- Back to Home »
- interresting point , others , sharing »
- Jakarta Macet
Posted by :
Unknown
Kamis, 05 Juni 2014
Jalanan bagi sebagian orang dianggap sekolah. Gurunya adalah
pengalaman. Tidak hanya pengalaman manis, pengalaman sepahit empedu pun mata
pelajaran yang berharga di jalan.
Oleh sebab itulah aku menganggap diriku sedang melakukan
perjalanan setiap waktu. Aku menyukai apa yang diberikan jalanan kepadaku.
Kebetulan hidupku -entah itu suratan atau kesengajaan- sampai saat ini terus
mengembara hampir tanpa jeda. Kalau tidak berpindah tempat tinggal, aku
berkelana saat senggang. Tak peduli itu ke pantai, gunung, desa, kota, atau di
menyusuri trotoar sekalipun. Semuanya secara filosofis di mataku adalah jalanan
dan perjalanan.
Hingga akhirnya bulan Mei 2014 ini aku merantau lagi,
tujuannya ke Jakarta. Aku berencana menetap di ibu kota sampai bosan. Sampai instingku
suatu saat nanti menyuruhku untuk berjalan lagi.
Bisa saja pembaca menganggap aku berdusta –tak masalah
bagiku-. Tapi bukan uang semata yang aku cari di Jakarta. Jati diri, ya jati
diri. Aku percaya, untuk mengenal diri sendiri lebih jauh lagi. Tubuh dan
mental harus digembleng sekeras-kerasnya. Aku terobsesi menikmati dua sisi
ekstrim kehidupan manusia. Aku sudah terlalu lama menikmati kedamaian di ceruk.
Aku pergi ke bukit, gunung, dan pulau yang hampir terpencil
di sudut-sudut Indonesia. Aku juga pernah mengembara dan hidup hampir mirip
pertapa di daerah pertanian kaki bukit mur peji yang hampir terisolasi. Tapi aku
belum merasa mengenal kehidupan seutuhnya. Hingga suatu waktu, aku berkata pada
diriku sendiri. Aku akan menantang metropolitan. Belajar kehidupan yang lain di
sana.
Satu-satunya keraguanku saat itu adalah, bisakah aku menghadapi
kemacetan? Macet, mengapa hal itu yang aku ragukan? Dari banyaknya kegilaan
tidak manusiawi yang mewarnai metropolitan. Masihkah macet jadi hantu yang harus
ditakutkan? Bagiku yang belum pernah merantau ke Jakarta. Tentu aku ngeri
dengan kemacetan. Hei! Pedofilia menghantui, homoseksual menjangkiti
kepribadian, pembunuhan, bahkan orang tidak bersalah yang sedang duduk di
trotoar pun bisa saja dihajar segerombolan tak dikenal. Macet sepertinya bukan
bencana lagi bung! Itu rutinitas, yang harus ditelan bulat-bulat.
Ini sekedar hipotesa subjektif yang dangkal dari awam
sepertiku. Aku yakin, kemacetan salah satu sektor penting sebagai sumber permasalahan sosial di Jakarta.
Aku takut, aku berubah menjadi pribadi yang tidak kukenali lagi. Aku takut
macet menggrogoti jiwaku diam-diam.
Lihatlah orang jakarta yang lari ke daerah -istilah populer untuk
tempat lain di luar jabodetabek-. Mereka sampai rela menganut gaya hidup model
baru. Sebagai pelancong dan pemburu keindahan demi dapat tersenyum bebas,
kemudian menjadi dirinya sendiri di pantai-pantai nan elok atau gunung-gunung
yang sunyi. Aku menduga, mereka tak sadar sedang menghindari kemacetan.
Data
Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menyebutkan, setiap harinya populasi
kendaraan bertambah sekitar 1.172 kendaraan. Sementara, pertumbuhan panjang
jalan hanya 0,01 persen per tahun.
Menurut
studi yang dipimpin oleh Profesor Psikologi dan Perilaku Sosial, Susan Charles,
kekesalan yang dihadapi setiap hari akibat terjebak macet dapat menumpuk
terus-menerus dan menyebabkan masalah kejiwaan di kemudian hari. “Bagaimana
kita mengatur emosi dalam menghadapi persoalan sehari-hari berpengaruh pada
kesehatan jiwa kita. Kita sangat fokus pada tujuan jangka panjang sehingga
melupakan pentingnya mengatur emosi kita.” kata Charles.
Sedikit
Cerita Di Atas Busway
Aku mengawali menjelajahi Jakarta dengan Busway. Transportasi publik sistematis
paling awal yang diterapkan untuk mengentas kemacetan di Jakarta. Sayangnya di
halte-halte busway pun tejadi kemacetan. Bus trans jakarta tersebut sering overload penumpang. Kami berhimpit
dengan orang asing hampir setiap waktu. Kami dorong-dorongan dengan orang lain
dan mengumpat “Woy, jangan dorong!”, namun tak ada yang peduli.
Ketika malam-malam aku pulang dari kantor –saat itu aku sudah terbiasa naik
busway dan sudah mendapat pekerjaan di Jakarta Barat- ke kos saudara tempatku
tinggal sementara. Aku harus ikut antrian panjang menunggu bus jurusan pulo
gadung datang menjemput kami di halte dukuh atas 2.
Suatu kali aku melihat antrian mengular yang sama di halte dukuh atas 2.
Kali ini letaknya di sisi kiri jembatan transit –antrian busway ke arah pulo
gadung biasanya di sisi kanan-. Aku bertanya untuk meyakinkan diriku sendiri
kepada seorang pria dewasa. “Pak ini antrian yang mau ke pulo gadung ya pak?”
tanyaku.
Dijawabnya aku dengan nada seperti bentakan. “INI KE RAGUNAN!” jawabnya
dengan nada dan pandangan cukup tajam.
Apa
salahku? Aku hanya bertanya baik-baik? Kenapa aku seperti dibentaknya? Tapi aku
tak peduli, memang sudah tabiat orang stres seperti itu. Aku pun berlalu tanpa
mengucapkan “terima kasih.” Ucapan yang selama ini selalu aku utamakan ketika
bertanya lalu dijawab -walaupun dengan jawaban“tidak tahu” atau kekesalan
sekalipun-. Aku ingat kalau aku lupa mengucapkan terima kasih kepada bapak itu,
sayang aku tidak mungkin kembali lagi karena aku harus menunggu Busway arah
pulo gadung. Lalu berlomba untuk naik paling cepat bersama puluhan pengantri
lainnya.
Diagnosa Awal Perubahan
Ah,
akankah aku bertemu muka dengan pendaki-pendaki dari Jakarta yang sering aku
temui di gunung-gunung? Apakah kami masih akan bersalam sapa jika bertemu penggendong-penggendong
keril itu, lalu memecah kesunyian di tengah alam metropolis seperti ini seperti
ketika di alam pegunungan? Padahal beberapa kali aku melihat mereka berkeliaran
di halte maupun Busway penuh sesak.
Ah
mengapa aku kaku sekali ketika melempar senyum dan sedikit anggukan kepala saat
tidak sengaja bertatapan dengan wajah-wajah asing? Padahal di desa-desa yang
aku kunjungi dahulu di seantero pedalaman Jawa, Madura, Bali, Lombok, aku bisa
menyeringai memperlihatkan deretan gigi kuningku pada orang asing sekalipun.
Kapankah aku bisa berkenalan dengan wanita-wanita pemakai masker? Apakah mereka
tidak bisa dan tidak mau mengobrol remeh-temeh dengan orang asing sepertiku
selain dengan smartphone di genggaman
mereka masing-masing? Padahal begitu menyenangkannya basa-basi dengan penumpang
lain di kendaraan umum.
Pejalan/Pelancong
dari Jakarta bisa ditemui dimana saja di sudut Indonesia. Di luar kota ini aku
melihat mereka menyebarkan senyuman, mengumbar keceriaan, lebih-lebih antusiasme
manusiawi mereka terpancar alamiah ketika melancong ke daerah lain. Padahal
pejalan dari Jakarta adalah wisatawan domestik yang paling sering bepergian
mengecap pengalaman baru. Tapi kenapa di kota dengan kemacetan brutal ini,
semua pelajaran yang didapat di perjalanan ikut macet total?
Jumlah
penumpang angkutan udara domestik Januari-Mei 2013 mencapai 22,3 juta orang.
Jumlah penumpang terbesar tercatat di Soekarno Hatta-Jakarta mencapai 7,7 juta
orang atau 34,72 persen dari keseluruhan penumpang domestik, sumber : Badan
Pusat Statistik
Aku
memandangi jalan raya dari balik jendela busway, melihat kendaraan di jalur
biasa, yang menurut statisik berjumlah 10 juta lebih di seluruh ruas jalanan
Jakarta. Klakson panjang bertalu-talu bukan pertanda untuk menyuruh maju, tapi
cara halus para pengemudi untuk mengumpati keadaan. Jelas tidak mungkin maju.
Aku
tersenyum, benar-benar tersenyum tak tahu malu. Aku menikmati dinamika
kehidupan ini. Aku menyaksikan manusia berjejalan dengan keriangan. Aku
mendengar umpatan bagai lagu keseharian. Aku bertemu orang asing setiap hari
dan mulai merasa mereka bukan manusia, hanya seonggok daging segar yang
bernafas dan berpakaian di tengah kemacetan kota. Hei! Apa ini awal perubahan
kejiwaanku? Apa aku sudah mulai gila? Wah, betul kalau begitu hipotesa dan
teori-teori itu. Awal keruntuhan sosial dan moral di Jakarta itu ya, di jalanan
dan kemacetan. Ha ha ha ha ha...
Sumber
lain:
http://www.nyunyu.com/main-article/detail/problematika-jalanan-di-jakarta-2#.U5ATVCg6_6E
http://www.lintas.me/article/editor/7-fakta-menarik-yang-bakal-kamu-rasakan-jika-naik-transjakarta/slide/3
2 Comments
Antrian di halte nya udh kyk org mau bagiin sembako gratis :v
BalasHapusha ha ha, , , persis
BalasHapus