- Back to Home »
- heritage , interresting point »
- Bertahan dan Menjelma Ala Sade : Sebuah Opini
Posted by :
Unknown
Jumat, 20 Desember 2013
Desa sade di tepi jalan raya, Lombok Tengah |
Teks : Lalu Ahmad Hamdani
Foto : Mira dan Ino/Zico
Lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Saat aku belum sempat keluar
dari tanah kelahiranku. Dan masih belum memiliki perspective : Melihat tanah kelahiran dari sudut pandang luar pagar
rumah. Ibuku sempat mengatakan.
“Sade, Lentek, dan Rembitan itu sarang penyamun. Hati-hati
kalau main ke selatan, meskipun kamu anak selatan.”
Aku tersugesti dengan kata-kata ibu. Membuat ruang gerakku
dulu menjadi terbatas. Aku tak terlalu berani menjelajah pulau kecilku. Apalagi
daerah selatan pulau Lombok. Silahkan tanyakan kepada setiap orang sasak yang tumbuh
di era 90-an. Bagaimana hitamnya era, ketika Kuta Lombok, dahulu menjadi hidden paradise di “zamannya”.
Satu dekade yang lalu. Daerah selatan Lombok masih sepi
pengunjung. Daerah eksotis sekaligus ekstrim, yang menunggu para pemberani
untuk datang menjamah surga tersembunyi di wilayah Karst tersebut (kebanyakan para
traveler dari luar negeri dan segelintir avonturir Indonesia di era BSR).
Bahkan sebagian pemuda sasak yang menetap di belahan barat,
tengah, timur, dan utara, pulau Lombok. Di era tersebut, tidak banyak
mengetahui keberadaan desa sasak Sade di daerah Selatan yang masih mempertahankan
tradisi-tradisi sasak berumur hampir 700 tahun tersebut.
Sebelum akhirnya kalangan media dari Jakarta, datang meliput
rumah-rumah unik, yang rutin dibersihkan dengan tanah liat bercampur tahi
kerbau di desa itu, pada awal-awal milenium.
Kekuatan media yang luar biasa memang tak kentara bagi
sebagian masyarakat sasak. Belasan tahun pun bergulir cukup lama. Namun, sedikit-demi
sedikit pejalan dari seluruh penjuru negeri, mulai berdatangan. Setelah lama
terinspirasi oleh tayangan unik tersebut. Seperti ingin membuktikan sebuah
kebenaran. Mereka pun mengunjungi desa Sade. Satu dari sedikit desa adat sasak
yang masih tersisa. Satu dari sedikit tempat di Indonesia yang diliput media.
Ketika tamu-tamu dari luar pulau terpukau oleh bangunan
tradisional beratap jerami. Ketika mereka terhipnotis penjelasan guide lokal (pemuda-pemuda desa Sade itu
sendiri). Atau bahkan ketika mereka terhenyak melihat songket dengan motif indah
disampirkan di mana-mana. Aku hanya terdiam, dan berbicara dalam hati.
Ibuku salah, orang-orang sepuluh tahun yang lalu ternyata masih
naif. Aku melihat mereka, suku sasak Sade ini. Punya semangat, yang bahkan
tidak semua orang Indonesia memiliki semangat yang sama. Yaitu semangat bertahan,
ya! Bertahan!
Mereka, Suku sasak di desa Sade ini adalah orang yang
memilih jalan bertahan di balik bayang-bayang masa lalu. Mamak, Nyengsek, Ngulat, Menikahi saudara dekat dan jauh, dan masih
banyak hal-hal yang berasal dari masa lalu, yang mereka pertahankan.
Kini, hal-hal yang sudah ditinggalkan oleh sebagian besar
orang sasak tersebut. Justru menjadi buruan para pencari eksotika, di era
kemajuan industri pariwisata nasional masa kini.
Beruntung, ketika wisatawan, pelancong, dan petualang harus
jauh merambah hutan, gunung, bukit, dan lembah untuk mencari sebentuk kehidupan
adat terisolir yang masih tersisa. Sade membuka pintu desa mereka lebar-lebar
kepada kalayak ramai. Tanpa malu-malu dan sembunyi-sembunyi.
Tak perlu jauh-jauh, cukup parkir kendaraanmu di pinggir
jalan, dan lihatlah mereka begitu dekat dengan kehidupan modern. Tidak
ekslusif, tidak menyendiri, ataupun bodoh dan buta huruf (kecuali
sesepuh-sesepuh yang memang sudah terlalu tua).
Di zaman “mabuk” traveling seperti saat ini. Mereka
seakan-akan sedang memetik buah dari pohon yang mereka tanam bertahun-tahun
lamanya. Setia memberi air bagi pengelana yang haus akan eksotisme salah satu budaya
Etnis asli Indonesia ini. Kemudian menjelma menjadi salah satu “atraksi” wajib
kunjung di Lombok Selatan.
Kegigihan suku sasak di desa Sade, adalah cermin dari
bertahannya sekelompok orang dari gerusan arus globalisme. Mereka bahkan mampu
mementalkan tuduhan pengamat (seorang ahli di bidang industri pariwisata, yang
sempat tampil berbicara di televisi) yang mengatakan, bahwa SDM Lombok belum
siap dengan industri pariwisata itu sendiri.
Sudut yang tertata rapi di desa sade, bukti dedikasi warga desa Sade serius membangun lingkungan desa wisatanya |
Melihat desa Sade yang tak banyak berubah. Dari saat Lombok
masih tak terpetakan di industri pariwisata, hingga kini berkembang dengan
cepat menjadi anak emas “baru” di industri tersebut. Membuatku yakin. Masih ada
orang-orang yang sanggup, serta mau mempertahankan warisan budaya. Atau bahkan
mengembangkan potensinya.
Kesadaran seperti inilah yang patut kita jaga, dan kita
dukung bersama. Apresiasi tertinggi seharusnya kita berikan bagi pemuda desa
Sade yang mau bersusah-payah menjaga branding
desa Sade, sebagai desa adat. Lalu mengembangkannya menjadi desa wisata
dengan konsep ekowisata yang tertata dengan baik. Padahal begitu dekat dan
mudahnya desa ini diakses, serta rentan oleh pengaruh efek buruk budaya luar.
Akibat interaksi dengan masyarakat global, dan kaum urban.
Pelajaran
apa yang bisa dipetik dari desa Kecil di atas tanah kapur yang kering ini?
Bagiku, yang beberapa kali mengantar teman-teman ke Sade.
Aku belajar, bahwa masa lalu dan tradisi budaya Indonesia. Saat ini sedang bertahan
dalam gempuran pengaruh budaya luar, yang justru digandrungi dan “tanpa sadar”
terpupuk semakin subur oleh pemuda bangsa ini sendiri.
Krisis identitas
melanda negeri. Walau faktanya perjalanan domestik di Indonesia meningkat terus
dari tahun ke tahun dengan angka-angka yang mencapai bilangan juta.
Hal itu seperti angin mamiri saja. Membuat saya berfikir
ulang, dan kemudian memaksa saya membenarkan sebuah satir/sindiran halus seorang
travel blogger indonesia. Bahwa “saya” bukan pejalan, namun hanyalah seorang “tukang
pamer”.
Kapankah “saya” bisa memungut esensi lain dari sebuah perjalanan, selain kerasukan mengumpulkan sebanyak mungkin jumlah destinasi yang sempat “saya” kunjungi, sekaligus bersama foto-foto pembuktian?
Generasi muda desa sade |
Generasi tua desa sade |
Jawaban pertanyaan di atas, masih misteri. Mungkin satu
dekade lagi, baru mampu kita pastikan jawabannya. Sama seperti sepuluh tahun
yang lalu, ketika desa Sade memilih untuk memakai baju lama dan terus menerus
menambalnya, tinimbang ikut arus dan didekte zaman. Lalu seperti yang kita
ketahui, kini desa tersebut. Menjelma menjadi salah satu atraksi budaya yang
tak terlewatkan.
Aktifitas sehari-hari warga desa, bukan sekedar komoditas, namun merupakan rutinitas |
Terakhir, aku ingin mengucapkan. Selamat bagi desa Sade,
Rembitan, Lombok Tengah. Atas dedikasi yang tak henti mempertahankan identitas
jati diri, bahkan sanggup beradaptasi dengan model industri pariwisata masa
kini. Semoga tetap bertahan, meningkatkan prestasi dan berinovasi. Doaku supaya
desa ini terus murni mempertahankan salah satu khazanah budaya negeri.
Catatan kaki :
Mamak :
Mengunyah daun sirih. Biasanya daun
sirih dicampur dengan buah pinang, dan kapur. Lalu disudahi dengan menyapukan
tembakau yang sudah dirajang ke seluruh permukaan gigi. Kegiatan ini sangat
digemari oleh generasi tua suku sasak, bahkan beberapa pemuda di desa adat
Sade.
Kegiatan
yang dipercaya, mampu memperkuat gigi ini. Memiliki efek bagi si pemamak (orang
yang suka mamak). Efek sampingnya hampir sama seperti menghisap nikotin dalam
sebatang rokok. Pemamak yang sudah ketagihan, akan merasa pusing ketika tidak
mamak dalam jangka waktu yang lama.
Nyengsek
: Aktifitas menenun kain songket tradisional dengan alat bernama Sengsek. Alat
ini bisa ditemukan juga di desa Sade, atau sentra industri kain songket di Sukarara, Lombok Tengah.
Ngulat
: Aktifitas menyulam daun pohon lontar, jerami, atau bambu menjadi barang
kerajinan, tikar, topi, atap, dan dinding rumah.
6 Comments
Rasanya ingin ke sana, menelusuri denyut nadi sade..
BalasHapusbertualanglah sampai di sini sobat he he he
HapusAku suka banget liat hasil tenun masyarakat desa sade, warna nya menyala bikin hidup tambah hidup :-)
BalasHapuskayak tag line aja om he he he, , ,
BalasHapussaya salut dengan adat istiadat yang dipertahankan di sebagian masyarakat sasak termasuk di Lingsar dan dan Sade ini.
BalasHapusadat istiadat harus dipertahankan, kalau bisa beradaptasi, diadaptasikan. he he he
Hapus