- Back to Home »
- adventure , interresting point , others , story »
- Monolog dan Nyanyi Wanita Gila Di Cicaheum
Posted by :
Unknown
Jumat, 17 Januari 2014
Menunggu
keberangkatan bus Bandung-Yogyakarta di Cicaheum. Banyak hal yang bisa aku
saksikan, tentang tingkah laku orang-orang di terminal. Ada seorang wanita muda
yang duduk terdiam malu-malu di samping Rifky. Dia akan menuju Solo. Lalu ada
pula seorang pemuda lain duduk di samping kananku. Ia seumuran denganku, ialah
pemuda yang bermimpi memiliki usaha kuliner di Semarang.
Kami
bertukar cerita kepada kedua orang tersebut. Menghabiskan waktu mengobrol, dan
sekaligus bersama-sama menonton sebentuk pertunjukan aneh di hadapan kami kala
itu. Pertunjukan yang berlangsung cukup lama.
Kulitnya
hitam terbakar matahari jalanan. Perawakannya tidak pendek dan tidak tinggi.
Dia tidak kurus dan tidak terlalu gemuk. Pakaiannya tidak terlalu
compang-camping. Ia mengenakan sepatu bagus walau aku tahu itu tak dicuci. Dia
mengenakan semacam tutup kepala seperti kerpus. Tidak ada yang akan
menganggapnya gila, jika saja ia tidak berbicara lantang di tengah kerumunan
melontarkan dialog-dialog –bahkan yang berbahasa inggris- kepada entah siapa di
hadapannya. Padahal tidak ada satu orangpun yang ia ajak bicara.
“Yes sir”, godaku kepadanya.
Matanya
nyolot menatap ke arahku. Seperti orang yang melihat pada musuh tak diundang.
Aku pikir aku telah mengganggu monolog ngawurnya itu.
“What do you mean ‘yes sir’. Are you nuts?”
ketusnya dalam bahasa inggris yang fasih. Lalu sejurus kemudian ia tertawa
terkekeh-kekeh, memamerkan gigi depannya yang sudah rontok, dan sebagian gigi
lainnya yang utuh kini menghitam busuk tak terawat.
Aku
dan lelaki di sampingku berbisik lirih dan sependapat, bahwa perempuan stres
satu ini. Adalah perempuan gila tercerdas yang kami temui. Ia terus saja
meracau dalam bahasa inggris. Memainkan sebuah monolog panjang yang ngawur
tanpa makna. Seperi hanya melatih kemampuan speakingnya.
Lalu ia mulai berulah lagi.
“Ladies and Gentelmen. I would like to sing a
song.” katanya.
Lalu
meluncurlah lirik lagu More Than Words
milik Extreme dari mulutnya. Tak
pernah terlintas dalam fikiranku. Seorang wanita stres di sebuah terminal sudut
kota Kembang, mampu menyanyikan sebuah lagu berkelas seperti itu. Aku pun turut
bernyanyi mengikuti alunan nada.
Saying i love
you.
It’s not the
words i want to hear from you.
It’s not that i
want you
Not to say, but
if you only knew
How easy it
would be to show me how you fell
More than words,
it’s all you have to do to make it’s real
Than you
wouldn’t have to say, that you love me
Coz i’d already
know
. . .
Setelah
menuntaskan lagu bersama-sama. Ada sedikit tumbuh chemistery di antara aku dan wanita itu yang menjadikan kami lebih
akrab. Kini ia mulai terbuka.
“Mas
dari mana?”
“Saya
dari Malang.” Sahutku
“Mas
dari Jawa ya?”
“Iya.”
“Arema
ya mas ya?”
“Iya.” sahutku lagi dengan nada mengiyakan yang manja.
“Kalau
temannya dari mana mas.”
“Saya
dari Sidoarjo.” Sahut Rifqy.
“Wah
satunya Aremania satunya Bonek ya?”
“Iya.”
sahut kami hampir bersamaan.
“Nah
gitu mas, kalau bisa akur. Akur!” nasehat wanita setres itu kepada kami berdua,
kepalanya menoleh bergantian kepada kedua orang di depannya.
“Saya
pernah lihat Bonek di Bandung, waktu itu sedang ada pertandingan bola lawan
Persib. Bonek begini.” lanjutnya lagi sambil mengacungkan jempolnya.
“Arema
juga begini.” sahutnya tidak kalah memberi jempol ke arahku.
Namun
tiba-tiba raut mukanya berubah drastis. Aku tebak, kini ia hendak menuturkan
kepedihan yang dialaminya. Sebuah kisah menarik yang aku tunggu-tunggu.
Sebelum
ia melontarkan dialog berisi kalimat haru biru tersebut. Ia mengeluarkan dompet
dari balik tas tangan kecilnya yang sedari tadi ia dekap di ketiak.
“Mas,
ini anak saya.” katanya sambil menunjukkan sebuah foto anak perempuan berumur
mungkin 5 tahun.
“Dia
sekarang di rumah sakit. Saya nggak bisa bayar obatnya. Saya nggak gila mas.
Saya cuma sedih, anak saya lagi sakit.” raut muka sedih tergambar di wajahnya
yang kusam. Hampir menetes air matanya kali ini.
“Kalau
mas mau bantu, saya minta uang untuk biaya obat anak saya. Bukan buat apa-apa
mas.”
“Ini
ada sedikit mbak, buat makan aja. Kalau untuk berobat, maaf saya nggak bisa
bantu.” sahutku, sambil menyerahkan beberapa lembar uang. Yang lain pun
mengikuti apa yang telah aku mulai.
Ia
menangis sesenggukan. Tak kuasa lagi ia bendung perasaannya yang tertahan. Air
meleleh mengalir lewat pipinya yang lumayan tembam. Suaranya tergugu, menahan
isakan.
“Terima
kasih mas. Saya nggak gila ya mas ya? Saya masih waras kok. Saya doakan masnya
nanti waktu sholat tahajud. Biar keinginan mas terkabul.” ceracaunya.
“Mas
juga doain saya ya biar bisa naik haji. Saya kepingin sekali bisa naik haji.
Saya kepingin ketemu Allah di Ka’bah. Saya nggak mau kalau Umrah. Itu sama aja
kayak traveling. Jalan-jalan itu mah” sahutnya lagi. Lagi-lagi dengan mimik
haru yang menjadi-jadi. Tangannya menengadah ke langit, berharap segala doa
yang dipanjatkan terkabulkan oleh tuhan yang maha esa di atas sana.
Tak
lama kemudian ia berlalu dengan ucapan banyak terima kasihnya. Sampai tercecer-cecer hingga
ke jalanan.
4 Comments
Butet kertaredjasa musti lihat tuh monolognya :D
BalasHapussiapa tahu brbakat jadi artis ya coy? he he he
Hapusihir suka gaya nulis..bersastra ria...pengin belajar akh
BalasHapusMari berjalan, mari belajar. he he he
Hapus