- Back to Home »
- interresting point , story »
- Min Pelangi Mawangi Sang Tukang Parkir Perkasa
Posted by :
Unknown
Sabtu, 24 Agustus 2013
Perjalanan memang
sering mempertemukan
saya, dengan lakon-lakon
unik drama kehidupan di jalanan. Salah satunya mbah atau yang lebih sering dikenal
dengan nama mak Min ini.
Pertama
kali saya bertemu dengannya. Ia mengenakan rompi oranye
buluknya, yang kelihatan sudah terlalu sering
terkena sengatan
matahari, serta udara luar yang kotor. Ia tampak biasa saja. Jika saja saya tidak memperhatikannya dengan seksama, bahwa sang tukang parkir tersebut.
Adalah seorang wanita.
Pertemuan
kami yang tak disengaja di sebuah café, di bilangan Jalan Basuki Rahmat Kota
Malang kala itu. Telah menyengat
dan membuat saya
terus bertanya-tanya. Siapa sebenarnya wanita perkasa ini? Lantas mengapa ia menjadi tukang parkir?
“Nama saya Min Pelangi Mawangi”,
sahutnya kepadaku dengan sangat bangga. Ketika saya menanyakan namanya.
“Sudah lama mak
jadi tukang parkir di sini?”, tanyaku memburu.
“Sudah 32 tahun
yang lalu.”, jawabnya lagi.
Namun anehnya
ketika saya bertanya tentang.
Mengapa memilih jalan hidup yang cukup keras itu. Ia hanya menjawab “Saya
dulunya koki dek. Di Irian, tahun 80-an”
Saya
sempat
bingung dengan jawaban beliau. Sebelum akhirnya staff
Houtend Hand cafe yang sedang duduk di
dekat kami mengisyaratkan sesuatu kepada saya. Sebuah gerakan tangan di sekitar telinga, yang berarti bahwa. Mak Min yang sedang saya ajak
bicara itu, memiliki kemampuan mendengar yang kurang sempurna.
Sayang sekali.
Akibat kekurangannya. Sesi
wawancara singkat dengan
si tukang parkir perkasa itu
pun seperti menjadi monolog satu arah.
Saya
bertanya A. Dia menjawab B. Saya
hendak tersenyum, tapi takut membuatnya tersinggung. Pertanyaan lain yang
berhubungan dengan tempat tinggalnya di Malang pun. Beliau jawab dengan “Anak saya
dua. Buyut saya juga sudah dua.”
Kalimat-kalimatnya
yang terpotong-potong bak puzzle,
memang sedikit aneh. Seaneh profesi yang dijalaninya.
Namun saya biarkan saja potongan-potongan puzzle tersebut tertuang.
Saya pungut dan catat ke
dalam buku kecil yang selalu
setia menemani saya di setiap perjalanan.
Monolog
Mak min pun semakin seru. Dengan semangat beliau menjelaskan asal muasalnya
kepada saya.
Beliau
bercerita, bahwa beliau berasal dari Flores. Sejak kecil, beliau telah ikut merantau bersama sang ayah ke
Jawa. Pada dekade 80-an. Beliau
merantau hingga ke tanah Papua. Di bumi
cendrawasih itulah ia mengaku, sempat bekerja menjadi seorang koki.
Saya
memang masih menyimpan beribu tanya. Tentang suka dan duka yang dirasakannya selama berkarir
di dunia parkir-memarkir.
Saat saya mengutarakan semua Tanya tersebut. Ia tidak
menjawabnya, atau mungkin beliau tidak ingin menceritakan hal tersebut. Beliau hanya diam memandang saya dengan tajam, seakan ingin menusuk saya dengan tatapannya.
Brangkali selembar kisah yang satu itu ingin disimpan dengan rapi.
Saya
hanya bisa kasihan terhadapnya. Betapa tidak kasihan jika seorang Min Pelangi Mawangi.
Dengan nama seindah bunga. Ia memiliki kehidupan sekeras batu. Bergelut dengan
wilayah parkir di Jl. Basuki Rahmat No. 56 A. Berkawan premanisme, dan debu
jalanan setiap hari.
Beliau seperti
sebuah cerita dari banyak kisah di kerasnya
kehidupan jalanan. Seorang wanita tukang
parkir yang tidak sempat diperhatikan oleh
orang
kebanyakan. Apakah kisahnya adalah sebuah tragedi? Saya tidak tahu. Mungkin ia
berbahagia menjadi seorang tukang parkir. Daripada harus menadahkan tangan di
persimpangan jalan. Akan tetapi, tak seharusnya wanita Indonesia, di zaman
mabuk demokrasi seperti saat
ini. Setua itu masih bekerja keras untuk menyambung hidup.
Di Kota Malang.
Banyak cerita kehidupan miris tentang kewanitaan bersinggungan dengan dunia
jalanan. Kebanyakan mereka memilih menjadi pengemis-pengemis di perempatan.
Bagian yang tak pernah pudar dari kehidupan urban di masa kini. Kelihatannya
juga penyakit masyarakat tersebut, juga akan sulit untuk dihapuskan.
Memberangus
Pengemis seperti sebuah etuopia bagi
negeri ini. Sedikit sekali wanita yang mau memilih jalan berbeda seperti mak
Min. Pekerjaan yang dipandang rendah, namun sesungguhnya terhormat daripada
penyakit mengemis.
Menyampingkan alasan apapun di balik kepahitan hidup yang ia dera. Semangatnya
patut untuk diacungi jempol dan sebagai contoh bagi kaum muda seperti saya.
Mak Min, memang
sebuah keunikan. Namun juga menjadi sentilan pahit, bagi siapapun yang
menganggap diri mereka sebagai seorang laki-laki. Tidak adakah yang sanggup
bertanggung jawab atas hidup seorang wanita lansia sepertinya, yang normalnya
di tempat lain, sedang menikmati kehangatan di sisi keluarganya. Sambil
mengendong cucu-cucunya yang mungil.