- Back to Home »
- adventure , story »
- Memori Yoschi #1
Posted by :
Unknown
Kamis, 06 Februari 2014
Ketika teman-teman seangkatanku, hampir semuanya sudah
selesai melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL). Aku salah satu yang bimbang,
karena tempat magang yang kuincar. Pada saat bulan Desember seperti saat itu, amat
sulit untuk dijangkau. Sebab ombak laut Jawa mulai mengamuk di bulan-bulan seperti
itu.
“Kamu sebenarnya mau PKL kapan?” tanya salah seorang teman.
“Ya kalau bisa libur semester ini. Biar lamaan sedikit. Berasa
kerja beneran gitu.” terangku.
“Udah tahu mau PKL
di mana?”
“Rencananyya sih dari
kemarin-kemarin, pengen ke Karimun. Tapi belum sempat survey ke sana. hehehe.” kataku cengengesan.
Lalu beberapa teman
pun menyarankan pulang kampung seperti Laksmi. Temanku sekampung yang sama-sama
kuliah di jurusan yang sama. Ah! Tapi menurutku kurang seru juga, kalau harus
magang di kampung sendiri.
Tiap tahun aku pasti pulang kampung. Sensasi merantau,
berburu pengalaman hidup di tempat orang, belajar industri pariwisata yang
berbeda. Pokoknya out of the box deh.
Itu sesungguhnya yang aku harapkan.
Sebagai seorang insan dengan IP pas-pasan. Cerita hidup tak
boleh biasa-biasa saja. Apa yang bisa aku ceritakan kelak ke anak dan cucuku? Jika
sekedar cerita pernah bersekolah sampai ke luar pulau, kerja, jalan-jalan
sekedar refreshing, lalu mati. Apa cuma
itu? Rasa-rasanya pilihan jalan hidup seperti itu bukan aku. Itu orang lain.
Setiap kawan yang sudah selesai menjalankan PKL aku tanyai.
Fahmi menyarankan ke Jatim Park saja. Alasan yang dilontarkannya cukup
menarik.
“Enak coy, bisa
masuk wahana gratis. Setiap hari lagi, sampai bosen. Secret Garden yang belum dibuka untuk umum. Aku yang reyen (test drive -pen) duluan.”
seloroh Fahmi.
Beberapa malah menyarankan ke Bali saja. “Wah magang di Industri Pariwisata yang sudah mapan. Itu ide bagus.” pikirku waktu
itu.
“Sudah KKN aja Dan!
Bareng aku. Enak berbakti buat masyarakat desa.”celetuk Esty.
Memang di jurusanku, jika tidak mengambil mata kuliah pilihan
PKL. Mahasiswa wajib memilih KKN.
“Hemmm, KKN ke desa-desa terpencil di pelosok
negeri. kedengarannya seru juga tuh. Apalagi kalau bisa sampai Kalimantan,
Flores, atau ke daerah yang lebih jauh lagi.” pikirku waktu itu.
Sayang, setelah cek dan ricek. Untuk penempatan di
daerah-daerah seperti yang aku sebutkan di atas. Prosesnya cukup rumit dan
panjan juga.
Banyak pertimbangan tercipta, dari
segala jenis informasi yang aku gali. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk ke
Yoschi.
Wahyudi nama kawanku. Sebelumnya, Wahyudi
, Renda, dan Tezar sempat PKL di Yoschi. Sebuah hotel, restaurant, dan travel
agent di kawasan Bromo, kabupaten Probolinggo. Entah mengapa, aku jadi tertarik
ke tempat ini. Justru karena cerita Wahyudi tidak terlalu menggebu-gebu, tapi
juga tidak biasa-biasa saja. Tak seperti
cerita-cerita PKL membosankan teman-temanku yang lain di Dinas-Dinas
Pariwisata. Yoschi hotel, patut untuk diobservasi.
“Boleh tuh Yud, besok pagi anterin
ke Yoschi dong kalau gitu.” kataku antusias.
“Besok pagi ya? Oke bisa. Pinjemin
sepeda motornya Renda ya? Tapi kamu harus bangun pagi-pagi, nggak pakek telat!”
sergah Wahyudi. Sahabatku yang berperawakan kurus, dengan style rambut
intelektual sedikit akademis, dan punya banyak teman wanita itu. Tapi entah
kenapa, kalau berbicara tentang Eva (di zaman itu). Selalu aku merasa, ada yang
ditutup-tutupinya :P
Tepat seperti janji kami. Bahkan
untuk itu, aku rela tidur di bawah jam 12 malam. Supaya bisa bangun pagi.
Sekitar pukul enam pagi. Wahyudi
sudah setia menunggu di beranda kosku. Padahal aku harus mandi dulu, dan sedikit
bersiap-siap agak lama.
Kurang lebih dua jam lamanya, kami
melintasi jalanan Malang-Probolinggo, menuju Yoschi hotel. Itu kali pertama aku
ke Bromo setelah tiga tahun lamanya merantau.
Saat itu aku menyesal, mengapa
tidak dari dulu saja aku menjamah tempat ini? Kalau tahu, bahwa jiwaku memang selalu
terbius oleh jalanan berliku diperbukitan yang sepi. Kabut-kabut pegunungan
menggoda imanku. Anak-anak kecil, rumah-rumah penduduk desa di kaki-kaki bukit,
udara dingin yang menjalar di kulit, dan petani-petani lugu lewat di pinggir
jalan. Apa ada yang bisa menjelaskan, mengapa aku suka sekali dengan semua hal
tersebut? Mengapa aku jatuh cinta pada lukisan kehidupan di pegunungan? Selalu
saja aku merasa benar-benar di Indonesia, ketika masyarakat tani, bergumul
dengan alam, dan menciptakan harmonisasi.
Tanpa sepengetahuan Wahyudi. Beberapa bait pun seketika tercipta dalam benak. Akibat terperangah dengan segala realita di depan mata.
Awan Di Atas Aspal
Di aspal ada awan
Di rumput ada awan
Daun-daun mereguk awan
Pohon berselimut awan
Gunung pun mencengkram awan
Kenyataan pahit adalah, ketika kamu menyadari
Ternyata awan bukan segumpal gulali.
Itu hanya ilusi.
Akhirnya kami berdua pun tiba di tempat
itu. Hotel kelas melati di pinggir jalan sepi. Ornamen-ornamen hindu-Bali
menyemarakkan beranda luar ruangan front
office hotel tersebut. Sebuah palang kayu bertuliskan Yoschi Hotel,
Restaurant, and Travel melekat di dinding bata merah. Ada satu lagi tulisan
yang menggelitikku. Kurang lebih seperti ini bunyinya : “20 jahre bereit die
besten Kartoffelpüree”
Tebakanku, Mas Widi kakak
tingkatku di kampus dulu, menjadi tertarik untuk singgah ke Yoschi. Akibat dari
membaca slogan dalam bahasa jerman tersebut. Artinya kurang lebih seperti ini :
“20 tahun menyajikan Kentang tumbuk terbaik”.
Dialah anak magang pertama di Yoschi hotel
ini. Atas berkat laporan, dan petunjuknyalah, kami adik-adik kelasnya, macam
aku dan Wahyudi kemudian berjodoh dengan tempat tersebut.
Wahyudi memimpin masuk ke dalam front office (FO). Aku membuntutinya
dari belakang. Seorang pemuda berambut sekaku ijuk, sedikit gondrong, dengan
style menyamping alay. Langsung menyambut kedatangan Wahyudi, bak kawan lama.
Padahal belum terlalu lama Wahyudi selesai magang di tempat tersebut.
Aku pun menangkap aura
persahabatan kental, tengah menyeruak dari sudut-sudut ruangan berdekorasi kebali-balian
ini. Tak ada kesan formal dan kaku yang tersirat. Wahyudi mengobrol, dan
mengutarakan maksud kedatangannya kepada Dori. Salah seorang front officer dari Yoschi Hotel.
“Wah boleh-boleh.” kata Dori waktu
itu. Nada bicaranya yang sok bossy
membuatku menyangka, dia anak si empunya Hotel. Belum apa-apa dia sudah
memperbolehkan.
“Sama siapa nanti magangnya?”
lanjutnya lagi.
“Sendirian mas.” sahutku.
Tak berselang lama, seorang lelaki
sekitar 60 tahunan muncul. Perawakannya tinggi, ramping, berkulit agak gelap
(sawo kematengan). Pembawaanya santai, namun aura seorang entrepreneur tulen menyergap setiap orang di ruangan itu. Gelora khas
seorang pemimpin. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menerka. Ini dia bos
sesungguhnya.
“Wah kebetulan, pak Yok-nya sudah
datang.” Kata Dori. Doripun mengajak kami bertemu beliau. Laki-laki nyentrik
yang sudah duduk di meja FO manager. Gitar Akustik bersenar nylon
pun ia ambil dari sudut tembok ruangan. Sambil duduk dikursi, ia memangku gitar
itu, bersiap untuk memainkan lagu.
Dori pun melapor kepada beliau,
maksud dan kedatangan kami ke tempatnya. Agaknya beliau tidak terlalu kenal
dengan Wahyudi.
“Temannya Widi ini ya?” sahut
beliau yang tidak pernah melupakan nama Widi dalam ingatannya. Sorotan matanya,
melayangkan pandangan sedikit acuh tak acuh kepada kami.
Kami pun mengiyakan ucapan beliau.
Aku yang hendak menjabat tangan beliau pun dijahilinya. Tepat saat menyodorkan
tanganku ke arah beliau. Ia menyambut dengan sodoran kartu nama. Ah! Aku hanya
bisa senyum-senyum, sambil ikhlas menerimanya.
Leher gitar masih terus saja
beliau genggam. Siku kanannya melintang di bodi gitar yang bohai. Wahyudi dan
Dori pun sedikit menyingkir ke sofa yang agak jauh di belakangku. Dalam gugup
menghadapi sang big boss ini. Aku
sempat melirik ke arah Dori dan Wahyudi, yang mulai ngobrol berdua secara
sembunyi-sembunyi. Ditingkahi senyum misterius yang ganjil, dan hampir tak
kentara.
Pertanyaan-pertanyaan bak interview, meluncur ke luar dari mulut
pak Yok. Ditanyainya asalku, yang akhirnya mampu mengungkapkan sedikit sejarah
hidup lika-liku laki-lakinya.
“Ampenan.” runutnya. “Aku lahir di
sana, menghabiskan masa kecil di kota itu.” tuturnya berlanjut.
Tak pernah kusangka, beliau lahir
dan tumbuh di Lombok. Sedikit menjelaskan, mengapa desain arsitektur hotel ini
bergaya Bali. Lengkap dengan properti kain kotak-kotak hitam putih, payung
merah berumbai-rumbai dengan warna keemasan, serta pola ukiran-ukiran
meliuk-liuk di meja, kursi, dan sudut-sudut perabotan kayu dalam ruangan.
Kisah pak Yok tak berhenti di
cerita masa kecil saja. Mengaku hanya lulusan SD. Beliau pun mengisakan
petualangan hidupnya yang inspiratif. Takdir membawanya ke tanah dewata, dan
mempertemukannya dengan dunia entertainment
kapal pesiar. Tak lupa wejangan pun keluar dari mulut sang manusia lingsir ini.
Awalnya aku santai saja, tapi
jengah juga lama-lama dikuliahi beliau setelah satu jam pertama. Dori dan
Wahyudi pun melirik waktu yang ditayangkan jam dinding. Ba****t! Tak ada yang
memperingatkanku sebelumnya. Kalau ternyata beliau ini, susah direm saat sedang berbicara.
Tipikal orator ulung, maklum mantan entertainer
kapal pesiar, yang sukses dengan jalan hidup berliku.
“Oh, makanya hotel bapak kental
nuansa balinya ya pak?” kataku di saat beliau mengambil jeda dalam cerita
panjangnya. Saat itu aku bermaksud mencoba tidak terlalu pasif, dan menciptakan
komunikasi dua arah di antara kita berdua. Karena selama itu, aku hanya bisa
mengangguk-anggukan kepala saja mendengarkannya berbicara. Sampai lumayan pegal
rasanya leherku.
Keputusan yang salah telah aku
buat. Orasinya pun berlanjut ke tema sejarah. Berbicara tentang hubungan antara
Tengger, hindu, Jawa, Bali, pura Luhur Poten, dan tentang istri Jermannya, yang
lebih cinta Indonesia daripada pemuda masa kini. Sampai-sampai, wanita yang
kerap dipanggil Uschi tersebut. Menulis sebuah buku tentang suku tengger berjudul
: Putra Sang Dewa Api.
Disuruhnya pula aku banyak-banyak mengenal lebih
jauh lagi kebudayaan bangsa. Sarannya waktu itu, sebagai seorang mahasiswa, aku
harusnya banyak baca buku. Ah! Agak bingung aku saat itu. Siapa sebenarnya yang
diwawancarai hari itu?
Syukurlah, istri Indonesia pak Yok
pun datang menyelamatkanku. Perempuan Jawa yang membawa anak laki-laki bungsu
pak Yok itu pun berhasil menghentikan kuliah umum tersebut. Senyum pak Yok
terkembang menemui sang buah hati.
“Kamu.” sahut pak Yok menunjuk
Wahyudi.
“Wahyudi pak, masak bapak lupa?”
jawab Wahyudi.
“Ah saya memang suka lupa nama
orang. Pokoknya kamu nanti kalau pulang, bawa temanmu keliling Bromo. Terus
Kamu.”
“Dani pak.”
“Yah, kamu. Cari tahu juga rute
menuju Bromo dengan angkutan. Semua harus kamu tahu. Nah, kapan kamu mulai
magang?” katanya.
“Insyaallah, dua hari lagi saya
bisa langsung ke sini lagi pak. Butuh surat-surat pengantar dari kampus pak?”
“Kalau saya sih tidak perlu itu.
Kamu yang perlu itu. Ya, sudah dua hari lagi kamu datang kemari.”
“Baik, pak. Kalau begitu kami
pulang pak. Takut nanti kemalaman.”
“Ya sudah, ini kartu nama dibawa.”
“Kan sudah pak?” terangku sambil cengengesan.
Setelah semua itu, kami pun undur
diri dari Yoschi Hotel. Aku membungkus janji untuk kembali lagi. Setelah segala
perkara birokrasi kampus selesai dalam dua hari ke depannya.
“Masih ada Java Banana, Sion, sama
Lava View loh Dan?” kata Wahyudi lagi. Ia menawarkan alternatif hotel tempat
magang yang lain di daerah Bromo.
“Di Yoschi saja bro. Sudah sreg, he he he. . .”
“Bagaimana pak Yok Dan?”
“Gendeng! Rame bro! Hahahaha” kataku sambil mengemudikan motor.
***
Lautan pasir padat dan lembab pun
aku gilas. Motor kupacu menembus rute bentangan alam sureal, di balik bukit
teletabies, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Tak hentinya aku terpana oleh
alam disekelilingku. Oleh gundukan tanah berbalut permadani hijau tetumbuhan pakis.
Ada jalan setapak berbatu yang licin mengular menembus lautan pakis dan
bebungaan berbatang hijau. Kami serasa ditelan mentah-mentah oleh hijau
bernuansa magis. Kami terbuai kontur dinding pegunungan yang mengulir bagai
dipahat tangan Tuhan. Pada sore berkabut di bulan Desember itu. Untuk pertama
kalinya aku menembus hutan, kembali menuju Malang. (Bersambung)
Saat bukit Teletabies belum beken. Magically Romantis. Buat seseorang. "if you where here with me" |
10 Comments
Nunggu kelanjutannya hehe
BalasHapusmaaf bung, , , mungkin karena sudah out of date kisah ini besar kemungkinannya tidak dilanjutkan, sekarang saya lagi nyari kisah yang baru untuk ditulis hi hi hi semoga mengobati kekecewaan amin :)
Hapuswaaah, seru yah kalo KKN atau PKL ke tempat2 yang oke. jadi pengen balik kuliah lagi..hehe
BalasHapusyah kalau mau kuliah lagi, saya sarankan ambil jurusan di fakultas sastra mbak, seru tuh :P he he he
HapusSalam buat bapak yang katanya gendeng ya mas hahaha :D
BalasHapusyups kapan-kapan saya kalau main ke sana lagi saya salamin he he he
Hapusantara PKL dan KKN sama ya ? mantap sob seru dan menarik cerita PKL nya,
BalasHapusPKL dan KKN beda, di jurusan saya dulu wajib pilih salah satunya
HapusAku smepet nginep disitu semalam, jadi kangen banyolan dan cerita2 pak yon. Masih banyak bule jerman yaa yg nginap ????
BalasHapuswell Yoschi bukan sekedar hotel/homestay biasa, , , dipenuhi dengan segudang cerita, , , semoga pengunjung dan tradisi di Yoschi Hotel gak memudar dimakan waktu :)
Hapus