- Back to Home »
- adventure , heritage , sharing , story »
- Di Antara Pramoedya, Senopati, Mangir, dan Seonggok Batu
Posted by :
Unknown
Selasa, 24 Desember 2013
Hubungan antara Senopati Ing Ngelaga dan Ki Ageng Mangir
memang cukup unik, Ironis, sekaligus tragis. Kisah tragedi yang terjadi di
zaman kerajaan Mataram Islam di sekitar tahun 1575-1607 (masa kepemimpinan Panembahan
Senopati) ini, mungkin tak banyak diceritakan dalam pelajaran sejarah di
sekolah-sekolah.
Adalah Pramoedya Ananta Toer, sang penulis sekaligus tahanan
politik kelahiran Blora. Salah satu sastrawan terbaik di Indonesia. Menuliskan
kisah tersebut dalam sebuah naskah drama dengan judul Manggir.
Aku membaca naskah drama kolosal tersebut dengan takjub.
Seolah-olah, apa yang ditulis, dan diceritakan ulang oleh Pram. Begitu fiktif
dan berjarak dengan realita. Apalagi bagi rasio pemikiran modern kekinian. Di
tengah matinya jiwa-jiwa pemberani di bawah kaki penguasa. Manggir sang
pemberontak layaknya Pahlawan dalam lembar kisah Mahabrata atau Ramayana saja. Sekali
lagi, terkesan seperti tokoh fiktif, walau ditulis dengan gaya realistis oleh
Pram sendiri.
Namun percaya tidak percaya. Sebongkah batu hitam menguak
kembali sejarah itu kepadaku suatu kali.
***
Wanabaya, pemuda (+23 tahun) sakti mandraguna. Tokoh pemimpin sebuah perdikan
kecil di sudut barat daya kekuasaan kerajaan Mataram Islam. Di bawah
kepemimpinannya, perdikan (desa bebas pungutan pajak) Manggir hidup makmur
tanpa harus tunduk menyembah kaki sultan Mataram.
Sungguh merupakan aib, bagi mataram yang berkuasa di tanah
Jawa era itu. Ketika ada secuil duri nyangkut dalam daging, seperti perdikan
Manggir tersebut. Yang tak mau mencium telapak kaki Sri Sultan yang berkuasa.
Tapi apa daya dikata. Wanabaya atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Ki Ageng Manggir dengan tombak saktinya yang bernama kyai
Plered, dan bantuan kekuatan rakyat jelata yang gagah berani. Mampu mengusir
tentara raja dari bumi merdeka yang mereka cintai itu di sebuah peperangan
kecil.
Alkisah, Sang Senopati pun menemukan sebuah ide. Putrinya
sendiri, putri Pembayun yang cantik jelita, yang pandai menari. Lemah gemulai
gerakannya bagai burung merak. Dititahkan untuk berkeliling ke seluruh negeri,
menjadi pengamen, dan dikawal sang patih Ki Juru Mertani. Misi utamanya adalah.
Saat rombongan penari titahan sultan mencapai perdikan Manggir. Sang putri
harus mampu membuat Ki Ageng Manggir jatuh hati.
Pria gagah perkasa mana yang tak bertekuk lutut di bawah
pesona sempurna, dari raga sang putri kraton? Manggir pun akhirnya jatuh cinta.
Menikahi sang penari keliling tersebut.
Lalu hidup bahagia, sebelum akhirnya peristiwa itu terjadi.
Peristiwa saat ia, Ki Ageng Manggir mengetahui kenyataan
bahwa sang istri tercinta. Ternyata adalah putri dari musuh bebuyutannya selama
ini. Senopati Ing Nglaga. Sang Sultan Mataram.
Manggir yang telah mengetahui kenyataan tersebut, pun dengan
ragu dan bimbang. Sungkem kepada Mertua. Ia harus melepaskan idealisme, harga
diri sebagai seseorang yang merdeka, dan kedigdayaannya di hadapan sang Sultan.
Menurut rumor, saat kepala Wanabaya atau Ki Ageng Manggir
akan menyentuh, dan mencium kaki sang Sultan. Sebagai lambang bakti seorang menantu
kepada Mertua. Serta merta, Senopati Ing Nglaga menghantamkan kepala tertunduk menantunya
tersebut ke singgasananya. Hingga tewas.
Namun dalam versi drama naskah Pramoedya ini. Seorang
Wanabaya tidak serta-merta tunduk dalam kekuasaan. Ada pertempuran
berdarah-darah sebelum akhirnya ia meninggal dan dikuburkan dengan cara. Bagian
kepala masuk ke dalam tembok kraton, sedangkan bagian kaki berada di luar
keraton.
Kisah tragis yang sangat epik ini. Dikemas oleh seorang
sastrawan besar, pengarang nomor wahid di Indonesia. Tentu saja, gubahan di
atas kertas tersebut memukau. Tak ubahnya dengan Kisah 300, pasukan Sparta yang
menghalau pasukan besar dari Persia.
Namun, setelah hampir-hampir melupakan kisah tersebut,
bertahun kemudian. Segala ingatan tentang Manggir meruap.
Ketika aku berkelana ke Kota Gede, Yogyakarta. Beberapa
waktu silam. Aku pun menulusuri daerah yang terkenal dengan banyak bangunan heritage (bangunan di tahun 1920-an) dan
sejarah itu sampai ke ceruk terdalam.
“Ini tempatnya, yang diduga sebagai Kraton Mataram Islam
dulu” kata abdi dalem yang menemaniku menelusuri jejak sejarah mataram waktu
itu.
Abdi dalem kraton Yogyakarta tersebut, membawaku ke sebidang
tanah beberapa are. Rindang diteduhi beringin besar, yang lebat dengan dedaunan
dan sulur-sulur akar anginnya yang menggelayut.
Tanpa peninggalan bangunan megah, tanpa reruntuhan pondasi berukiran
indah. Area tersebut begitu sepi, dan hanya angin malas, yang lewat begitu saja
mendendangkan keraguan kepadaku.
Bagaimanapun, saat itu aku sedang berdiri. Tepat di lokasi
bersejarah. Menyaksikan sisa pusat pemerintahan Mataram Islam, di awal abad
ke-14. Yang pada masanya dulu, seluruh tanah Jawa mencium telapak kaki sultan
yang berkuasa di tempat ini.
Siapa yang tidak jatuh melihat kenyataan pahit dihamparkan
pada sebidang lahan sepi di tengah-tengah kampung seperti ini? Setelah
sebelumnya aku sempat berfantasi, akan menemukan keagungan yang tersisa.
Hanya ada bangunan kecil di tengah himpitan beringin. Bangunan
yang beberapa waktu lalu dibuat. terdiam membeku, berpoles cat putih kuning. Di
tengah-tengah area tersebut.
“Singgasananya di dalam situ mas, monggo.” kata abdi dalem
itu lagi, memecah adukan perasaan takjub, aneh, dan ill fill yang menawanku sekaligus saat itu.
Abdi dalem pun membukakan pintu bangunan tersebut. Bau
kemenyan menyeruak ke luar menyapa kami. Agaknya sedikit lama bebauan itu terperangkap
dalam ruangan tanpa fentilasi memadai tersebut.
Lalu tepat di tengah-tengah ruangan. Sebuah batu hitam
berbentuk persegi teronggok sendiri. Kusapukan telapak tanganku di permukaannya.
Halus dan dingin sekali batu hitam ini terasa. Sedingin energi yang
diumbarkannya.
Sampai akhirnya aku menyentuh lekukan di sisi kanan batu. Lekukan
yang cukup dalam. “Bekas apa ini mas?” tanyaku kepada sang abdi dalem.
“Ooooh, itu bekas benturan kepalanya Ki Ageng Manggir dulu.
. . .”
Aku hanya terhenyak, bulu romaku merinding, ingatanku terjun
bebas ke dalam lembaran naskah drama Pram. Tak kuhiraukan abdi dalem bertutur
ceritra usang. Aku tertawan oleh pikiranku sendiri.
“Ternyata kisah klasik itu benar adanya. Menyisakan saksi
bisu di sudut tersembunyi Kota Gede. Tanpa ada yang tahu. Mendingin dan
terbungkam oleh waktu.”
Kota Gede Ramadhan 1434 H
8 Comments
Kenali sejarah bangsamu..
BalasHapushe he he he mantab bung
BalasHapusmerinding saya baca tulisan ini
BalasHapusasal jangan baca jumat kliwon aja om he he he (y)
HapusSelalu menyukai pram dan hasil karyanya. Artikel menarik mas :)
BalasHapusterima kasih, usemayjourney
HapusPantes emang Indonesia terpuruk, sama peninggalan sejarah aja ga becus meliharanya. Tapi masih untung sih masih nyisa segitu.
BalasHapusuntung di DI yogyakarta, kalau di daerah lain, nggak tahu deh?
Hapus