. Yaitu “Kota Pendekar”.
Bagaimana tidak ingin kujuluki sebagai kota pendekar. Apabila di kota santri ini, siswa-siswinya giat berlatih silat. Maenpo kalau bahasa sundanya mah.
Di salah satu pondok pesantren, tempat aku dan Rifqy ditampung oleh dua kawan akrab kami Zaka dan Zaki. Semenjak pagi, sehabis sholat subuh berjamaah. Siswa-siswi pondok pesantren tersebut, sudah rajin jogging pagi.
Aku dan Rifqy tentu tidak ikut jogging. Dengan alasan memulihkan kondisi fisik yang habis terkuras di dalam perjalan jauh Malang-Bandung-Cianjur dua hari lamanya. Apalagi nanti malam kita sudah harus bergerak menuju Gede-Pangrango.
Kami tentu lebih memilih untuk berbelanja logistik di pasar. Tak jauh dari Istana Cipanas. Sambil menemukan kenyataan, bahwa kota Cianjur dan Cipanas begitu dekat. Jaraknya tak sampai sepelemparan batu.
Tanpa ada yang memperingati, sudah sampai saja kaki kami menelusuri tembok Istana yang menandai berakhirnya kota Cianjur, dan berawalnya kota Cipanas. Seperti masuk dalam batas dimensi tak kasat mata. Cianjur-Cipanas, kota tanpa tapal batas yang jelas.
Sepulangnya kami berbelanja dari pasar Cipanas. Latihan silat masih terus berlanjut. Agaknya mereka sedang latih tanding. Yang memiliki bobot tubuh yang sama, saling melayangkan pukulan dan tendangan ke arah lawan. Kelasnya pun mirip-mirip kelas pada olahraga tinju.
Saat itu Zaka didaulat menjadi wasit. Sedangkan Zaki memperhatikan pertarungan adik-adik tingkatnya dengan seksama. Kadang terlontar beberapa instruksi dari mulut Zaki.
Aku mendekati salah seorang dari mereka, yang sedang tidak melakukan pertandingan. “Sudah lama ikut silat dek?” tanyaku padanya.
“Baru ikut. Masnya teman bang Zaki?”
“Iya.”
“Sabuk apa mas?” tanya pemuda itu lagi.
Ingin rasanya aku bohongi pemuda itu. Cukuplah kedekatanku dengan Zaki, atlet sekaligus ketua dunia persilatan di Universitas Brawijaya, sebagai kamuflase yang meyakinkan. Tapi tak tega juga aku. Hahahaha…
sumber google |
Mengorek
berbagai informasi dari siswa-siswa pondok peantren tersebut. Semakin
menguatkan aku, kalau saat itu telah benar-benar berada di kota Pendekar.
“Iya mas, di sini masih banyak pendekarnya. Ada pendekar wanita yang senjatanya kipas.” terang adik seperguruan Zaki itu.
Terang saja, imajiku semakin melayang. Terlempar ke serial Wiro Sableng karya Bastian Tito. Pendekar kapak naga geni 212, yang sempat populer di layar kaca, pada priode 90-an akhir.
Mengapa harus silat? Olahraga main pukul seperti itu? Hemm… tunggu dulu kawan. Bagi anda yang membenci kekerasan. Don’t judge by its cover! Budaya asli Indonesia yang satu ini. Ternyata Bermanfaat dan banyak filosofinya loh.
Aku masih ingat, di umur-umur belasan tahun seperti mereka dulu. Aku paling sering bermasalah dengan kekerasan. Berkelahi dengan kawan sejak SMP-SMA. Meminjam kata-kata bang haji Rhoma. Biasalah darah muda, darah yang berapi-api. Tak suka mengalah, maunya menang sendiri.
Mengarahkan darah-darah muda yang sedang bergejolak, yang tidak bisa “disenggol” sedikit saja. Langsung membuat kerusuhan dan tawuran di sudut-sudut kota. Paling pas jika pemuda seperti ini. Diarahkan ke seni bela diri.
“Kan kalau kita ada masalah. Kita bisa ngajak berantem pas latihan mas.” jawab pemuda yang sedari tadi kuwawancarai. Tentang manfaat seni ini bagi dirinya sendiri.
“Oh gitu ya?” kataku agak kaget juga mendapat jawaban seperti itu.
“Boleh emang seperti itu?” tanyaku lebih menyelidik.
“Ya boleh lah! Daripada berantem di sekolah apa di jalan.”
“Jadi kalau ada masalah gitu nantanginnya gimana kalau anak Silat?” tanyaku.
“Tunggu hari jumat ya, kita sparing!” jawab pemuda itu dengan lugunya.
“Hahahahaha….” tak kuasa aku menahan tawa, membayangkan tantangan tersebut terlontarkan dari mulut seorang pria. Tantangan yang fair, satu lawan satu, berkeringat, dan sekaligus bersaing dalam olahraga prestisius. Ini luar biasa! Bukannya seperti aku dulu, waktu zaman SMP, menantang berkelahi sehabis pulang sekolah. Apalagi yang beraninya ramai-ramai. Itu laki-laki atau banci?
Apakah saya mendukung budaya kekerasan? Separuh dari hati saya mengatakan iya, separuh lagi tidak! Sebagai laki-laki tulen, tidak bisa dipungkiri. Hampir tidak ada cerita kehidupan seorang laki-laki tulen, yang tidak diwarnai oleh perkelahian sekecil apapun. Ini fitrah! Tidak bisa diganggu-gugat lagi hukum alam ini.
Melalui jual beli pukulan, seorang anak laki-laki tumbuh. Laki-laki merasakan pahit, sakit, darah, perih, meringis, memar, arti pentingnya persahabatan, dan indahnya perdamaian. Ya! Semua itu bisa kita pelajari lewat satu proses utuh sebuah perkelahian.
Saya berpendapat, perkelahian yang fair. Satu lawan satu dengan tangan kosong. Adalah salah satu manajemen terbaik untuk membuat laki-laki belajar. Apalagi pertarungan itu resmi, dilingkupi dengan garis-garis batas aturan pertandingan yang jelas. Bisa jadi, hal itu menyulut sebuah prestasi.
Maksud saya, laki-laki yang gemar berkelahi, kenapa tidak diarahkan saja minatnya ke ring tinju, karatedo, atau bahkan silat. Lumayan bukan? Jika benar-benar berbakat. Sikap yang semula brutal, bisa berubah menjadi prestasi di ajang kompetisi. Lalu terciptalah Chris Jhon baru, atau atlet-atlet bela diri, yang mampu mengharumkan nama Indonesia di ajang SEAG, AG, maupun Olimpiade.
Jangan takut, justru melalui seni beladiri. Saya berharap. Pemuda-pemuda Indonesia akan tumbuh menjadi pria-pria dewasa. Sebab seni ini mengajarkan kearifan, disiplin, kerja keras lewat latihan-latihannya, dan juga menanamkan sifat keberanian dalam diri. Mempelajari seni beladiri Pencak Silat pun mampu menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi.
***
“Pendekar
itu. Tesnya nggak cuma hafalan jurus-jurus doang mas. Ahlaknya juga harus
mantap. Baru bisa disebut pendekar.” lanjut pemuda belasan tahun itu lagi.
Cianjur,
April 2013, di sebuah Aula.
***
Artikel Selanjutnya : Emangnya Lu Sapa Gua
4 Comments
Jadi ingat si Pitung :D
BalasHapusnggak nyangka euy, , , untung nginep di sarang pendekar ya coy? hehehe
Hapuswah baru tahu kalo di Cianjur pusatnya para pendekar..
BalasHapusyah begitulah he he he
Hapus