- Back to Home »
- heritage , interresting point , others , sharing , story »
- Denting Piano Daniel yang Memabukkan
Posted by :
Unknown
Jumat, 04 Juli 2014
“Rambutnya berwarna putih dan abu-abu, malam itu ia mengenakan batik berwarna campuran jingga dan peach dipadukan dengan celana katun hitam, Daniel Herscovitch, siap memainkan impromptu No.1 karya Franz Schubert, musisi klasik asal Austria yang hidup di abad ke 19 masehi.”
Ini lagu kedua dari 6 biji lagu yang akan dibawakannya malam
ini (02/07/2014). Sebelumnya aku melewatkan lagu pembuka gubahan Beethoven : Sonate
Es-Dur Op. 81a (Das Lebewohl), pasalnya aku terlambat datang ke
Goethehaus-Jakarta sehingga tidak bisa masuk di pembukaan pertama. Sebelum satu
lagu selesai dimainkan penonton resital piano tidak diperkenakan masuk ke dalam
ruangan konser.
Tepat saat aku duduk di bangku, grand piano hitam itu pun berkumandang memenuhi ruangan akustiknya
yang menggugah. Jemari lelaki tua itu menari lincah di atas tuts, nada-nada
dibangunnya cermat, nuansa diciptakan, ada ratusan mata yang memandangnya dan
lebih banyak telinga lagi yang terhipnotis terbuai ke dalam imajinasi liar masing-masing
jiwa. Kami diam menerjemahkan nada-nada rumit yang mengantarkan pesan-pesan si
pembuat lagu yang rata-rata telah ratusan tahun mati. Inilah tantangannya,
apakah pesan yang ingin disampaikan pencipta lagu bisa disampaikan ke telinga
pendengarnya oleh sang pianis?
Tentu ini juga pertama kalinya aku mendengar karya Schubert.
Memang tak banyak karya klasik yang aku dengarkan, kecuali sedikit sekali
simponi-simponi gubahan Beethoven, Mozart dan Chopin. Secara teoritis aku tak sebaik
kritikus, praktisi maupun wartawan musik. Dengan jujur aku merasa emosional
ketika nada-nada klasik dimainkan lewat denting piano yang sedang dimainkan
laki-laki berkewarganegaraan Australia itu. Secara aneh aku menikmati simponi
yang dimainkan sampai simponi ketiga berjudul Aida : Danza Sacra e Duetto
Finale pun berhenti mengalir. Luar biasa!
Devoirs
Daniel berdiri mengambil mike yang dipersiapkan panitia.
Setiap kali ia selesai dengan satu lagu ia akan mengumumkan lagu berikutnya,
bercerita tentang lagu yang akan dimainkan dan membungkuk untuk menikmati tepuk
tangan penonton.
Kali ini ia akan memainkan “Devoirs” (baca : Devoa) gubahan
Yazeed Djamin, salah satu pianis kebanggan Indonesia. Daniel lama mengenal
Yazeed Djamin dan “Devoirs” selalu mengingatkannya akan tragedi bom bali 2002.
Aku penasaran ,alisku mengkerut.
Betul saja, intro yang cukup mencekam pun dimainkan. Nadanya
bagai teror mengancam dalam sentuhan teknik broken kord (semoga aku tidak salah) yang menyayat sisi tergelap kemanusiaanku,
apalagi dimainkan di octave terendah.
“Mengerikan sekali simponi ini” batinku.
Nuansa gelap menenggelamkanku membuatku berpikir jauh, apa
sebenarnya yang dirasakan oleh Djamin? Bahkan sampai notasi nada-nada khas bali
yang ritmik dan dinamis dimainkan di tengah-tengah lagu, aku bersumpah aku
mengangguk-angguk terbuai ritme yang sinistik bercampur gamang sekaligus. Demi
apapun “Devoirs” resmi kujadikan nada-nada kesedihan, tragedi sekaligus mistikus
terindah yang pernah kudengar selama ini. Ini membuat nada-nada kematian yang
diwakili genre musik death, black, dan progresif metal terdengar seperti lagu
ABG galau saja.
Schumann yang Panjang dan Sukarlan yang Singkat
Sonata Fis-Moll Op.11 adalah simponi terpanjang yang dimainkan
Daniel malam itu. Lagu ini gubahan komposer Romantik eropa terbesar dizamannya,
Robert Schumann, dari Jerman. Mataku terpejam kala Daniel memainkan lagu aneh
yang personal itu. Kepalaku terhipnotis dan aku merasa aku ada dalam kondisi Alpha, sebentuk nuansa canggung silih
berganti menghampiri jiwa. Secara subjektif aku merasakan ada keceriaan, kemunafikan,
kontra dan kesalahan yang disengaja. Ah! Lagu ini begitu kalut, sampai-sampai
aku yakin umur dan pengalamanku belum cukup matang untuk meencerna kisah yang
ingin disampaikan Schumann dalam nada berdurasi panjang tersebut.
Hah! Lega rasanya ketika sonata itu berhenti dan jiwaku yang
tertawan belasan menit segera kembali. Daniel kembali berdiri, menutup malam
itu dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar unuk ukuran orang asing seperti
dia. Sebagai penutup malam ini ia akan memberikan penonton sebuah karya milik
Sukarlan. Rapsodia Nusantara No. 10. Penutup yang epik dan cukup singkat, lagu
yang tak sampai dua menit lebih sedikit, jauh lebih singkat dari lagu-lagu
sebelumnya yang bisa berdurasi hingga sepuluh menit lebih. Ah, kami pun berdiri
dibuatnya setelah ia selesai memainkan musiknya. Benar-benar racikan luar biasa,
seperti menyantap makanan, dari pembuka sampai menu utamanya sangat mengenyangkan
dan penutupnya manis tak berlebihan. Sampai jumpa di konser-konser berikutnya!