Widgets

Posted by : Unknown Minggu, 19 November 2017


Pengalaman saya solo backpacking ke Baduy Dalam, seolah tak habis diuraikan dalam dua-tiga seri tulisan. Tak akan cukup mendeskripsikan kebaikan Sapri Armani, Bapak Ardi, Istri dan anak cucunya yang begitu banyak. Bahkan mungkin butuh satu seri ekstra untuk menceritakan beberapa jam perjalananku dengan Sanip muda yang pendiam.

sumber : wacan.co

Dengan Sanip, aku jadi paham sedikit aturan-aturan adat suku Baduy Dalam yang terkadang diluar nalar kosmopolis-ku. Di luar logika peradaban urban.

30 desa Baduy Luar plus 3 desa Baduy Dalam bukan sekedar kerumunan komunitas yang cuma mempertahankan kearifan arsitektur masa lalu. Tak pula sekedar kerumunan komunitas yang mengolah tanah ulayat untuk bertahan hidup dengan bercocok tanam semata. 

Ada sesuatu yang membuatku berjanji untuk kembali lagi ke Cibeo, desa Baduy Dalam tempat aku menginap dan mengenal mereka semua, Armani, Bapak Ardi, Sanip, dan nama-nama lain yang terlupa.

Kupikir, kerinduan untuk kembali ke Cibeo, karena satu alasan. Kesederhanaan. Itu yang dibutuhkan olehku dan orang-orang yang memutuskan pergi mencari kehidupan baru. Kesederhanaan yang tidak lagi bisa aku rasakan di Jakarta.

Gaya hidup urban yang kompleks telah menjejaliku bertahun-tahun belakangan ini. Mungkin sampai-sampai telah mengikis rasa kemanusiaan dan mengelabui caraku memandang arti hidup. Aku memang merasa mulai materialistis akhir-akhir ini, dan konsumtif.

Di Baduy Dalam, semua hal kompleks sooal hidup bisa menjadi begitu sederhana. Bagi orang luar yang berpikiran sempit, mungkin fanatisme mereka terhadap adat, akan bergesekan dengan logika juga alam demokrasi yang selama ini orang kota agungkan. Namun sebenarnya, kekolotan mereka adalah sistem yang menjaga mereka untuk tetap menjadi Baduy Dalam. Murni!

Jadi saran saya, bila Anda berkunjung ke Baduy Dalam nanti, jadilah pengamat dan  nikmati cara mereka memandang dunia. Mereka sudah cukup demokratis untuk membuka diri terhadap pengunjung luar. Padahal, sebagai suku yang cukup konservatif, frikisi ini berdampak bagi sosiologi dan kultur mereka. 

Banyak anak muda Baduy Dalam yang akhirnya memilih keluar dari Cibeo, karena tergiur kapitalisme yang lebih mudah mereka dapatkan tanpa harus terjerat adat yang ketat. Ekonomi memang menjadi alsan, kenapa akhirnya lebih banyak kampung-kampung Baduy Luar dan makin sedikit penduduk Baduy Dalam. Tentu yang paling cepat terpengaruh oleh ekonomi ini adalah anak muda. Namun disadari atau tidak, anak muda Baduy Dalam adalah tulang punggung. Rantai generasi yang tidak boleh putus. Bayangkan bila smeua anak muda seperti Armani keluar dari Baduy Dalam. Lama-lama tidak ada Baduy Dalam murni dalam satu dekade ke depan. Karena akan putus di generasi tua.

Sistem politik dan sosial 

Keluarga merupakan pondasi terkokoh yang menopang sistem pemerintahan Baduy Dalam. Landasan ideologi adalah, "kemanusiaan yang adil dan beradab,". Implementasinya terukir dalam sistem kekeluargaan yang kental, meski memang masih partiarkal dan feodal.

Banyak aturan masyarakat Baduy yang saya tanyakan kepada Sanip, yang ia jawab sebagai kepatuhan tanpa kenal perdebatan. "Tidak boleh, ya sudah adat," begitu katanya.

Peradaban Baduy Dalam harus Anda lihat sekali-sekali. Setidaknya untuk memasukkan perspektif baru dalam memandang hidup (insight).- Bagi mereka yang ingin mereguk pelajaran dari pengalaman, terutama lewat sebuah petualangan -

Comments
1 Comments

{ 1 komentar ... read them below or add one }

berlangganan

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © ESCAPE - Metrominimalist - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -